Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

15 Juli 2014

Uang Baru dan Pemerintahan Baru

Siapapun yang akhirnya nanti menggantikan pemerintahan yang sekarang akan disambut dengan uang yang baru. Uang yang baru ini akan secara tegas menyebutkan bahwa ini adalah uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditanda tangani oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan, selama ini uang kita bukan uang NKRI tetapi uang Bank Indonesia.  Yang lebih serius dari ini adalah dalam periode pemerintahan yang akan datang – besar kemungkinan redenominasi mata uang Rupiah harus dilakukan.

RUU untuk redenominasi Rupiah ini sebenarnya sudah disampaikan pemerintah ke DPR  dan bahkan seharusnya masuk prioritas Prolegnas tahun 2013, namun karena redenominasi yang akan mengurangi tiga angka nol pada uang kita tersebut juga beresiko – maka pembahasannya nampaknya ditunda.

Resiko ini diungkapkan bahkan oleh menteri keuangan Republik Indonesia sendiri melalui situs resmi Departemen Keuangan, apabila gagal rencana redenominasi tersebut akan berdampak terhadap inflasi yang akan menjadi tingggi . “ Ada resiko inflasi. Kalau situasinya sudah lebih baik mungkin (redenominasi Rupiah) bisa dilakukan” ujar Menkeu.

Pertimbangan faktor resiko inilah antara lain yang membuat wacana redenominasi yang sudah ramai dibicarakan dalam lima tahun terakhir urung dilaksanakan. Tetapi ini seperti bom waktu yang diteruskan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, suatu saat harus ada yang berani mengambil keputusan.

Redenominasi mestinya sudah harus dilakukan di akhir 90-an ketika  kurs Rupiah melewati angka Rp 10,000. Dampak dari angka nol yang terlalu banyak ini menimbulkan masalah di system IT bukan hanya di perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia , tetapi juga di seluruh dunia yang mengakomodasi mata uang Rupiah.

Angka nol yang terlalu banyak juga memberi kesan ‘kurang bernilainya’ mata uang Rupiah ini di mata internasional. Rupee-nya India mestinya sama saja kekuatannya dengan Rupiahnya Indonesia, tetapi karena 1 Rupee nilainya hampir Rp 200 ,- maka seolah Rupee lebih kuat atau lebih berharga dari Rupiah.

Angka nol yang terlalu banyak – yang kemudian perlu dipotong juga menjadi karakter dari negeri-negeri yang mempunyai problem dengan nilai mata uangnya. Kita bisa tahu ini dari negara-negara lain yang pernah mengalaminya seperti  Islandia (1991), Rusia (1998), Meksiko (1993), Polandia (1995), Ukraina (1996), Peru (1991) , Bolivia (1987) dan yang fenomenal Turki (2005) dan Zimbabwe (2009).

Ketika Turki berani melakukan redenominasi mata uangnya lira tahun 2005 lalu, mereka tidak tanggung-tanggung harus membuang enam angka nolnya. Angka 1,000,000 lira menjadi 1 lira saja. Ini harus dilakukan Turki untuk merespon tingginya angka inflasi selama 35 tahun (1970-2005), sehingga mau tidak mau harus mereka lakukan bila tidak ingin angka nol di mata uangnya menjadi semakin terlalu banyak.

Kadang angka nol yang harus dihapus itu begitu banyaknya sehingga mata uang yang lama harus diganti sama sekali karena sudah tidak relevan lagi. Contohnya adalah yang terjadi di Zimbabwe (2006-2009), ketika mata uangnya yang tetap bernama Zimbabwean Dollar tetapi secara bertahap berganti singkatan dari semula ZWD ke ZWN kemudian ke ZWR sebelum akhirnya menjadi ZWL. Bersamaan dengan pergantian singkatan ini pula 9 angka nol dihilangkan.

Intinya adalah pada suatu titik, pemerintah harus berani melakukan redenominasi itu bila memang harus dilakukan. Dia tidak bisa meneruskan problem kebanyakan angka nol ini terus menerus ke pemerintahan berikutnya dan berikutnya lagi.

Ekonomi mungkin terganggu sesaat oleh gejolak inflasi, tetapi setelah itu akan banyak manfaatnya bagi kita semua. Kita akan bangga misalnya ketika menukar uang Rupiah kita di Mekah atau Madinah dari setiap Rp 3 kita sudah mendapatkan 1 Saudi Riyal, tidak seperti saat ini 1 SAR harus kita tebus dengan Rp 3,122 !

Dari waktu ke waktu nilai tukar mata uang Rupiah negeri manapun akan cenderung terus menurun, ada yang penurunannya drastis sehingga harus di-redenominasi dan ada yang penurunannya biasa-biasa saja. Mata uang kertas juga menjadi instrumen untuk perang dagang seperti yang terjadi antara Amerika Serikat dan China.

Maka tidak bisa lagi kita mengukur kekuatan mata uang Rupiah kita dengan Dollar misalnya. Bulan Juli 1998 US$ 1 = Rp 14,000; bulan Juli 2014 ini US$ 1 = Rp 11,700. Apakah berarti uang Rupiah kita saat ini jauh lebih kuat dari Juli 1998 ? Ternyata tidak sama sekali.

Ini bisa kita lihat kalau uang tersebut dipakai untuk membeli benda riil yang baku harganya sepanjang zaman seperti emas misalnya. Untuk membeli 1 gram emas dibutuhkan sekitar Rp 130,000 pada bulan Juli 1998, dan di bulan Juli 2014 ini kita butuh sekitar Rp 500,000 untuk bisa membeli 1 gram emas yang sama.

Kita bisa melihat sekarang bahwa meskipun seolah Rupiah menguat dibandingkan mata uang Dollar selama era reformasi hingga kini, namun daya belinya terus menurun tinggal sekitar ¼-nya saja sejak puncak krisis 1998.  Artinya bahkan terhadap puncak krisis 1998 tersebut daya beli riil uang kita sekarang jauh lebih lemah lagi !

Bayangkan sekarang realitas bahwa mayoritas asset pegawai tersimpan di Rupiah dalam berbagai bentuknya, mulai dari tabungan, deposito, tunjangan hari tua, asuransi dlsb. Bila dalam perjalanan karir Anda 16 tahun terakhir saja daya beli riil uang Anda tinggal ¼-nya, apa yang akan terjadi ketika Anda pensiun 16 tahun yang akan datang ?

Maka tidak berlebihan bila situs ini mengkampanyekan proteksi nilai sejak 7 tahun lalu, karena serendah-rendahnya harga emas atau Dinar seperti sekarang ini – dia tetap mampu memberikan perlindungan nilai jangka panjang hingga kini. Justru periode harga rendah seperti inilah sebenarnya memberi kesempatan kita untuk melakukan proteksi nilai secara lebih baik dengan menambah portfolio emas atau Dinar kita.

Uang baru dan bahkan redenominasi bisa saja menjadi isu sesaat, tetapi yang lebih hakiki sebenarnya adalah upaya untuk mempertahankan daya beli dari hasil jerih payah kita. Bila redenominasi adalah domain pemerintah dan kita tinggal menerima realita dan dampaknya, tidak demikian dengan isu proteksi nilai atau upaya mempertahankan daya beli ini – kita dapat melakukannya sendiri sekarang dan disini ! Insya Allah.

11 Juli 2014

The Death of Money

Judul tulisan ini saya ambilkan dari buku yang terbit sekitar tiga bulan lalu karya penulis best seller James Rickards. Judul lengkap buku tersebut adalah The Death of Money – The Coming Collapse of The International Monetary System. Menurut si penulis ini system moneter internasional telah gagal setidaknya tiga kali sepanjang abad lalu yaitu tahun 1914, 1939 dan 1971. Sedangkan kegagalan berikutnya dia katakan sebagai maelstrom to come – peristiwa yang cepat sekali datangnya !

Kegagalan system moneter tahun 1914 di-trigger  oleh Perang Dunia I yang kemudian diikuti oleh hyperinflation dan depression  antara tahun 1919 sampai 1922. Kegagalan tahun 1939 juga disebabkan oleh perang yaitu Perang Dunia II dan baru sembuh ketika dunia menyepakati Bretton Woods Systems di akhir PD II – ketika system keuangan dunia dikaitkan langsung dengan emas.

Kegagalan ketiga adalah ketika tahun 1971 presiden Amerika Serikat waktu itu Richard Nixon mengumumkan bahwa sejak saat itu Amerika tidak lagi mengkaitkan uangnya dengan emas. Dampak dari pengingkaran Bretton Woods Systems – yang sebenarnya disponsori oleh Amerika Serikat sendiri ini – telah membuat Dollar sudah nyaris collapse tahun 1978.

Mirip dengan tiga kegagalan sebelumnya, menurut James Rickards ini kegagalan keempat akan melibatkan perang, emas dan chaos. Lantas apa penyebabnya ? Selain perang fisik yang melibatkan Amerika Serikat di sejumlah negara-negara lain, kegagalan keempat juga akan di-trigger oleh currency wars, deflation, hyperinflation dan market collapse.

Kegagalan Dollar juga berarti kegagalan system moneter dunia karena sampai saat ini Dollar adalah reserve currency – mata uang yang juga digunakan sebagai cadangan devisa bagi seluruh negara di dunia – termasuk Indonesia. Kegagalan system moneter di dunia atau proses menuju ke-kegagalan itupun sudah cukup untuk apa yang disebut money and wealth detachment – perpisahan antara uang dan kemakmuran.

Kita yang di Indonesia sejak kemerdekaan RI 69 tahun silam juga sudah pernah mengalami satu kali kegagalan yaitu ketika kita harus melakukan sanering di tahun 1965/1966, kemudian juga sekali nyaris gagal ketika nilai tukar kita merosot tinggal 1/6-nya di puncak krisis 1998 – yang kemudian tidak sepenuhnya sembuh hingga kini – ketika daya beli uang kita tinggal kurang dari ¼ dibandingkan dengan era sebelum krisis moneter 1997/1998.

Perpisahan antara uang dan kemakmuran juga sudah lama terjadi di negeri ini. Hal ini dengan mudah bisa kita lihat dari bahasa yang kita gunakan ! Dahulu istilah jutawan adalah untuk menyebut orang yang makmur dengan memiliki harta satu juta atau lebih. Jutawan saat ini – orang yang memiliki uang satu juta atau lebih – masih berhak atas zakat kecuali setidaknya mencapai 40 kalinya (nishab zakat 20 Dinar sekitar Rp 40 juta).

Ketika terjadi perpisahan antara uang dan kemakmuran, kita tidak lagi bisa mengandalkan uang dan produk-produk turunannya seperti tabungan, dana pensiun, asuransi dlsb. sebagai instrument untuk menyimpan atau sekedar mempertahankan kemakmuran kita. Lantas apa yang bisa ?

Yang bisa menyimpan atau mempertahankan kemakmuran  adalah benda-benda riil seperti emas (di kita berarti juga Dinar), tanah, rumah, ternak, tanaman dlsb. Dari sini pulalah kita sekarang dengan mudah memahami hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut :

Dari Abu Said Al-Khudri berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Waktunya akan datang bahwa harta muslim yang terbaik adalah domba yang digembala di puncak gunung dan tempat jatuhnya hujan. Dengan membawa agamanya dia lari dari beberapa fitnah (kemungkaran atau pertikaian sesama muslim)”. (H.R. Bukhari)

Sebenarnya inilah yang sedang kita lakukan sejak setidaknya tujuh tahun terakhir, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk bisa menghidup-hidupkan kembali peradaban Islam yang semuanya memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an maupun hadits.

Kita memiliki cara-cara sendiri dalam mengelola urusan dunia kita - yang sebenarnya hanya jalan untuk sampai pada kehidupan yang hakiki setelah ini. Di semua aspek kehidupan, cara kita sendiri ini benar adanya – mulai dari mengelola moneter, kesehatan, pendidikan, pertanian dlsb. dlsb.

Maka sebelum pusaran kegagalan system moneter internasional itu menarik kita ke dalamnya – menarik kita terjerembab ke dalam lubang biawak mereka, kita harus dengan sekuat tenaga dan secepatnya bangun dari tidur lama kita – bangun untuk mulai menghidup-hidupkan peradaban kita sendiri. InsyaAllah

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.