Sekitar tiga belas tahun lalu di awal 1997 serentetan krisis dalam skala regional bermula di Thailand. Diawali dengan hengkangnya para investor karena penurunan pertumbuhan ekonomi negeri itu, krisis kemudian diperburuk dengan ulah spekulator mata uang sampai-sampai bank sentral Thailand harus menguras sampai 90 % dari cadangan devisanya hanya untuk mempertahankan nilai tukar uang Baht-nya.
Cilakanya, krisis ini tidak berhenti di Thailand. Negara-negara tetangganya segera tertular dan bahkan yang terparah dan paling sulit sembuhnya adalah negeri kita. Pada puncak krisis, nilai uang kertas kita pernah tinggal kurang lebih seperenamnya dari nilai sebelum krisis (Akhir 1996 US$ 1 = Rp 2,350 ; Juli 1998 US$ 1 = Rp 14,000) bila dibandingkan dengan US Dollar. Padahal di negeri dimana krisis berawal; uangnya hanya mengalami koreksi 61 % saja ( Akhir 1996 US$ 1 = Baht 25.50 ; Juli 1998 US$ 1 = Baht 41.12).
Pelajaran pertama yang kita ambil dari krisis 1997/1998 tersebut adalah bahwa krisis financial bersifat sangat menular karena kelemahan system financial global saat ini. Pelajaran keduanya adalah negara-negara yang tertular oleh krisis finansial, bisa menjadi korban yang bahkan lebih parah dari negara yang mengalami krisis yang pertama.
Kini tigabelas tahun kemudian, kita melihat proses penularan krisis berulang. Belum juga dunia sembuh oleh menularnya krisis di Amerika dua tahun lalu, krisis sejenis sekarang siap mewabah di Eropa. Yunani yang menjadi pemicu pertamanya, per kemarin hutang pemerintahnya sudah jatuh ke nilai terendah pada tingkat Junk (sampah !). Krisis Yunani sudah menulari Portugal, Spanyol dan bisa jadi akan segera pula menular ke negara-negara lain.
Pada setiap krisis tersebut; uang kertas selalu hancur di negara-negara yang terkena krisis. Setiap kali pula uang kertas hancur, pelarian utama yang paling mudah bagi masyarakat yang ingin menyelamatkan assetnya adalah ke emas. Tidak heran bila harga emas justru melonjak pada setiap krisis terjadi; pertama karena daya beli uang kertas yang dipakainya menurun, kedua karena dorongan naiknya permintaan.
Sebelum krisis melanda negeri ini 1997/1998; harga emas di Indonesia pada awal 1997 hanya di kisaran Rp 23,400 / gram; di puncak krisis 1998 emas berada pada kisaran harga Rp 147,000/ gram. Meskipun akhirnya sempat membaik ke kisaran angka Rp 65,000-an akhir 1999/awal 2000; perlahan namun pasti harga emas menjulang sampai Rp 340,000/ gram kini. Harga emas saat ini sudah lebih dari 5 kalinya bila dibandingkan harga emas paska krisis, dan 14.5 kalinya dibandingkan harga emas sebelum krisis !.
Grafik yang saya sajikan diatas adalah kenaikan harga emas gradual yang terjadi dalam kondisi normal. Bila dalam kondisi normal saja harga emas naik menjadi lebih 5 kalinya dalam sepuluh tahun terakhir; apa jadinya bila krisis Yunani meluas ?.
Dalam beberapa pekan kedepan seluruh dunia finansial akan melototi bagaimana krisis Yunani ini di handled oleh pemerintahnya dan juga pemerintah negeri-negeri yang saling terkait. Puncaknya adalah tanggal 19 Mei 2010 dimana hutang Yunani senilai 8.5 Milyar Euro akan jatuh tempo.
Kita memang jauh dari Yunani baik secara fisik maupun keterkaitan ekonomi, ekonomi kita juga lagi baik-baiknya, namun karena tanpa krisispun harga emas naik seperti yang tercermin dari grafik tersebut diatas – maka penyelamatan asset ke emas/Dinar untuk mengamankan hasil jerih payah jangka panjang selalu advisable untuk dilakukan kapan saja. Jangan menunggu krisis menular....!. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini