Lantas
muncullah generasi Ekonomi Syariah tahap awal yang saya sebut Ekonomi
Syariah 1.0, kita apresiasi upaya teman-teman yang mencegah terjadinya
‘pasangan kumpul kebo’ tersebut dengan menyerukan perlunya ‘aqad nikah’ –
aqad yang membuat yang sebelumnya haram menjadi halal.
Terlepas
bahwa perilaku pasangan yang ‘dinikahkan’ tersebut masih mirip dengan
perilaku ‘kumpul kebo’ sebelumnya, tetapi setidaknya secara aqad mereka
sudah menikah secara sah – secara aqad halal. Bila masih banyak kritik
dari masyarakat ‘ katanya syariah kok begini, kok begitu…’, ini wajar
saja karena memang baru aqad-nya yang didandani.
Tetapi
mesikpun baru aqad-nya yang dihalalkan sedangkan perilakunya belum,
tidak berarti masyarakat terus pilih ‘kumpul kebo’ saja yang haram
sekalian – tetap yang ‘menikah’ lebih baik. Meskipun si suami masih suka
nggebukin istrinya, meskipun si istri masih rame-rame mendominasi para
suami sehingga timbul istilah ISTI (Ikatan Suami Takut Istri), meskipun
mereka belum peduli tentang tujuan pernikahan, belum peduli tentang anak
yang dilahirkan menjadi apa nantinya – tetap saja ini tidak lantas
membuat aqad nikah yang sah itu tidak perlu.
Maka
pencapaian Ekonomi Syariah 1.0 (ES 1.0) ini perlu diteruskan dan
disempurnakan – itulah yang saya sebut Ekonomi Syariah 2.0 (ES 2.0).
Jadi ES 2.0 bukanlah kritik terhadap kekurangan di ES 1.0, tetapi
merupakan lanjutan dan penyempurnaan dari apa yang sudah dimulai oleh ES
1.0.
Ibarat hubungan laki-laki dan perempuan tadi, setelah mereka ber-‘aqad nikah’ secara sah di ES 1.0, selanjutnya di ES 2.0 mereka harus bisa membina keluarga yang benar. Agar timbul sakinah di hati sang suami, agar timbul mawaddah warahmah di antara keduanya, agar dari mereka kelak lahir para pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa dst.
Bila
karakter ekonomi ‘kumpul kebo’ kapitalisme itu eksploitatif – mengambil
manfaat sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri, ES 1.0 berkarakter
reaktif – berusaha mensyariahkan apa saja yang ada di kapitalisme mulai
dari bank, asuransi, pasar modal, reksa dana dlsb.
Sebagaimana
reaksi yang tidak bisa melebihi aksi, maka sulit sekali ES 1.0
mengalahkan kapitalisme yang di-reaksi-nya. Setelah kurang lebih dua
dasawarsa ES 1.0 dikenal di negeri ini misalnya, pangsa pasarnya masih
kurang dari 5 % dari pangsa pasar kapitalisme ribawi yang berusaha di
respon-nya.
Walhasil dibutuhkan penyempurnaan ES 1.0 itu menjadi ES 2.0 untuk merubah karakter dari reaktif menjadi pro-aktif. Karena
merupakan upaya untuk melanjutkan dan menyempurnakan, maka di ES 2.0
kita tidak lagi bicara berbagai bentuk aqad-aqad syariah dan
produk-produk keuangan syariah yang sudah digarap di ES 1.0.
ES
2.0 bergerak di wilayah yang lebih mendasar yaitu bagaimana kegiatan
ekonomi yang merupakan upaya pemenuhan kebutuhan manusia itu, dilakukan
sesuai dengan petunjuk aslinya di Al-Qur’an , Hadits dan apa –apa yang
sudah dilakukan oleh umat ini di masa-masa kejayaan Islam yang
terdahulu.
Kita
tidak lagi bicara tentang bank, asuransi, pasar modal, reksa dana dan
sejenisnya sebagaimana di ES 1.0. Di ES 2.0, tetapi kita bicara tentang
pengelolaan sumber daya alam, sumber daya insani, pasar, perdagangan,
produksi, distribusi, pangan, air, energi dan hal-hal lain yang riil
yang menjadi pemenuhan kebutuhan manusia.
Berikut
adalah beberapa contoh kasus untuk mempermudah pemahaman tentang
bagaimana kapitalisme bekerja, bagaimana ES 1.0 meresponnya dan
bagaimana ES 2.0 proaktif mengatasi kebutuhan yang sama dengan cara yang
secara mendasar berbeda.
Pangan, Energi dan Air
Kapitalisme menganggap bahwa sumber-sumber penghidupan yang pokok bagi manusia seperti pangan, energi dan air (FEW : Food,
Energy and Water) itu terbatas, maka dia diperebutkan dengan modal dan
kekuatan-kekuatan lainnya – siapa yang kuat dia yang mendapatkan.
Akibatnya
pemodal besar menguasai lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang luas,
paten-paten bibit pertanian tanaman pangan di seluruh dunia,
sumber-sumber energi, sumber-sumber mata air dlsb. sambil berharap dunia
akan tergantung pada apa yang kini ada di genggaman tangan mereka.
ES
1.0 belum menyentuh urusan FEW ini secara mendasar, kalau toh mereka
terlibat pada pembiayaan proyek-proyek yang terkait dengan pangan ,
energi dan air – mereka baru sebatas mendanainya dengan aqad yang benar
secara syariah. Siapa yang didanainya, dan apa akibatnya bagi rakyat
banyak yang tidak memiliki akses modal, akses sumber daya alam atau
akses pasar – itu belum menjadi bahasan di ES 1.0.
ES
2.0 berpendapat bahwa sumber-sumber pemenuhan kebutuhan manusia seperti
FEW itu disediakan oleh Allah secara sangat cukup di darat maupun di
laut. Yang diperlukan adalah bagaimana menggali petunjuk ilahiah atas
sumber-sumber itu, kemudian meng-eskplorasi-nya dengan segenap ilmu
pengetahuan yang ada. Kemudian akses terhadap modal, ilmu pengetahuan
dan sumber daya alam yang ada harus dijaga menjadi milik bersama bukan
hak khusus segelintir orang saja atau privilege of the few.
Bila
si kapitalisme berusaha mengusai lahan-lahan pertanian dan paten-paten
tanaman pertanian untuk padi, gandum dan sejenisnya, kemudian menguasai
ekonomi negeri-negeri kaya minyak, mengusai negeri kaya akan sumber air
bersih – maka ES 1.0 meresponnya dengan membiayai kegiatan-kegiatan
mereka dengan perbankan syariah, mengumpulkan modal untuk mereka dengan
pasar modal syariah dan menjamin resiko mereka dengan asuransi syariah.
ES
2.0 proaktif mencari petunjuk ilahiah dari Qur’an dan hadits untuk
menjawab dimana atau apa sumber-sumber pangan itu, sumber-sumber energi
itu dan bagaimana mengelola air yang jumlahnya tetap di muka bumi ini
tetap available bagi
seluruh penghuninya. Tidak berhenti pada tataran ilmu, tetapi ilmu yang
digali harus menjadi landasan amal nyata dalam kegiatan sektor-sektor
riil yang secara konkrit mampu
memproduksi berbagai sumber pangan dan energi alternatif dan mampu
menjaga ketersediaan air bersih untuk seluruh manusia sepanjang masa.
Pasar
Pasar
bagi kapitalisme adalah harus dibuat sebebas mungkin – tetapi secara
ironis harus mereka kuasai, sehingga tidak mengapa yang kuat menggencet
yang lemah. Tidak mengapa jumlah orang miskin tambah banyak karena
keterbatasan akses mereka untuk menaikkan taraf hidup melalui akses
pasar. Tidak mengapa antar yang kuat saling curang mencurangi, saling
tuntut menuntut – toh yang akan memikul bebannya adalah rakyat banyak
pengguna produk-produk mereka.
ES
1.0 lagi-lagi belum menyentuh pasar, sebagian pelakunya malah kadang
terjebak mendanai proyek-proyek kapitalisme atau kepanjangan tangannya
yang berusaha menguasai pasar dan meng-exploitasi-nya untuk kepentingan
para kapitalisme itu sendiri.
ES
2.0 bicara tentang tuntutan pada para pemimpin agar menteladani
junjungan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sunnah
beliau tentang pasar ini. Bagaimana beliau mendirikan pasar khusus yang
sesuai dengan karakter syariat Islam bagi umatnya, bagaimana kemudian
beliau sendiri menjadi Muhtasib – pengawas pasar sebelum kemudian diserahkan kepada sahabat beliau Umar bin Khattab dan seterusnya.
Intinya
ada dua sunnah pasar yang diperjuangkan di ES 2.0 yaitu pertama para
pemimpin umat harus mampu menyediakan pasar yang dibutuhkan umat, yaitu
pasar yang dipagari dengan fala yuntaqashanna wala yudrabanna – tidak dipersempit dan tidak dibebani – agar semua orang punya akses yang sama terhadap pasar, agar tidak ada entry barrier bagi pedagang baru di pasar dan agar akses terhadap pintu-pintu kemakmuran itu merata dan terbuka untuk semua.
Yang kedua para pemimpin harus membentuk Hisbah (orangnya disebut Muhtasib) yaitu pengawas pasar, agar
syariat jual beli diberlakukan di pasar, agar terjaga keadilan di
pasar, agar tidak ada penipuan, kedhaliman, monopoli, penimbunan
kebutuhan pokok, permainan harga dan hal-hal lain yang merusak pasar.
Perdagangan
Mirip
dengan pasar, kapitalisme dunia berusaha menguasai perdagangan melalui
berbagai cara. Dengan uangnya yang dibuat terus melemah agar mampu
bersaing dengan negara lainnya, dengan berbagai paten dan standar yang
menguntungkan yang kuat yang mampu mengurus segala macam persyaratan
ini, dengan persyaratan permodalan usaha-usaha tertentu seperti bank,
asuransi dlsb. yang sangat besar sehingga cengekraman akses modal
hanyalah privilege of the view.
ES
1.0 berusaha merespon dengan mengikuti hal yang sama, baik dari sisi
uangnya, standarnya, persyaratan modalnya dlsb. Yang membedakan adalah
sambil memenuhi hal-hal yang sama tersebut, para pemain ES 1.0 juga
berusaha memenuhi ketentuan syariah pada aqad-aqad-nya.
Bagaimana
dengan ES 2.0 ?, di ES 2.0 kita menggali esensi perdagangan dari
sumbernya yang asli – Al-Qur’an, Hadits dan sirah umat ini di masa
kejayaannya. Al-Qur-an-nya memberi guidance
tentang bagaimana menjadi pelaku perniagaan (businessman) yang unggul,
yang meskipun dengan kemampuan terbatas tetapi Allah tetap memberi
balasan yang lebih baik, Allah menambah pula karunianya dan juga rezeki
tanpa batas sebagaimana ayat :
“(Mereka
mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada
mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS 24:38)
Bagaimana ini bisa dicapai oleh para pelaku niaga muslim ?, dengan mengikuti syaratnya yang diuraikan di ayat sebelumnya yaitu :
“laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli
dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)
hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS 24 :37).
Para
pedagang yang tidak dilaikan dari mengingat Allah adalah para pedagang
yang adil, yang tidak akan mengurangi timbangan, yang tidak mencurangi
pembeli atau mitra dagangnya – yang takut pada suatu hari yang
mengguncangkan hati dan mata.
Lalu hadits shahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh perawi bahwa inti dari perdagangan yang adil itu adalah
barter antara benda riil dengan benda riil, antara benda yang memiliki
nilai intrinsik dengan benda lain yang juga bernilai intrinsik -
sebagaimana hadist berikut : “(Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. (HR. Muslim).
Bagi yang sulit memahami hadits di atas, kalimat mulai dari ‘emas dengan emas’ …sampai ‘garam dengan garam’ adalah inti pelarangan riba dari perdagangan barang sejenis, sedangkan kalimat mulai dari ‘…jika jenisnya berbeda juallah sekehendakmu...’ adalah untuk transaksi pertukaran dari satu jenis barang dengan jenis barang lainnya atau dalam bahasa kita kini adalah ya barter !. Istilah apa lagi pertukaran antara gandum dengan kurma, kurma dengan garam dlsb selain istilah barter ?.
Ketika
kemudian ada yang memudahkan perdagangan barter itu dengan uang (fulus)
– transaksi pertukaran antara benda bernilai intrinsik dengan benda
lain yang tidak bernilai intrinsik – tetapi hanya mewakili suatu nilai,
sebagian ulama beranggapan inipun tidak mengapa digunakan – hanya tetap
diperlukan timbangan atau hakim yang adil dalam penentuan nilai itu –
inilah yang kemudian diingatkan oleh Imam Ghazali sekitar 470 tahun
pasca kenabian bahwa timbangan yang adil dalam penentuan harga-harga itu
hanyalah emas (Dinar) dan perak (Dirham).
Kemudian lagi ketika fulus sudah menggantikan hakim yang adil berupa emas dan perak, dan fulus
dicetak berlebihan oleh penguasa yang tidak bertanggung jawab sehingga
masyarakat yang dirugikan dengan naiknya harga barang-barang atau
turunnya daya beli fulus
yang dipegangnya (inflasi) – ulama seperti Ibnu Taimiyah-pun
mengingatkan penguasa negerinya saat itu agar mereka tidak mencetak fulus (uang selain emas dan perak) melebihi kebutuhan transaksi di dalam negerinya – agar rakyat yang memegang fulus tersebut tidak dirugikan. Peringatan Ibnu Taimiyah ini diberikan sekitar 690 tahun pasca kenabian.
Kini
sekitar 1400 tahun pasca kenabian, perdagangan barter itu ditinggalkan
umat ini, hakim yang adil sebagai penilai barang-barang (emas dan perak)
tidak digunakan dan fulus-pun
dicetak secara tidak terkendali oleh seluruh penguasa di muka bumi.
Walhasil, tidak ada lagi perdagangan yang adil itu ! negeri yang kuat
mengeksploitasi negeri yang lemah, kemudian di dalam masing-masing
negeri – pelaku pasar konglomerasi kapitalisme juga mengeksploitasi yang
lemah untuk kepentingannya sendiri.
Inilah
antara lain tugas berat dan besar itu, tugas untuk mengembalikan
perdagangan yang adil dengan barter, atau kalau tidak barter karena
dianggap kurang praktis di jaman modern ini setidaknya harus ada
timbangan penentu harga-harga yang adil yaitu emas atau perak, kalau
inipun tidak – maka harus ada yang mengingatkan penguasa negeri agar
tidak mencetak fulus dari awang-awang secara berlebihan, kalau
yang terakhir inipun tidak – maka tidak ada cara lain lagi untuk menjaga
perdagangan yang adil itu.
Karena ini pekerjaan berat dan besar yang belum tentu bisa sempurna dan tuntas di
usia kita ini, maka bisa jadi nantinya harus disempurnakan oleh
generasi-generasi berikutnya dengan ES 3.0 ; ES 4.0 dan seterusnya. Ini
hanyalah langkah kecil yang harus dimulai untuk menempuh perjalanan yang
sangat panjang dan berat itu…InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini