Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

26 Januari 2013

Redenominasi Untuk Apa ?

Belum lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri, akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.

Hal-hal yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa berbeda dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya tergantung pada pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar domestik.

Hal lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.

Selanjutnya yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh berinvestasi pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey hanya bisa dicapai bila ada peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 60% dari sekarang sampai 2030.

Selain memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu kita waspadai – yaitu khususnya yang terkait dengan pemerataan kesejahteraan. Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 tahun dari sekarang, ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya yang ke 17, 20 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat itu akan tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 juta diantaranya bahkan akan kesulitan memperoleh air bersih.

Masalah air inilah saya mengajak untuk mensikapi dan menindak lanjutinya dengan benar. Bila otoritas negeri ini bisa mengelola air yang belum lama ini menjadi bencana, menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di sejumlah waduk-waduk – maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di atas insyaAllah tidak perlu terjadi.

Hal lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata penduduk Indonesia hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa keuangan, sementara Malaysia rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. Menurutnya Indonesia akan mendekati Malaysia atau bahkan Singapore ketika penghasilan kita tumbuh.

Pertumbuhan financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi dlsb. Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung dengan hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, sementara segelintir orang yang memiliki privilege  akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.

Kapitalisme ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, manakala ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. Mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara finansiil ?, karena kekayaan mereka selama bekerja puluhan tahun tersimpan di berbagi produk jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi, deposito, tabungan dlsb.

Dari realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu memakmurkan pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area pertumbuhan ?. Adakah orang bisa makmur dengan menabung ? Apakah para pensiunan - yang terbukti telah menabung selama puluhan tahun - bisa menjaga kwalitas kehidupannya dengan mengandalkan dana pensiun dan hasil deposito-nya ?.

Jadi darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil memakmurkan masyarakat luas itu.

Jadi dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu bangun mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari berbagai bidang dan juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar kemakmuran merata, agar tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa mengakses sanitasi dengan baik sebagaimana skenario-nya McKinsey tersebut di atas.

Hal lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata 1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di kisaran US$ 9,000 s/d US$ 10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar US$-nya yang jadi masalah !.

Dengan pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; rata-rata penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun mendatang sama dengan tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, maka penghasilan rata-rata sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara kurang dari 10 ekor kambing. Artinya mengukur kemakmuran dengan timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan kemakmuran yang sesungguhnya.

Hal yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, akan menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter mampu menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai tahun tersebut.

Pertanyaannya adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun untuk tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar !) yang bisa mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di angka Rp 30.8 juta kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing untuk qurban yang baik.

Pendapatan Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor kambing ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing qurban saat itu akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.

Ketika tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran angka Rp 2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu bahwa suatu saat nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga kambing qurban menjadi Rp 2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 1,000 kali lebih mahal dari harga kambing saat itu !.

Sesuatu yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi – yang terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi dengan tingkat inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk membayangkan harga kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun mendatang menjadi di kisaran Rp 40,000,000 per ekor.

Akan terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu terjadi – angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya kebijakan redenominasi yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 2030, harga kambing hanya akan menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah yang kita kenal sekarang – Rupiah kita yang telah dibuang tiga angka nolnya !

Jadi saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing dengan harga Rp 40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.

17 Januari 2013

Memperkirakan harga emas 2013

Emas digerakkan global needs vs supplies, termasuk di dalamnya belanja perorangan, industri dan juga bank sentral. Bank sentral ini ‘jarang-jarang’ bertransaksi tapi volume dalam satu kali transaksi bisa ratusan ton! Mulai tahun 1990 bank sentral sibuk melakukan penjualan cadangan emasnya lalu berbalik arah mulai tahun 2008 ketika krisis pertama melanda Amerika, mereka mulai mengoleksi kembali cadangan emas, padahal saat itu harga emas sangat tinggi. Analis memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang bank sentral akan terus mengkonsumsi emas untuk cadangan devisanya, sebagai bentuk kekhawatiran atas kondisi Amerika yang bisa jadi terjebak di resesi ekonomi ke-2 dan Eropa yang belum terlihat akan pulih. Di situasi ini, kita ingat bahwa “Gold is the anti-currency” – dimana ekonomi melemah dan ditandai mata uang yang makin tak terpercaya, emas makin jadi tempat pelarian.
 
Fiscal Cliff

Sebetulnya, apa yang terjadi adalah analis emas saat ini tak terlalu memberi perhatian atas apa yang terjadi di Amerika sana. Termasuk di dalamnya Fiscal Cliff. Bahkan jika seandainya deal untuk mengatasi jurang fiskal ini terjadi, maka driver harga emas makin ‘ke timur’ yaitu Cina dan India, dan (hopefully) Indonesia. Pada tahun 2002, Cina dan India mengkonsumsi emas dunia total 25 %, akan tetapi pada 2012 naik menjadi 47 % dan mereka menjadi dual-majority saat ini. Di waktu yang sama, Amerika menurun dari 25 % share konsumsi emas dunia menjadi hanya 12 % saat sekarang.

Emas ke depan “Would be not so US-centric” (Bloomberg) kendati dataran harga emas baru akan juga menunggu inisiatif ekonomi di Eropa dan AS. Maknanya juga bahwa kita harus lebih melihat apa yang terjadi di Mesir, Cina, India dan Turki yang makin menguat sebagai pengendali ekonomi kawasan. Semua negara ini ‘sehat’ secara ekonomi, dan negara sehat mengkonsumsi emas lebih banyak untuk keseimbangan cadangan devisanya.

 
Saya pernah menyebut pada bulan November 2012 bahwa jika pada akhir 2012 emas menyentuh US$1750/toz maka ia bisa melesat lebih cepat tak terkendali di awal 2013. Tapi itu tak terjadi kemarin. Sehingga sampai dengan kuartal 1 2013 masih sangat rawan volatilitas. Dan ini benar-benar terjadi 3 pekan pertama 2013 dimana gerakan harga naik dan turun dalam mencapai 0,2% dalam satu hari.

Lalu kemana harga emas di 2013? Bloomberg menyebut USD1900 dan Reuters menyebut USD2200. Dengan kondisi Rupiah maksimal Rp10.000 per US$ ini akan mendorong harga emas menjadi 650.000 – 800.000 per gram. Pierre Lasonde (seorang analis emas) menyebut angka dalam jangka panjang, 10 tahun, akan menjadi USD13.000/toz. Angka paling moderat adalah kenaikan 8-12% selama 2013.


Oleh : Endy J Kurniawan

15 Januari 2013

Belajar dari Harga Emas 2012

Sebelum bicara tentang prediksi harga emas 2013, kita kupas sedikit apa yang terjadi pada 2012. Data kami menyebutkan bahwa performansi emas selama 2012 harga emas naik 7,51% dalam Rupiah dan naik 8,4% dalam US$. Kenaikan ini lebih rendah secara Year on Year dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 17% dan tahun 2010 yang mencapai 24,9%.

Meski demikian, ada rule/ prilaku yang diyakini dan terbukti selama 40 tahun di investasi emas yaitu harga terendah pada tahun berjalan tak pernah menyentuh harga terendah pada tahun sebelumnya. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2012 terhadap 2011 dan 2011 terhadap 2010.

Pada 2012, harga tertingginya (US$1787/toz) tak menyentuh harga tertinggi 2011 yaitu USD1915/toz. Akan tetapi pada bulan terakhir 2012 emas lokal naik pesat karena faktor melemahnya Rupiah terhadap US$ yang cukup signifikan, sehingga emas dibeli lebih mahal dalam Rupiah dibanding dibeli dengan US$.

Di dalam negeri, Antam merealisasikan kenaikan penjualan 4 ton di tengah melemahnya pembelian retail oleh masyarakat yang didorong pengetatan aturan gadai emas di bank syariah oleh Bank Indonesia. Awal tahun 2012 minat masyarakat berinvestasi emas begitu tinggi hingga Menkeu merasa harus mengeluarkan statement untuk mengeremnya. Hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah India yang menganjurkan pengendalian investasi emas oleh masyarakat dengan mengenakan pajak lebih tinggi pada semester 2 – 2011. Overall, harga emas selama 2012 naik tak curam tapi seperti biasa, naik 2 kali lipat dibanding suku bunga, baik Rupiah maupun US$.

2013 kenaikan harga emas akan dipicu permintaan domestik yang tinggi

Tahun 2013 akan menjadi tahun yang cerah bagi ekonomi Indonesia. Ekonomi diperkirakan tumbuh 6,3-6,7% dimana secara global ekonomi tak naik lebih dari 2%, bahkan Eropa minus. Investasi langsung (FDI = Foreign Direct Investment) naik 11,6-12% dan konsumsi rumah tangga naik 5-5,4%. Di sisi lain, inflasi diperkirakan 3,5-5,5%. Sehingga secara umum, minat investasi individual akan naik karena kesadaran yang makin baik tentang pentingnya investasi. Masyarakat juga makin percaya diri bahwa investasi (di berbagai sektor) akan aman dan menjanjikan.

Oya, ada data bahwa perkiraan harga emas oleh para analis bertahun ke belakang ternyata tak pernah benar. Alias salah perkiraan. Bloomberg pada tahun tahun 2008 memperkirakan harga emas USD780/toz ternyata mencapai 820/toz. Pada 2009 diperkirakan 825 ternyata 980. Demikian seterusnya. Bloomberg ‘menyadari’ dengan mengatakan “They (analyst) forecast gold prices to decline a few years out” ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Apa makna ini semua? Emas naik lebih sering diluar perkiraan siapapun.


Oleh : Endy J Kurniawan

10 Januari 2013

Demokrasi, Inflasi dan Korupsi...

Seorang professor di Frankfurt School of Finance and Management – Germany, Prof. Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa faham demokrasi yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa dampak korupsi kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat keilmuan beliau – yang dipercaya sebagai Chief German Economist for Barclay Capital  selama 12 tahun - tentu teori tersebut bukan  teori yang tanpa dasar.


Demokrasi yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.



Masalahnya adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.



Dalam kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik – ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat mengkerut !.



Teori Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami di negeri ini.



Di Amerika saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit – batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.



Solusi yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa - life as usual.



Tetapi masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.



Logika sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.



Yang pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan tetangga Anda – tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.



Hampir pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka panjang - hanya tidak atau belum disadari saja.



Hutang yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil hartanya tidak segera merasa kehilangan .



Contoh kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.



Ambil misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah, populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.



Upaya penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit , tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.



Kasus yang mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.



Sesaat kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya ? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.



Penyakitnya sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas.  Berupa apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir 52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.



Mengapa defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan – tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di negeri defisit.



Karena kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar dari pendapatan Anda ?, makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.



Kalau sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan. Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai uang kita.



Dengan cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik, sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.



Karena strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war – perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.



Siapa korban perang dari currency war ini ?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun, tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam mata uang yang terlibat dalam currency war secara langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah korban korupsi kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan yang inflatif.



Lantas bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas ?.



Pertama kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku – universal unit of account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.



Untuk mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs ini atau Kalkulator Point di www.indobarter.com .



Setelah ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset riil lainnya yang terjaga nilainya.



Tahap berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Asets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.



Tidak mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata, pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi kolektif itu. InsyaAllah.

09 Januari 2013

Error Peradaban…

Anda tahu kilogram, meter dan liter ?, apa persamaan ketiganya ?. Ketiganya mewakili satuan pengukuran, yaitu masing-masing untuk mengukur berat, mengukur panjang dan mengukur volume. Berbeda gunanya, tetapi satuan ini sama di seluruh dunia dan tidak berubah sejak pertama kali digunakan dalam peradaban manusia.

Anda tentu juga sangat tahu tentang Rupiah, Dollar dan Riyal ?, ketiganya adalah satuan mata uang untuk tiga negara yang berbeda. Ketiganya berfungsi untuk mengukur nilai (unit of account) atau menilai harga barang-barang dan jasa. Ketiganya tidak bernilai tetap, cenderung terus menurun dan satu mata uang berbeda laju penurunannya dibandingkan dengan mata uang yang lain.

Kelompok pertama bernilai tetap dan berlaku sepanjang jaman meskipun dikonversi dengan sebutan yang berbeda. Misalnya 1 kg, bisa dikonversi menjadi pound dengan nilai 2.20462. Kilogramnya tetap dan pound-nya juga tetap.

1 meter bisa dikonversi menjadi 3.28084 feet, meternya tetap dan feet-nya juga tetap. 1 liter bisa dikonversi menjadi 0.264172 galon, liternya tetap dan galonnya-pun tetap.

Jadi dalam urusan berat, panjang dan volume ada satuan-satuan yang dipakai secara baku di seluruh dunia, bisa disebut secara berbeda tetapi masing-masing jenis satuan selalu bisa dikonversikan ke yang lain dengan nilai konversi yang tetap.

Ironinya adalah dalam urusan yang tidak kalah pentingnya dengan menimbang berat, mengukur panjang dan menakar volume – yaitu urusan menentukan nilai, ternyata manusia modern tidak memiliki satuan yang baku. Masing-masing negara memiliki satuannya sendiri, tetapi negara-negara tersebut tidak pada bisa menjaganya menjadi satuan yang baku.

Walhasil ketika dikonversikan ke satuan nilai negara lain, hasilnya juga tidak baku. 1 Rupiah sekarang sangat berbeda dengan 1 Rupiah yang sama tahun 2000. 1 Dollar sekarang berbeda dengan 1 Dollar tahun 2000. Kalau dikonversikan di antara keduanya dari Rupiah ke Dollar atau sebaliknya, hasilnya tidak pernah sama dari satu waktu ke waktu yang lain.

Ternyata timbangan nilai yang dipakai manusia modern justru sangat tidak reliable, tidak berfungsi dengan semestinya. Timbangan berupa mata uang kertas yang seharusnya berfungsi tiga yaitu sebagai penentu nilai (unit of account), penyimpan nilai (store of value) dan alat tukar (medium of exchange), ternyata hanya fungsi yang terakhir yang berjalan.

Bila Anda membuat program komputer untuk menjalankan serangkaian fungsi, tetapi ternyata yang berfungsi hanya satu dari sekian fungsi yang seharusnya – apa yang terjadi ? itulah Error !. Karena uang kertas adalah produk peradaban yang seharusnya berfungsi tiga tadi tetapi ternyata hanya satu yang jalan, maka saya menyebutnya sebagai Error Peradaban.

Untuk lebih mudah memahami Error Peradaban ini, saya buatkan ilustrasi sebagai berikut :

Bayangkan dahulu kala di jaman Majapahit, ada seorang petani kaya yang memperkerjakan sejumlah buruh tani untuk menanam padi. Kepada masing-masing buruh tani ini dijanjikan upahnya nanti pada saat panen masing-masing akan memperoleh gabah seberat 25 bakul.

Ketika panen tiba, petani kaya membagikan upah ke masing-masing buruh 25 bakul dan semuanya senang karena itu cukup untuk makan sekeluarganya sampai panen berikutnya.

Musim panen berikutnya petani kaya waktunya membagi lagi 25 bakul untuk masing-masing buruh taninya, tetapi bakul yang dipakainya bukan lagi bakul yang dahulu. Petani kaya menggunakan bakul yang sedikit lebih kecil, tanpa menyadarinya si petani menerima bayarannya dan membawa pulang 25 bakul gabah.

Begitu seterusnya setiap musim panen tiba, petani kaya selalu memiliki bakul baru yang sedikit lebih kecil ukurannya untuk menakar upah para buruh taninya.  Maka sekian musim panen berlalu, petani selalu membawa pulang 25 bakul gabah untuk keluarganya. Tetapi kok gabah yang diterimanya semakin tidak cukup dan terus semakin tidak cukup.

Apa yang terjadi dengan bakul yang mengecil itulah yang terjadi dengan temuan peradaban manusia modern yang disebut uang kertas itu. Namanya inflasi yang ‘menggerogoti bakul’ sehingga makin lama makin kecil – tanpa kita sadari.

Tahun 1995 seorang manager di perusahaan menengah bergaji Rp 10 juta, kini untuk posisi yang sama gajinya Rp 40 juta. Mana yang lebih tinggi ?, tahun 1995 gaji 10 juta setara dengan sekitar  80 Dinar atau 80 ekor kambing ukuran baik. Kini Rp 40 juta hanya setara dengan 18 Dinar atau 18 ekor kambing ukuran baik. Anda bisa cek perhitungan ini dengan Kalkulator Dinar di menu situs ini.

Seorang manager di perusahaan menengah tahun 1995 mampu memikul biaya hidup bagi keluarga besarnya, orang tuanya, adik-adiknya, ponakannya dlsb. disamping tentu keluarganya sendiri . Seorang manager perusahaan menengah sekarang mungkin hanya cukup untuk menghidupi keluarganya sendiri.

Apa penyebabnya ?, karerna harga barang-barang kebutuhan menjadi mahal ?, betul memang faktanya biaya hidup tambah mahal. Tetapi apa yang membuatnya mahal ?, itulah ‘bakul yang mengecil’ tadi yang di peradaban manusia modern disebut inflasi.

Lantas apakah solusinya para karyawan di jaman ini rame-rame minta naik gaji ?, bukan itu solusinya karena perusahaan tempatnya bekerja juga belum tentu tumbuh. Dia mengira hasilnya tumbuh karena menakarnya dengan bakul yang sama – yaitu bakul yang mengecil.

Tempat si manager bekerja tersebut tahun 1995 memiliki aset Rp 100 milyar dan kini asetnya mencapai Rp 1  trilyun, apa perusahaan bener-bener tumbuh selama ini ?. Untuk mengetahuinya lagi-lagi kita dapat gunakan Kalkulator Dinar yang sama.

Rp 100 milyar tahun 1995 adalah setara 805,153 Dinar (tahun 1995 perusahaan memiliki 805,153 ekor kambing !), sedangkan Rp 1 trilyun kini hanya setara 441,228 Dinar ! (tinggal 441,228 ekor kambing !). Jadi perusahaan tidak mampu menaikkan kesejahteraan para karyawan dan manajernya karena perusaan sendiri aset-nya juga ternyata menyusut tanpa sadar.

Jadi yang membuat penurunan kwalitas hidup manusia modern itu antara lain adalah tidak berfungsinya satuan timbangan yang baku yaitu satuan timbangan yang sangat penting yang digunakan sehari-hari untuk menentukan upah buruh, mengukur aset perusahaan dlsb – itulah satuan mata uang fiat.

Tanpa satuan yang baku, kita tidak bisa mencanangkan target secara akurat untuk peningkatan kwalitas hidup individu atau pertumbuhan aset bagi perusahaan. Target-target yang kita capai selama ini yang diukur dengan Rupiah, Dollar ataupun mata uang kertas lainnya – adalah target semu, yang secara angka bisa saja kita capai – tetapi pada hakekatnya secara nilai tidak bener-bener  kita capai.

Untuk mencegah proses pemiskinan tanpa sadar ini terus berlanjut seperti yang dialami para buruh tani di jaman Majapahit dan juga para pegawai dan manajer di jaman ini, maka timbangan yang baku untuk mengukur nilai itu memang sudah waktunya kita gunakan. Itulah fungsi yang coba diperankan oleh Kalkulator Dinar dan Kalkulator Point.

Peradaban mata uang yang seharusnya memudahkan manusia untuk bisa bermuamalah secara adil satu sama lain itu, ternyata memiliki Fatal Error yang berdampak pada penurunan kwalitas hidup manusia pada umumnya. Ada dua kemungkinan yang bisa kita lakukan, membetulkan Error tersebut atau mengganti sama sekali ‘program’-nya. Saya mencoba membetulkan Error-nya dahulu, siapa tahu masih bisa dibetulkan. Wa Allahu A’lam.

Harga Emas : Tidak Terlalu Tinggi dan Tidak Terlalu Rendah…

Gonjang-ganjing harga emas dunia terjadi pada akhir pekan lalu ketika harga emas jatuh dibawah US$ 1,630/ozt sebelum akhirnya balik ke angka US$ 1,650-an. Rentang harga yang jauh ini terjadi karena pasar sempat panik setelah di-release-nya catatan pertemuan the Fed, bahwa QE -3 mungkin akan diakhiri tahun ini. Untuk sesaat pasar meresponnya dengan sentimen negatif berupa aksi jual emas karena harga emas diduga akan terus turun bila the Fed tidak lagi mencetak uang terus menerus dari awang-awang. Tetapi apa yang kemudian mendorong harga naik kembali dalam beberapa jam kemudian ?

Segera setelah pasar berfikir logis, bahwa secara fundamental problem ekonomi Amerika belum banyak berubah – bahwa segudang masalah masih menghadang di depan mata, maka pasar emas-pun kembali ke harga yang menurut saya wajar.

Tiga masalah utama yang dihadapi pemerintah Amerika saat ini adalah rencana pemotongan belanja dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan dan kesepakatan  batas atas pinjaman. Untuk mengatasi masalah yang terakhir misalnya , yaitu proses negosiasi batas atas pinjaman negeri itu yang dilakukan di musim panas tahun 2011 lalu – telah mendorong harga emas naik ke angka tertingginya sepanjang sejarah – sempat menyentuh angka US$ 1,900/ozt di awal September 2011.

Batas atas pinjaman yang kini dipatok pada angka US$ 16.4 trilyun itu telah habis lagi terpakai sampai akhir 2012 lalu. Saat ini pemerintah negeri itu sedang berusaha dengan berbagai cara untuk mengatasi masalah hutang yang sudah mentog ini, tetapi kemungkinan hanya akan bertahan dua bulan sampai akhir bulan depan.

Negosiasi yang alot akan kembali terjadi mulai dalam beberapa pekan kedepan dan pasar berharap-harap cemas akan apa yang kemungkinan terjadi. Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Services bahkan sudah mengeluarkan warning bahwa ada kemungkinan mereka menurunkan rating pinjaman negeri itu bila masalah kesepakatan penurunan defisit tidak tercapai.

Dengan berbagai isu tersebut di atas, memang dalam jangka pendek harga emas dunia mudah bergejolak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Namun setelah mengamati pergerakan harga emas ini dalam lima tahun terakhir, saya menjadi semakin yakin bahwa emas itulah uang yang sesungguhnya. Dia bisa naik tinggi tetapi tidak terlalu tinggi, atau turun rendah tetapi juga tidak terlalu rendah.

Mengapa demikian ?, atas kuasa Allah kepemilikan emas itu relatif menyebar ke seluruh pelosok dunia. Amerika-pun yang berusaha menguasai emas dunia sejak lebih dari setengah abad terakhir, penguasaan mereka hingga kini tidak lebih dari 5% dari emas dunia. Kepemilikan yang menyebar ini membuat tidak ada satu pihak-pun yang terlalu dominan di pasar.

Walhasil pasar emas dunia merupakan pasar yang paling mendekati pasar sempurna dalam  mekanisme pembentukan harganya. Ketika sentimen orang beli meningkat, stok relative tetap – maka harga melonjak. Ketika sudah cukup tinggi, pemilik stok merasa waktunya melepas stoknya – meningkatkan jumlah supply yang available untuk dijual – harga kembali turun, begitu pula sebaliknya.

Karena mekanisme pembentukan harga  yang terjaga mendekati pasar sempurna inilah maka emas menjadi uang yang paling adil. Daya beli Dinar emas misalnya tidak akan melonjak sampai cukup untuk membeli sapi, tetapi juga tidak akan turun sampai hanya cukup untuk membeli ayam. Harga Dinar tetap berada di kisaran harga kambing selama ribuan tahun. Berspekulasi dengan harga emas secara umum tidak akan membuat seseorang menjadi kaya – karena harga emas yang tidak bisa terlalu tinggi itu tadi.

Positioning emas yang paling pas untuk saat ini adalah sebagai unit of account, store of value dan bila sudah memungkinkan juga menjadi medium of exchange.

Sebagai unit of account dia akan terus dapat menimbang secara adil nilai barang-barang kebutuhan manusia sepanjang jaman, naiknya harga dia seiring naiknya komoditi lain – demikian pula dengan turunnya harga dia seiring turunnya harga-harga komoditi lain. Kemudian tinggal menyisakan faktor supply and demand – yaitu fitrah pembentukan harga di pasar.

Sebagai store of value, emas berulang kali menunjukkan fungsinya yang sangat efektif melindungi asset rakyat manakala pemerintah –pemerintah dunia gagal melindunginya. Untuk fungsi ini Anda bisa tes menggunakan Kalkulator Dinar  yang saya perkenalkan di menu situs ini sejak kemarin.

Di Indonesia di awal krisis 1997, harga 1 Dinar Rp 133,900,- di puncak krisis ketika pemerintah saat itu tidak bisa mengendalikan daya beli uang Rupiah kita, tahun 1998 harga Dinar ikut melonjak menjadi Rp 418,300. Dinar melompat proporsional harganya seiring dengan penurunan daya beli Rupiah saat itu.

Sepuluh tahun kemudian, ketika Amerika mulai dilanda krisis sub-prime mortgage hal yang sama terulang di negeri lain yang katanya perkasa. Sebelum krisis 2007, harga 1 Dinar setara US$ 89,-, pada krisis yang pertama tahun 2008, harga Dinar melonjak menjadi US$ 123,-. Dan hingga kini, respon atas ketidak mampuan negeri itu mengelola uangnya – yang menjadi reserve currency dunia, harga Dinar berada di kisaran angka US$ 235,- atau naik 164 % dalam lima tahun krisis financial Amerika.

Setelah dua dari tiga fungsi uang yaitu unit of account dan store of value terbukti diperankan dengan sangat efektif oleh emas, maka tinggal satu fungsi saja yang nantinya akan terjadi dengan sendirinya yaitu sebagai medium of exchange atau alat tukar.

Setelah dunia lelah bereksperimen dengan uang fiat berabad-abad lamanya, kegagalan demi kegagalan, eksploitasi demi eksploitasi – maka masyarakat yang cerdas dunia insyaAllah akan kembali pada yang fitrah, mata uang yang adil sepanjang jaman yaitu satu-satunya mata uang yang berperan paripurna dalam ketiga fungsinya – unit of account, store of value dan medium of exchange. InsyaAllah.

07 Januari 2013

Kembalinya Timbangan Yang Hilang…

Bila tahun 2010 Anda memiliki uang sebesar Rp 6,518,- Anda sudah bisa membeli 1 kg beras kwalitas rata-rata. Dua tahun kemudian 2012, uang yang sama bila Anda belikan beras tinggal memperoleh 0.86 kg. Tahun 2012 Anda perlu uang sebesar Rp 7,550,- untuk bisa membeli 1 kg beras kwalitas rata-rata. Begitu banyak kita diingatkan untuk menegakkan timbangan, tetapi justru instrumen perdagangan utama manusia modern yaitu uang kertas secara amat gamblang dan terus menerus mengurangi timbangan itu.

Takaran dan timbangan yang paling banyak digunakan untuk jual beli manusia modern bukan untuk menakar volume atau menimbang berat, tetapi untuk menentukan nilai. Lantas bagaimana bila penentu nilai itu sendiri berubah-ubah nilai atau daya belinya dari waktu ke waktu, tidak ada standar yang sama di antara satu negeri dengan negeri lainnya ?.

Jawabannya adalah seperti menakar dengan takaran yang volumenya terus mengecil, seperti menimbang dengan anak timbangan yang terus bertambah ringan. Hasil yang bisa ditakar atau ditimbang menjadi semakin sedikit. Uang kertas kita adalah takaran yang volumenya mengecil atau timbangan yang anak timbangnya terus bertambah ringan tersebut.

Dampak yang lebih luas dari tidak adanya takaran atau timbangan yang baku adalah perdagangan di dunia modern seperti orang-orang yang berjalan di lorong gelap, hanya yang membawa lampu sendiri yang tahu sedang berjalan kemana – sementara mayoritas orang tidak tahu sedang ke arah mana dia berjalan.

Pemerintah-pemerintah dunia mungkin tahu apa yang sedang mereka lakukan, tetapi mayoritas rakyat tidak sadar atau  tidak tahu bahwa hasil jerih payah mereka bekerja bertahun-tahun –terus menyusut bila untuk menakar/menimbang (baca : membeli) barang-barang kebutuhan seperti dalam contoh beras tersebut di atas.

Bagaimana era kegelapan timbangan ini membuat manusia kehilangan arah dapat diilustrasikan dari kasus berikut :

Pada musim qurban 2010, harga seekor kambing super (sekitar 40 kg) harganya di kisaran Rp 1,700,000. Pada tahun 2012 kambing qurban dengan berat yang kurang lebih sama, harganya di kisaran Rp 2,500,000,-. Mana yang lebih mahal ? dari sisi angka Rupiah tentu tahun 2012 lebih mahal 47% dari harga tahun 2010.

Kita bandingkan lagi dengan harga kambing di Amerika pada tahun-tahun tersebut. Untuk kambing dengan berat yang kurang lebih sama, tahun 2010 harganya US$ 100,- dan tahun 2012 harganya di kisaran US$ 150,-. Harga kambing di Amerika dari tahun 2010 ke tahun 2012 mengalami kenaikan sedikit saja lebih tinggi dari harga kambing di kita yaitu di kisaran 50%.

Dengan timbangan Rupiah dan Dollar selain kita tidak tahu apakah  harga tahun 2012 benar-benar lebih tinggi dan seberapa besar lebih tingginya, kita juga tidak bisa langsung membandingkan mana yang lebih mahal harga kambing di Indonesia dalam Rupiah atau kambing di Amerika dalam Dollar.

Sekarang mari kita coba gunakan timbangan yang bersifat universal atau saya sebut universal unit of account berupa Dinar atau Point ( 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar). Untuk memudahkan penggunaan Dinar atau Point ini, mulai hari ini Kalkulator Dinar saya pasang di www.geraidinar.com (kalau kesulitan mencarinya lihat di menu paling atas atau menu paling bawah) dan Kalkulator Point saya pasang di www.indobarter.com

Baik Kalkulator Dinar maupun Kalkulator Point dapat digunakan untuk menghitung konversi Dinar atau Point ke seluruh mata uang utama dunia atau sebaliknya dari seluruh mata uang utama dunia ke Dinar atau Point. Untuk US$ maupun Rupiah bahkan bisa untuk menghitung konversi Dinar atau Point ke mata uang dan sebaliknya, untuk waktu mundur sampai 1970.

Cara penggunaannya lihat pada ilustrasi disamping, pilih konversi yang ingin Anda lakukan misalnya karena saya mau mengkonversi harga kambing super  2010 sebesar Rp 1,700,000 ke Dinar, maka saya click radio button “Currency to Dinar”. Di Kotak putih saya ketikkan angka 1700000 (tanpa koma), currency saya set ke Rupiah dan tahun saya set ke 2010. Setelah saya click “Calculate” maka di screen menunjukkan angka Rp 1,700,000 yang setara dengan 1.0852 Dinar untuk tahun 2010. Inilah harga kambing super saat itu.

Dengan langkah yang sama saya ulangi untuk tahun  2012, maka harga kambing super Rp 2,500,000,- ternyata setara dengan 1.1357 Dinar. Sekarang kita bisa membandingkan dengan timbangan yang adil itu, harga kambing 2012 ternyata memang lebih mahal tetapi hanya naik sekitar 4.7 % dalam dua tahun.

Maknanya adalah dengan Dinar-pun harga kambing bisa naik, yaitu manakala demand melebihi supply. Ketika orang yang mampu membeli qurban kambing super lebih banyak dari pertambahan supply-nya – maka harganya memang akan naik. Tetapi kenaikan karena demand yang melebihi supply ini, dalam jangka panjang akan menuju kestabilan karena akan menarik bagi yang akan men-supply kambing qurban berikutnya.

Dengan mengetahui bahwa kenaikan harga kambing  riilnya hanya 4.7% selama dua tahun 2010 ke 2012, lantas mengapa dengan uang Rupiah naiknya sampai 47% ?. Itulah kenaikan karena inflasi harga kambing dalam Rupiah selama dua tahun terakhir.

Bila kita sederhanakan misalnya kenaikan harga itu hanya dipengaruhi oleh dua sebab yaitu faktor inflasi dan faktor supply and demand atau saya formulasikan KENAIKAN HARGA = F(Inflasi)*(1+ Kenaikan Karena Supply and Demand), maka 47% = F(Inflasi)* (1+4.7%). Dari ini kita akan ketemu bahwa inflasi Rupiah saja telah menaikkan harga kambing qurban kelas super sebesar  44.89% dalam dua tahun dari 2010 ke 2012.

Kalkulator yang sama bisa kita gunakan untuk menghitung kenaikan harga kambing dengan ukuran yang kurang lebih sama di negeri Paman Sam. Harga kambing US$ 100 pada tahun 2010 setara dengan 0.5814 Dinar, harga kambing US$ 150 pada tahun 2012 setara dengan 0.6383 Dinar. Jadi dalam Dinar kenaikan kambing di AS dari 2010 ke 2012 adalah 9.8%.

Karena dalam Dollar naiknya sampai 50 % ( dari US$ 100 ke US$ 150), maka sebenarnya kenaikan karena faktor inflasinya adalah 50% = F(Inflasi)*(1+9.8%). Jadi Faktor inflasi-nya saja mempengaruhi kenaikan harga kambing 45.54% di Amerika antara tahun 2010 ke 2012.

Setelah menggunakan timbangan yang sama, kita juga bisa mengetahui bahwa kambing qurban kelas super yang di Indonesia tahun lalu berharga 1.1357 Dinar jauh lebih tinggi dari kambing dengan berat yang kurang lebih sama di Amerika yang hanya 0.6383 Dinar. Apa penyebabnya ?, lagi-lagi antara lain ya karena supply and demand tadi, ongkos produksi dan lain sebagianya – tetapi bukan karena faktor inflasi, karena faktor inflasi dalam artian penurunan daya beli uang-nya sudah kita eliminir.

Lagi-lagi perhitungan di atas membuktikan akan adanya suatu alat tukar atau suatu timbangan yang stabil daya belinya sepanjang jaman. Bila di jaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam harga kambing qurban di kisaran 1 Dinar, setelah lebih dari 1,400 tahun perhitungan-perhitungan diatas menunjukkan 1 Dinar yang sama tetap dapat untuk membeli kambing kwalitas super sekarang.

Bandingkan dengan uang kertas dalam rentang 33 tahun terakhir saja misalnya, dari 1979 harga kambing kelas super yang wajar Rp 25,000-an – naik  100 kali menjadi Rp 2,500,000,- tahun 2012. Dengan pendekatan yang sama menggunakan Kalkulator Dinar di atas, kita bisa tahu bahwa tahun 1979 kambing super berharga 0.9259 Dinar sedangkan tahun 2012 seharga 1.1357 Dinar atau hanya mengalami kenaikan riil 22.65 % selama 33 tahun.

Bahwasannya dalam Rupiah pada rentang waktu 33 tahun itu harga kambing super naik menjadi 100 kalinya atau naik 9,900 % itu karena ada inflasi uang kertas sebesar 8,071.75% !.

Bagaimana dengan beras dalam awal tulisan ini yang saya jadikan sebagai contoh kasus ‘pengurangan timbangan’ yang kita hadapi sehari-hari dalam jual beli kita ?. Bisa juga kita timbang dengan Kalkulator Dinar yang sama, hanya saja karena satuan Dinar yang bernilai jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai 1 kg beras, ini ibarat menimbang berat badan Anda dengan jembatan timbang yang biasa digunakan untuk menimbang truk. Bisa, tetapi menjadi kurang akurat.

Untuk bisa menimbang barang-barang yang nilainya kecil, timbangan Dinar tersebut perlu diperkecil sampai mendekati ukuran yang sesuai peruntukannya. Dalam hal ini Dinar saya pecah menjadi 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar atau saya sebut 1 Point. Kalkulator yang sudah saya perkecil menjadi Kalkulator Point  inilah yang dapat dilihat di www.indobarter.com.


Rp 6,518 untuk 1 kg beras kwalitas rata-rata tahun 2010 adalah setara 42 Point, sedangkan Rp 7,550 untuk beras yang sama tahun 2012 adalah setara 34 Point. Jadi meskipun dalam Rupiah terjadi kenaikan harga sebesar 15.83 % dalam rentang waktu dua tahun antara 2010 ke 2012; harga beras riil dalam Point malah turun 19.05% dari 42 Point ke 34 Point.

Efek inflasi Rupiah terhadap harga beras 2 tahun terakhir menjadi 15.83% = F(Inflasi) * (1-19.05%), atau inflasi Rupiah membawa kenaikan harga beras sampai 19.56% dalam rentang waktu tersebut. Kenaikan karena inflasi ini sebagian ‘tersembunyikan’ oleh penurunan harga riilnya.

Dengan contoh-contoh perhitungan menggunakan Kalkulator Dinar maupun Kalkulator Point tersebut di atas, insyallah kita sekarang bisa menemukan kembali timbangan untuk jual-beli yang adil itu. Yang oleh Imam Ghazali sudah diingatkan hampir 1000 tahun lalu bahwa  ‘hanya emas dan perak-lah timbangan yang adil untuk penentu harga-harga itu’.

Timbangan yang adil adalah ibarat lampu yang menerangi jalan, kita bisa tahu arah yang benar apakah fitrah mekanisme pasar  supply and demand yang mempengaruhi harga-harga kita, atau karena faktor lain seperti utamanya inflasi ini. Bayangkan kalau kenaikan harga karena inflasi seperti harga beras 2010-2012 tersebut kita kira karena kelebihan demand terhadap supply, kita akan salah mengambil keputusan.

Karena penyebabnya inflasi bukan karena supply yang tidak mencukupi demand, maka yang harus diperbuat para pemimpin adalah mengendalikan inflasi ini jangan sampai terjadi – agar rakyat bisa tahu arah yang benar – berapa seharusnya tingkat produksi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Saya tahu mungkin tidak banyak yang akan mau menggunakan ‘lampu’ timbangan yang adil dalam bentuk Kalkulator Dinar dan Kalkulator Point ini, tetapi ibarat berjalan di lorong yang gelap – apapun yang bisa menerangi jalan seharusnya kita ambil dan gunakan. Wa Allahu A’lam.

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.