Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

30 Agustus 2010

Antisipasi Quantitative Easing 2 : Belajar Sampai Negeri China...

Topik ini pernah terjadi di bulan Maret 2009 ketika dunia sedang berada di puncak krisis finansial. Saya tulis sekarang dengan judul Quantitative Easing 2 (QE 2) sebagaimana para pengamat ekonomi menyebutnya akhir-akhir ini, karena mulai bermunculannya wacana atau lebih tepatnya analisa kemungkinan beberapa bank sentral dunia melakukannya lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Quantitative Easing adalah kebijakan bank sentral untuk menambah supply uang dengan meng-credit-kan di account-nya sendiri uang dalam jumlah besar secara ex-nihilo atau out of nothing atau dalam bahasa kita dari awang-awang. Bahkan uang ini juga tidak perlu dicetak, karena cukup di entry di account bank central – bahwa uang mereka bertambah – maka bertambahlah uangnya.

Uang yang diketikan dari awang-awang ini kemudian beredar melalui apa yang disebut open market operation, yaitu ketika uang (yang hanya ada di data komputer) tersebut kemudian bener-bener digunakan untuk membeli financial assets berupa government bonds, corporate bonds dlsb. serta mengalir ke bank-bank dan institusai finansial lainnya.

Langkah bank-bank sentral melakukan quantitative easing ini tidak terlalu bermasalah selagi pelaku pasar dan pengguna uang pemerintah tersebut masih mempercayainya. Masalahnya adalah ketika hal ini semakin sering dilakukan – maka nilai mata uang dari negara tersebut akan terus tergerus dengan cepat dan merugikan siapapun yang memegangnya.

China misalnya yang memegang US$ terbesar, sejak beberapa tahun terakhir mulai khawatir akan menurunnya daya beli asset mereka yang berupa US$ tersebut. Karena kekawatiran inilah maka China terus mendiversifikasi cadangan devisanya dari US Dollars, mereka kini aktif membeli mata-uang- mata-uang negara lain selain AS, seperti Jepang, Thailand, Korea dan bahkan beberapa negara latin.

Pemerintah China dan perusahaan-perusahaan negara-nya juga mulai mengumpulkan asset riil diluar mata uang. Di antara yang mereka kumpulkan adalah emas, biji besi, cadangan gas, batu bara dan bahkan cadangan kayu dari hutan-hutan di Guyana. Dari perbagai persiapan ini, maka bila nilai US$ terus mengalami penurunan – dan bahkan suatu saat bisa bener-bener kehilangan nilainya sama sekali , maka bisa jadi China adalah negara yang paling siap menghadapinya. China bahkan juga sudah mendorong dan memfasilitasi rakyatnya untuk rame-rame membeli emas.

Paling tidak langkah China ini pasti menggembirakan rakyatnya karena setahun terakhir rakyat China yang memindahkan tabungan US$-nya menjadi emas mengalami keuntungan rata-rata sekitar 30% - yaitu rata-rata appresiasi harga emas dunia dalam US$ setahun terakhir.

Dengan semakin ramenya wacana atau analisa akan kemungkinan terjadinya Quantitative Easing Gelombang ke 2 (QE 2), sangat mungkin trend kenaikan harga emas dunia masih akan terus berlanjut – apalagi minggu ini kita sudah akan memasuki bulan September – dimana kenaikan harga emas musiman biasa juga terjadi.

Bila China beserta rakyatnya telah melakukan antisipasi yang proper terhadap kebijakan negara lain terhadap uangnya – khususnya AS, mengapa tidak kita juga “belajar sampai negeri China” dalam pengelolaan asset ini ?. Wa Allahu A’lam.

24 Agustus 2010

Investasi di Era Competitive Devaluation : Jangan Mau Jadi Pelanduk...

Dahulu di waktu Sekolah Dasar kita belajar pepatah yang kurang lebih berbunyi “gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah”. Apes bener jadi pelanduk, dia tidak tahu menahu tentang urusan apa gerangan yang membuat para gajah tersebut bertarung – tetapi dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah pula – maka matilah dia karena pertarungan ini. Sebuah artikel di The Wall Street Journal kemarin yang diberi judul Getting Ready for A Dollar Collapse ? bercerita tentang pertarungan gajah US Dollar melawan gajah-gajah Yuan, Euro, Yen dan berbagai mata uang kuat lainnya – yang membuat mati para pelanduk, yaitu para penabung atau pemegang uang kertas dunia.

Pertarungan yang disebut competitive devaluation ini bermula dari krisis finansial global dalam dua tahun terakhir. Biang keladinya adalah Amerika, dimana 2/3 isi balance sheet dari Federal Reserve-nya berasal dari surat berharga yang dikeluarkan oleh government sponsored enterprises – semacam BUMN kitalah – yaitu Fannie Mae dan Freddy Mac yang di bailed out pemerintahnya dua tahun silam. Ini situasi ‘jeruk makan jeruk’ , yang hakekatnya pemerintah negeri ini sedang mencetak uang baru dari awang-awang.

Akibat perbuatannya ini – karena uang baru terus dicetak dari awang-awang - maka ada proses penurunan daya beli US$ secara terus menerus. Hal ini nampak jelas pada perkembangan harga emas dunia dalam US$, bila rata-rata bulanan bulan Agustus 2008 harga emas berada pada angka US$ 839.02 kini naik sekitar 44 % pada bulan Agustus 2010 ini menjadi rata-rata US$ 1,209.66 dengan trend masih keatas. Mungkin saja akan terbatas efeknya apabila penurunan daya beli ini hanya terjadi di AS, namun ternyata efek penurunan daya beli ini tidak akan terhenti di AS. Negara-negara lain yang nilai perdagangannya sangat tinggi dengan AS, seperti China, Uni Eropa, Jepang dlsb. akan kehilangan daya saingnya bila uang mereka terlalu perkasa terhadap US Dollars.

Akibatnya otoritas moneter negara-negara tersebut akan menempuh caranya sendiri-sendiri untuk menurunkan daya beli uangnya dengan perbagai program atau cara-cara ‘creative’ lainnya dalam mencetak uang dari awang-awang. Negara-negara lain yang tadinya tidak terimbas secara langsung-pun kemudian akan terpaksa mengikuti gerakan global dalam penurunan daya beli uang kertas ini, karena bila tidak maka mereka akan semakin tidak bisa bersaing dengan produk ekspor-nya.

Wal hasil, seluruh dunia kini seperti berpacu dalam menurunkan daya beli uang kertasnya – atau berarti juga berpacu dalam inflasi. Lantas siapa yang jadi pelanduk-nya ?, masyarakat secara umum yang tidak tahu menahu menjadi korban dalam bentuk harga barang-barang yang terus melambung, secara khusus para penabung yang meskipun angka uang yang ditabungnya bertambah – daya beli uang yang ditabung tersebut semakin lama semakin turun karena hasil tabungannya kalah berpacu dengan inflasi.

Terus bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi hal ini ?, yang terbaik adalah apabila terjadi perubahan paradigma cara berfikir dari kegemaran menabung menjadi kegemaran ber-investasi di sektor riil. Bagi Anda yang masih mempunyai kampung, menginvestasikan uang Anda di kampung dalam bentuk lahan-lahan yang diproduktifkan dengan berbagai tanaman sengon, jabon dan bahkan pisang dlsb. insya Allah akan lebih memberi manfaat bagi Anda dan masyarakat sekitar Anda. Bagi yang sudah tidak memiliki kampung, masih banyak terbuka lahan di Nusantara ini untuk Anda produktifkan baik untuk pertanian, perikanan, peternakan maupun kegiatan produktif lainnya.Tetapi mengelola sektor riil ini juga memerlukan ketrampilan dan Anda harus sangat menguasai bidang ini. Hal ini menuntut banyak hal mulai dari pengetahuan, pengalaman, disiplin diri, kontrol disamping modal itu sendiri. Jika Anda tidak memiliki skill atau kemampuan untuk terjun di perdagangan, maka agar uang Anda tetap memiliki daya beli, disimpan dalam bentuk Dinar adalah solusi, karena sebagai alat investasi dinar berada di posisi kedua

Mengapa sektor riil ini lebih baik dari pada memegang uang kertas atau tabungan di era competitive devaluation ini ?. Sederhana alasannya, benda riil apapun yang Anda pegang dengan sendirinya akan melonjak nilainya – ketika dunia rame-rame menurunkan daya beli mata uangnya.

Ketika kita tidak menjadi pelanduk, pertarungan para gajah tidak akan membuat kita mati – maka jangan mau jadi pelanduk !. Wa Allahu A’lam.

18 Agustus 2010

Penggunaan Dinar Dalam Pengelolaan Risiko ...

Waktu saya belajar tentang manajemen risiko dahulu, hal yang mendasar yang kita pelajari antara lain adalah bagaimana memilah-milah risiko dari yang bisa terjadi dengan yang pasti terjadi. Untuk risiko yang masuk kategori bisa terjadi (kecelakaan misalnya), kemudian dipilah berdasarkan severity dan frequency-nya untuk kemudian dihindari, diminimisasi atau dihadapi. Untuk risiko yang pasti terjadi (kematian misalnya) – tidak ada pilihan lain kecuali harus di hadapi.

Naik turunnya harga emas dunia adalah juga merupakan suatu risiko; tetapi masuk kategori yang mana ?. Tergantung dari seberapa jauh kita memandangnya, untuk jangka pendek dia adalah risiko yang bisa terjadi (bisa naik atu turun), tetapi untuk jangka panjang dia lebih mendekati risiko yang pasti terjadi – uang fiat hampir pasti turun daya belinya terhadap emas. Sampai saat ini belum ada satupun uang kertas dunia yang mampu bertahan daya belinya terhadap emas dalam rentang waktu yang panjang.

Ambil contoh kasus harga emas tahun ini misalnya; bila dilihat dari statistik seharusnya sejak akhir Maret lalu sampai awal September nanti harga emas mestinya berada pada musim rendah. Namun untuk tahun ini nampaknya pola pergerakan harga musiman ini tidak berlaku, bahkan bulan Juni lalu harga emas dunia sempat berada di kisaran angka US$ 1,266/Oz. Per pagi ini harga emas dunia berada pada kisaran angka US$ 1,225/Oz - mengalami penurunan US$ 42/Oz atau turun 3% dari harga tertingginya 2 bulan lalu, namun angka ini masih US$ 270 lebih tinggi atau mengalami kenaikan 28.33% dari harga emas Dunia yang pada bulan yang sama tahun lalu yang berada di kisaran US$ 955/Oz.

Semakin panjang kita menarik rentang waktu yang kita lihat, akan semakin jelas penurunan daya beli uang kertas terhadap emas ini. Anda bisa perhatikan misalnya pada grafik 10 tahunan yang ada pada situs ini – trend naiknya dalam rentang waktu yang panjang menjadi amat sangat jelas.

Setelah apa yang terjadi dengan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara 1997/1998, Amerika tahun 2008 dan Eropa tahun 2010 ini, kita semua baik individu , perusahaan maupun negara nampaknya kini memang perlu mengkaji kembali strategi pengendalian risiko yang dihadapinya. Satu aspek risiko yang begitu nyata mendekati kepastian, yaitu risiko penurunan daya beli uang kita – sangat bisa jadi masih luput dari konsideran kita dalam konteks implementasi pengendalian risiko.

Akan tidak ada gunanya misalnya suatu usaha mencapai sukses luar biasa dan menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi para investornya – bila keuntungan tersebut dihargai dengan suatu nilai uang kertas yang nilainya sendiri mengalami peluruhan dengan cepat. Demikian pula dengan hasil jerih payah kita; tidak ada gunanya kita tabung bila nilai daya belinya tidak bisa kita pertahankan.

Karena risiko penurunan nilai (baca : inflasi) uang kertas adalah suatu keniscayaan atau mendekati kategori risiko jenis kedua – yaitu risiko yang pasti terjadi, maka mau tidak mau kudu kita hadapi. Dengan apa kita menghadapinya ?, ya antara lain menggunakan Dinar ini. Seandainya toh karena satu dan lain hal Dinar belum bisa difungsikan sebagai alat tukar atau medium of exchange; penggunaan Dinar sebagai unit of account dan store of value akan dapat sangat efektif dalam pengelolaan risiko penurunan daya beli uang kertas atau inflasi. Wa Allahu A’lam

05 Agustus 2010

Siapa Butuh Redenominasi, Kapan dan Berapa Angka Nol Perlu Dibuang...?

Perdebatan mengenai issue redenominasi Rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini, secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan Bank Indonesia-pun yang meniup peluit nampaknya cooling down dengan menyatakan bahwa redenominasi Rupiah bukan fokus utama saat ini. Masyarakat tidak perlu cemas karena redenominasi paling tidak - tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Masyalahnya adalah apakah redenominasi Rupiah ini memang perlu ? dan kalau perlu, kapan sebaiknya dilakukan ?.

Untuk menjawab pertanyaan ini menurut saya biar-lah ahlinya yang menjawab yaitu Bank Indonesia. Jangan biarkan para politikus yang menjawabnya, karena justru akan membuat issue redenominasi ini menjadi bola liar yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak menguntungkan rakyat.

Kita semua tahu issue ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya. Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan issue ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi Rupiah misalnya.

Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk contoh stabilitas harga sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya dapat gunakan salah satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi ini. Diantara keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat Anda verifikasi dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com dlsb.

Pertama saya ambil data harga emas per-gram dalam dua mata uang yaitu Rupiah dan US$ selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun ?, karena sejak 40 tahun lalu tepatnya Agustus 1971 mata uang fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak saat itulah uang fiat di seluruh dunia bergerak liar, sebagian lebih terkendali dari sebagian yang lain.

Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik dimana jarak satu gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama dibawah.

Log Chart on Rupiah and US$ Gold Price

Log Chart on Rupiah and US$ Gold Price

Perhatikan pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya Rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya. Apa maknanya ini ?.

Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya Rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.

Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan ?, lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.

Redenomination Scenarios

Redenomination Scenarios

Itulah sebabnya ketika terjadi di tahun 1965/1966 namanya sanering; kemudian sempat mencuat issue sanering pula pada puncak krisis 1997/1998 karena saat itu inflasi sempat mencapai angka 78 %. Karena fokus tulisan ini adalah penghilangan beberapa angka nol tanpa mengurangi daya beli dan dilakukan pada saat ekonomi yang relatif stabil atau disebut redenominasi dan bukan sanering; maka berdasarkan grafik yang kedua diatas, kita dapat melihat ada dua waktu yang baik sebenarnya untuk melakukan redenominasi yaitu pada tahun 1983 dan 2004.

Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam Rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang Rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi US$ 1 = Rp 0.90 ,- keren bukan...?.

Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula dipuncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam Rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.

Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar Rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal inipun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.

Seandainya-pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi Rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.

Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar Rupiah yang keren dikisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi Rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol !. Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar Rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi Rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar Rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92,-

Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna Rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan besyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering Rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah-pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1,000,000,- !. Wa Allahu A’lam.

04 Agustus 2010

Sanering, Redenominasi dan Reorientasi Nilai...

Adalah konsekwensi logis dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Untuk Rupiah, tiga angka nol yang pernah dibuang dengan susah payah tahun 1965/1966 melalui apa yang dikenal dengan Sanering Rupiah , tiga angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita bahkan kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol, melainkan malah menjadi empat atau bahkan lima angka nol. Mau bukti ?, lihat di dompet Anda – kemungkinan besar hanya uang dengan empat atau lima angka nol yang ada di dompet – karena yang nolnya hanya tiga kemungkinan sudah untuk bayar parkir, masuk kencleng infaq atau diberikan ke Pak Ogah...

Akibat dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang dibutuhkan otoritas yang berani mengambil keputusan untuk me-reset kembali agar angka-angka nol tersebut kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini bisa melalui Sanering bila ekonomi lagi gonjang-ganjing, atau melalui proses Redenominasi bila ekonomi lagi stabil. Yang pertama (Sanering) disertai penurunan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai, yang kedua (Redenominasi) hanya pencatatan beberapa angka nol-nya yang dihilangkan sedangkan daya beli masyarakat seharusnya tidak berubah.

Proses keduanya membuat panik, menyakitkan, membingungkan dan segala macam konsekwensinya – tetapi saya sendiri berpandangan justru harus dilakukan dengan berani dan cepat. Bila berlama-lama, justru akan membuat kebingungan dan ketidak pastian yang lama. Bila kita menutup mata, justru angka-angka nol yang bisa terus bertambah tersebut akan berlama-lama merepotkan dan menghantui kita semua.

Bila dilakukan dengan berani dan cepat; rasa sakit tersebut akan berlangsung cepat – namun setelah itu kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan tersebut. Bayangkan bila tahun 1965 (diimplementasikan sampai 1966) pemerintah negeri ini tidak berani mengambil keputusan Sanering – Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa membangun – dan bisa Anda bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang ?.

Demikian pula bila otoritas sekarang tidak berani mengambil keputusan untuk meng-implementasikan proses Redenominasi ini; berapa angka nol uang kita pada saat Anak Anda yang baru lahir sekarang masuk perguruan tinggi delapan belas tahun yang akan datang ?. Jadi Redenominasi tetap harus dilakukan, tinggal masalahnya kapan dan siapa yang berani mengambil keputusan tidak popular tetapi perlu ini. Kepada Gubernur BI yang sekarang, sungguh saya berharap beliau berani melakukannya, karena bila tidak maka yang terjadi adalah membiarkan hantu Redenominasi ini berlarut-larut ke pejabat berikutnya, kemudian pejabat berikutnya lagi dst.

Bila Redenominasi tidak dilakukan, ironi yang terjadi seperti yang kita alami sekarang akan terus berlanjut. Ironi karena rata-rata penduduk Indonesia secara harfiah dapat disebut ‘Jutawan’ (Millionaire) karena PDB Per kapita kita mencapai lebih dari Rp 24,000,000/ tahun, tetapi rata-rata ‘Jutawan’ tersebut adalah orang miskin menurut standar Islam – karena nilai Rp 24,000,000,- ini hanya setara sekitar 16.50 Dinar atau tidak mencapai nisab zakat yang 20 Dinar.

Bila keputusan Redenominasi benar-benar dilaksanakan, yang perlu dipersiapkan oleh masyarakat adalah proses Reorientasi nilai. Mengapa proses ini perlu ?, berikut saya berikan ilustrasinya.

Saya pernah mendengar keluhan pelayan hotel di daerah wisata negeri ini yang dikunjungi banyak turis asing. Ketika mereka mengantarkan pesanan room service, sering diberi tips hanya Rp 1,000,- atau bahkan koin Rp 500,-. Hal yang sama yang terjadi pada sopir taksi, para wisatawan asing tersebut tidak jarang yang menagih kembalian meskipun kembalian tersebut hanya Rp 1,000,- atau bahkan Rp 500,-.

Mengapa kesan pelitnya beberapa turis asing tersebut terjadi ?; inilah masalah Reorientasi nilai itu. Meskipun sebelum datang ke Indonesia mereka sudah pelajari angka-angka di uang kita ini dan konversinya ke nilai uang mereka; Orientasi nilai dibenak mereka masih tetap menyatakan bahwa angka 1,000 atau 500 adalah angka yang besar. Karena ketika membayar tips dan menagih kembalian, otak mereka tidak selalu sempat mengkonversi nilai ke angka nilai yang benar – maka itulah yang terjadi, nilai tips hanya Rp 1,000 dan uang kembalian taksi secara recehan –pun diminta.

Ini pula yang akan terjadi pada proses Redenominasi, orientasi di otak kita telah terbiasa dengan angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah menjadi kecil, kita harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka yang menjadi kecil ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara massal bagi seluruh pengguna Rupiah – maka diperlukan sosialisasi yang efektif.

Apa dampaknya bila Reorientasi nilai tidak berjalan efektif ?, harga-harga bisa kacau. Misalnya si embok tukang bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-. Dalam mata uang Rupiah baru angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi dibenak si embok menyatakan bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah harga bayem dinaikkan menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun meresponse angka Rp 3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya – dan terasa kecil oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah inflasi 20% terhadap harga bayem.

Jadi baik produsen, pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response otomatisnya yang akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar – inilah Reorientasi yang saya maksud.

Disinilah sebenarnya keunggulan dan kebenaran Islam itu dapat terbukti dengan jelas. Kita tidak perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan kapanpun – karena tuntunannya, arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang zaman. Seperti sholat yang kita tidak perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita berada dan dimana Ka’bah berada – maka seluruh umat sepakat kesitulah kita menghadap.

Demikian pula dalam hal nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan yang tidak pernah berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin dengan nishab zakat yang 20 Dinar. Yang kaya wajib membayar zakat, yang miskin berhak menerima zakat – betapa kacaunya hak dan kewajiban ini seandainya nilai nishab tersebut perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu kewaktu.

Maka saya-pun berandai-andai, Seandainya saja otoritas yang ada sekarang berani menggunakan satuan Dinar setidaknya sebagai unit of account atau timbangan yang adil – maka generasi-generasi yang akan datang dan gubernur-gubernur bank sentral yang akan datang sampai hari kiamat akan bersyukur – betapa mudahnya tugas mereka karena tidak harus lagi dari waktu ke waktu mengambil keputusan yang amat sangat sulit seperti Redenominasi Rupiah ini.

Sekali Dinar digunakan, nilai/daya belinya stabil – 1 Dinar satu kambing tetap sampai akhir zaman, maka tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan Sanering. Bila ini terjadi maka Reorientasi juga tidak akan perlu dilakukan lagi. WaAllahu A’lam.

02 Agustus 2010

Pergeseran Paradigma Dalam Penggunaan Emas...

Mungkin ada yang luput dari pengamatan para ekonom secara umum, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2009) ternyata ada pergeseran paradigma yang luar biasa dalam penggunaan emas dunia. Berdasarkan data yang dikumpulkan secara rutin oleh World Gold Council (WGC) atau Dewan Emas Dunia , permintaan emas di seluruh dunia untuk kebutuhan perhiasan telah mengalami penurunan terus menerus dari 3,204 ton tahun 2000, tinggal 1,747 ton tahun 2009 lalu atau turun 45 %.

Sebaliknya, permintaan emas untuk kebutuhan investasi retail terus menerus mengalami peningkatan kebutuhan dari 166 ton tahun 2000, menjadi 676 ton tahun 2009 atau mengalami kenaikan empat kalinya. Bentuk investasi emas yang lain yang dikenal dengan ETF (Exchange Traded Fund) yang baru muncul pada tahun 2003 di bursa-bursa dunia barat seperti Paris, Zurich, London dan New York, juga menanjak sangat significant dari Nol tahun 2002, mencapai 595 ton tahun 2009 atau hampir mengejar penggunaan pada investasi retail.

Kebutuhan yang relatif stabil adalah kebutuhan emas untuk industri. Pada tahun 2000 kebutuhan ini mencapai angka 451 ton, tahun 2009 angka ini pada 368 ton. Lebih detil tentang pergeseran ini dapat dilihat pada grafik dibawah.

Gold Demand 2000-2009 (Ton)

Luputnya pergeseran kebutuhan tersebut dari pengamatan para ekonom, dugaan saya sendiri adalah karena para ekonom biasanya meganalisa segala sesuatu berdasarkan unit account currency yang berlaku. Para ekonom dunia misalnya menggunakan US$ untuk memantau segala yang terjadi dalam pergerakan ekonomi.

Bila data tersebut diatas diamati dari kacamata US$ misalnya, tidak akan nampak pergeseran kebutuhan tersebut karena kebutuhan baik untuk perhiasan, investasi retail, ETF maupun kebutuhan industri semuanya naik. Kenaikan harga emas sepuluh tahun terakhir begitu besarnya sehingga mampu ‘menyembunyikan’ penurunan kebutuhan emas untuk perhiasan tersebut diatas.

Gold Demand 2000-2009 (U$ Bio)

Gold Demand 2000-2009 (US$ Bio)

Lantas apa pentingnya memahami perubahan kebutuhan tersebut bagi kita ?. Meskipun secara statistik dunia, penggunaan emas untuk uang tidak bisa didata lagi karena berdasarkan rezim keuangan global yang dikomandoi IMF – emas untuk uang terlarang sejak Agustus 1971, pergeseran emas untuk investasi ini sesungguhnya adalah selangkah maju menuju emas untuk uang.

Karakter emas sebagai investasi adalah likuid dan standar, sedangkan karakter emas perhiasan adalah tidak standar dan kurang likuid. Jadi sepuluh tahun terakhir telah tumbuh lebih banyak emas yang bersifat likuid, sedangkan permintaan emas untuk menjadi perhiasan yang kurang likuid menurun.

Di tanah air, perkembangan yang menarik tentang likuid-isasi emas juga terjadi secara significant. Kalau dahulu hanya Perum Pegadaian yang bisa menerima gadai, kini bank-bank syariah berlomba dengan produk gadai emas-nya. Ini saya pandang sebagai hal yang baik karena asset-asset berupa emas, baik lantakan, Dinar maupun perhiasan kini mudah menjadi likuiditas untuk menggerakkan sektor riil. Tidak harus dijual, tetapi bisa juga digadai.

Untuk lebih meningkatkan penggunaan emas untuk kegiatan produktif ini, saat ini kami bersama beberapa BMT di berbagai kota tengah mengembangkan solusi pembiayaan micro berbasis Dinar. Microfinance berbasis uang fiat yang lagi ngetop di seluruh dunia saat ini, insyallah akan segera menemukan sparring partner-nya yaitu microfinance yang berbasis emas atau Dinar yang kita sebut MicroDinar.

Pengelola koperasi dan BMT yang berminat untuk bekerjasama dengan kami dalam pengembangan produk-produk pembiayaan mikro berbasis Dinar atau MicroDinar ini dapat menghubungi kami untuk elaborasi lebih lanjut. Melalui sektor mikro yang mengurusi hajat hidup orang banyak inilah insyallah kita bersama bisa memenuhi apa yang dipesankan dalam Ayat “...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...”. (QS 59:7),

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.