Waktu saya belajar tentang manajemen risiko dahulu, hal yang mendasar yang kita pelajari antara lain adalah bagaimana memilah-milah risiko dari yang bisa terjadi dengan yang pasti terjadi. Untuk risiko yang masuk kategori bisa terjadi (kecelakaan misalnya), kemudian dipilah berdasarkan severity dan frequency-nya untuk kemudian dihindari, diminimisasi atau dihadapi. Untuk risiko yang pasti terjadi (kematian misalnya) – tidak ada pilihan lain kecuali harus di hadapi.
Naik turunnya harga emas dunia adalah juga merupakan suatu risiko; tetapi masuk kategori yang mana ?. Tergantung dari seberapa jauh kita memandangnya, untuk jangka pendek dia adalah risiko yang bisa terjadi (bisa naik atu turun), tetapi untuk jangka panjang dia lebih mendekati risiko yang pasti terjadi – uang fiat hampir pasti turun daya belinya terhadap emas. Sampai saat ini belum ada satupun uang kertas dunia yang mampu bertahan daya belinya terhadap emas dalam rentang waktu yang panjang.
Ambil contoh kasus harga emas tahun ini misalnya; bila dilihat dari statistik seharusnya sejak akhir Maret lalu sampai awal September nanti harga emas mestinya berada pada musim rendah. Namun untuk tahun ini nampaknya pola pergerakan harga musiman ini tidak berlaku, bahkan bulan Juni lalu harga emas dunia sempat berada di kisaran angka US$ 1,266/Oz. Per pagi ini harga emas dunia berada pada kisaran angka US$ 1,225/Oz - mengalami penurunan US$ 42/Oz atau turun 3% dari harga tertingginya 2 bulan lalu, namun angka ini masih US$ 270 lebih tinggi atau mengalami kenaikan 28.33% dari harga emas Dunia yang pada bulan yang sama tahun lalu yang berada di kisaran US$ 955/Oz.
Semakin panjang kita menarik rentang waktu yang kita lihat, akan semakin jelas penurunan daya beli uang kertas terhadap emas ini. Anda bisa perhatikan misalnya pada grafik 10 tahunan yang ada pada situs ini – trend naiknya dalam rentang waktu yang panjang menjadi amat sangat jelas.
Setelah apa yang terjadi dengan Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara 1997/1998, Amerika tahun 2008 dan Eropa tahun 2010 ini, kita semua baik individu , perusahaan maupun negara nampaknya kini memang perlu mengkaji kembali strategi pengendalian risiko yang dihadapinya. Satu aspek risiko yang begitu nyata mendekati kepastian, yaitu risiko penurunan daya beli uang kita – sangat bisa jadi masih luput dari konsideran kita dalam konteks implementasi pengendalian risiko.
Akan tidak ada gunanya misalnya suatu usaha mencapai sukses luar biasa dan menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi para investornya – bila keuntungan tersebut dihargai dengan suatu nilai uang kertas yang nilainya sendiri mengalami peluruhan dengan cepat. Demikian pula dengan hasil jerih payah kita; tidak ada gunanya kita tabung bila nilai daya belinya tidak bisa kita pertahankan.
Karena risiko penurunan nilai (baca : inflasi) uang kertas adalah suatu keniscayaan atau mendekati kategori risiko jenis kedua – yaitu risiko yang pasti terjadi, maka mau tidak mau kudu kita hadapi. Dengan apa kita menghadapinya ?, ya antara lain menggunakan Dinar ini. Seandainya toh karena satu dan lain hal Dinar belum bisa difungsikan sebagai alat tukar atau medium of exchange; penggunaan Dinar sebagai unit of account dan store of value akan dapat sangat efektif dalam pengelolaan risiko penurunan daya beli uang kertas atau inflasi. Wa Allahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini