Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

28 Juni 2011

Agar Uang Pensiun Cukup...

Di tengah hangatnya isu program pensiun dini bagi pegawai sipil yang diusulkan oleh Kementerian Keuangan RI, Surat Pembaca harian Kompas Ahad 26/06/2011 nampaknya sengaja menampilkan suara hati para pensiunan. Apa yang muncul di Harian Kompas tersebut bisa jadi hanya puncak gunung es dari problema yang dihadapi para pensiunan dari instansi atau perusahaan apapun, dan pada tingkatan pangkat pegawai yang manapun. Intinya uang pensiun lebih sering dirasa tidak mencukupi ketimbang sebaliknya. Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah membuat dana pensiun itu mencukupi bagi Anda ?. Saya melihat kemungkinannya, meskipun tentu saja tidak selalu mudah...

Selama ini bekal utama para pensiunan menurut istilah para financial planners disebut sebagai three-leg-stool atau kursi berkaki tiga. Kaki yang pertama adalah tabungan pribadi yang dikumpulkan sendiri selama yang bersangkutan bekerja, kaki yang kedua adalah program pensiun atau pesangon yang diberikan oleh perusahaan ketika yang bersangkutan memasuki usia pensiun dan yang ketiga adalah program pensiun yang dikelola oleh pemerintah (atau BUMN yang ditunjuk).

Melihat adanya tiga sumber bekal para pensiunan ini, seyogyanya para pensiunan adalah orang-orang yang makmur yang dapat menikmati hari tuanya. Dan ini sungguh terjadi pada para pensiunan yang pensiun sebelum 1970-an. Tetapi kemudian pasca 1971 ketiga kaki kursi para pensiunan tersebut seolah runtuh secara bersama-sama, sehingga tidak mampu menopang kebutuhan financial para pensiunan sesudah itu. Mengapa demikian ?.

Ketiga ‘kaki’ yang menjadi bekal para pensiunan tersebut pada umumnya tersimpan dalam bentuk satuan yang sama yaitu satuan uang kertas. Meskipun dengan nama yang berbeda-beda, ada yang bernama tabungan , deposito, asuransi hari tua, dana pensiun dlsb.- ibarat telur yang sudah ditaruh pada keranjang yang berbeda-beda, tetapi semua rentan terhadap penyakit yang sama yaitu penyakit inflasi.

Fenomena tersebut diatas dapat kita lihat dengan jelas pada grafik dibawah. Pasca Perang Dunia II sampai 1971 harga emas stabil karena memang uang kertas tidak diijinkan dicetak tanpa adanya cadangan emas yang setara, dampaknya dapat dilihat pada harga minyak yang berfluktuasi naik turun pada sumbu datar hanya karena mekanisme pasar – supply and demand, maka demikian pula harga barang-barang kebutuhan pokok manusia. Uang yang dimiliki generasi kakek-nenek kita yang masa pensiunnya tidak melewati 1971 – uang pensiunnya secara umum cukup aman tersimpan dalam satuan mata uang kertas karena daya belinya relatif stabil.

Inflasi Tiga Generasi

Inflasi Tiga Generasi

Tidak demikian halnya dengan orang-orang yang memasuki pensiun setelah tahun 1971 dimana daya beli uang kertas mulai bergejolak. Uang mereka menjadi tidak menentu daya belinya, maka demikian pula kehidupan financial mereka.

Generasi kita yang akan pensiun pada dasawarsa ini kondisinya menjadi lebih buruk lagi, selain bergejolak karena supply and demand – juga ada kecenderungan penurunan daya beli uang kertas yang semakin nyata. Jadi bila hanya mengandalkan bekal pensiun dari tiga kaki tersebut diatas, maka hampir pastilah bahwa kehidupan financial kita akan lebih buruk ketimbang generasi Bapak kita atau bahkan generasi sebelumnya.

Lantas apakah generasi kita harus menerima saja dampak financial environment yang tidak menguntungkan seperti ini ?, tidak harus juga demikian. Kita bisa memperkokoh kaki-kaki bekal pensiun kita bila kita bisa membuatnya kebal terhadap penyakit inflasi. Bagaimana caranya ?.

‘Bekal’ Anda yang pengelolaannya berada di tangan Anda sendiri simpan dalam bentuk aset riil yang produktif ketimbang dalam bentuk uang kertas apapun namanya. Pilihan pertamanya adalah aset yang mampu mempertahankan nilai dan sekaligus juga sedapat mungkin menghasilkan cash flow. Contoh dari kategori ini adalah sawah atau tanah yang produktif, ruko atau rukan yang aktif digunakan untuk bekerja, tanaman, peternakan dan berbagai growing assets lainnya.

Pilihan keduanya adalah bila tidak bisa memperoleh kombinasi yang optimal antara kemampuan mempertahankan nilai/daya beli dengan cash flow, minimal ‘bekal’ Anda harus mampu mempertahankan daya belinya. Kategori ini yang paling gampang pengelolaannya adalah emas/Dinar atau perak/Dirham karena kini sudah terbentuk pasarnya sehingga menjadi proteksi nilai yang sangat efektif.

Untuk aset yang dikelola oleh perusahaan seperti uang pesangon dan juga yang dikelola oleh instansi pemerintah/swasta seperti dana pensiun, dari waktu kewaktu muncul peluang dimana Anda diijinkan untuk mengelolanya sendiri lebih cepat – seperti program pensiun dini yang diusulkan oleh Kementrian Keuangan tersebut diatas. Bila peluang seperti ini muncul, saran saya jangan ragu untuk mengambilnya !. Mengapa ?.

Bila hasil jerih payah Anda yang tersimpan dalam tiga kaki kursi pensiun Anda tersebut dalam kendali Anda, Anda bisa memilihnya untuk dialokasikan pada aset riil yang memiliki daya beli tetap dan syukur-syukur juga menghasilkan cash-flow. Bila tidak-pun minimal bisa Anda alokasikan ke aset yang terproteksi nilainya. Pada saat yang bersamaan, bisa jadi inilah saatnya bagi Anda untuk pindah kwadran – menciptakan lapangan kerja untuk Anda sendiri dan juga memberi peluang orang lain untuk bekerja.

Bila peluang ini tidak Anda ambil, hampir pasti intansi tempat Anda bekerja akan mengelola dana pensiun Anda dalam bentuk unit uang kertas yang dalam beberapa dasawarsa terakhir terbukti tidak terlindungi daya belinya seperti pada grafik diatas. Lebih baik berbuat maksimal sekarang ketimbang setelah pensiun Anda harus mengungkapkan kekecewaan Anda di media masa karena instansi tempat Anda bekerja (dahulu) memang tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan Anda di hari tua !. Wa Allahu A’lam.

23 Juni 2011

Antara Kambing, Minyak dan Emas...

Dalam banyak kesempatan ketika saya menjelaskan tentang stabilitas daya beli emas atau Dinar terhadap kebutuhan pokok manusia, saya sering menggunakan bukti kambing ukuran baik standar qurban yang selalu bisa dibeli dengan satu koin Dinar sejak lebih dari 1400 tahun lalu. Meskipun bukti ini berdasarkan hadits dan data empiris jaman ini, temen-temen saya para ekonom sering menganggap bukti berdasarkan harga kambing tersebut agak ndeso – sehingga ada keengganan mereka untuk mengakuinya sebagai bukti yang ilmiah.

Tetapi karena kambing hanyalah salah satu representasi kebutuhan pokok manusia (mewakili kebutuhan makanan), kestabilan daya beli emas ini sesungguhnya juga bisa dibuktikan berdasarkan statistik modern. Hanya statistik harga kambing yang panjang tidak mudah diperoleh, maka saya ingin membuktikan kestabilan daya beli emas ini terhadap kebutuhan pokok lainnya yang lebih available data statistik-nya.

Untuk ini saya gunakan data statistik harga minyak mentah dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II – yaitu sejak 1946 hingga 2011 ini. Harga minyak kemudian kita sandingkan antara harga dalam US$ dengan harga dalam satuan gram emas. Hasilnya dapat kita lihat pada grafik dibawah.

Oil Price in US$ and in Gold

Oil Price in US$ and in Gold

Dari grafik diatas kita bisa lihat bahwa ketika harga emas dan minyak keduanya terbentuk oleh mekanisme pasar yang mendekati sempurna, maka harga minyak dalam mata uang kertas (US$) cenderung meningkat secara parabolic – sebaliknya harga minyak dalam gram emas cenderung menuju titik stabilitas pada harga tertentu.

Dalam rezim Breton Woods (1946-1971) ketika harga emas dipaksakan setara dengan daya beli mata uang kertas US Dollar, maka terjadi ilusi stabilitas harga minyak. Ilusi ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya rezim Breton Woods tersebut. Perhatikan tahun-tahun semenjak dibubarkannya kesepakatan Breton Woods (1971), daya beli uang kertas terhadap kebutuhan pokok manusia yang dalam hal ini diwakili oleh harga minyak - menunjukkan jati diri yang sesungguhnya yaitu terus menurun. Itulah sebabnya, mengapa saya mengkategorikan uang kertas sebagai aset yang akan menurunkan kemakmuran pemegangnya – Wealth Reducing Asset.

Sebaliknya juga terjadi, ketika harga emas tidak lagi dipaksakan terkendali dalam rezim Breton Woods tersebut diatas – fluktuasi harga emas cenderung beriringan dengan fluktuasi harga-harga komoditi kebutuhan manusia. Walhasil bila kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dibeli dengan emas – maka harganya akan cenderung stabil dalam jangka panjang. Jangka pendeknya tetap berfluktuasi karena faktor supply and demand, tidak ada daya dorong parabolic seperti yang terjadi bila mata uang kertas yang digunakan.

Sebenarnya bukan hanya emas yang memiliki kecenderungan daya beli stabil jangka panjang ini, seluruh komoditi kebutuhan manusia akan memiliki kecenderungan yang sama. Satu komoditi sama komditi lain harganya berfluktuasi dalam jangka pendek – tetapi mekanisme pasar yang akan mendorongnya stabil dalam jangka panjang. Ketika supply melebihi demand, harga turun – orang mengurangi produksi; sampai titik tertentu demand akan melebihi supply dan menarik harga ke atas begitu seterusnya.

Jadi ketika berbicara tentang satbilitas daya beli emas atau Dinar, kini kita tidak lagi hanya terpaku pada harga 1 ekor kambing yang setara 1 Dinar – tetapi juga harga minyak dalam emas atau Dinar ataupun harga-harga komoditi lain yang dibutuhkan oleh manusia sepanjang jaman. Wa Allahu A’lam.

21 Juni 2011

Mengelola Wealth Producing Assets Dengan Gold Based Capital...

Penjelasan tentang Wealth Producing Assets (WPA) dan Gold Based Capital (GBC) keduanya sudah saya tulis sebelumnya, kali ini saya akan gunakan keduanya untuk day to day business practice. Ilustrasinya begini, bila Anda bekerja pada perusahaan yang asetnya Rp 100 Milyar 5 tahun lalu dan kini aset perusahaan tersebut meningkat dua kalinya menjadi Rp 200 Milyar – tetapi kok karyawan tidak merasakan adanya peningkatan kesejahteraan yang dua kalinya – mengapa ?. Karena dalam nilai daya beli riil Rp 200 Milyar sekarang sesungguhnya kurang dari Rp 100 Milyar lima tahun tahun lalu, dari teori peluruhan yang juga telah saya perkenalkan sebelumnya menunjukkan daya beli Rupiah terhadap emas menjadi separuhnya setiap 4.3 tahun !.

Mengapa tolok ukur baku itu kita gunakan emas, bukan angka inflasi ? Kalau kita gunakan angka inflasi, angka inflasi mana yang kita gunakan ? Inflasi umum rata-rata 6,8 % atau inflasi bahan pangan yang 12 % selama 5 tahun terakhir ? Mengapa hanya lima tahun ?, mengapa tidak 10 tahun , 20 tahun atau 30 tahun – yang lebih setara dengan lama kerja rata-rata karyawan?. Data puluhan tahun yang terkait inflasi ini selain belum tentu ada dan kalau toh ada yang jelas juga belum tentu akurat. Maka mengapa tidak kita gunakan data yang sahih saja yang umurnya 1400 tahun lebih ?. Inilah data daya beli emas (Dinar) yang direpresentasikan dalam bentuk daya belinya terhadap kambing.

Dalam contoh ilustrasi diatas Rp 100 Milyar aset setara dengan sekitar 125,000 Dinar (atau 125,000 ekor kambing ukuran baik) lima tahun lalu, asset perusahaan yang menjadi Rp 200 Milyar sekarang hanya setara dengan 105,800 Dinar ( atau 106,820 ekor kambing ukuran baik). Bila seandainya Anda seorang peternak kambing, lima tahun lalu Anda memiliki 125 ekor kambing dan sekarang kambing tersebut tinggal 106 ekor apakah dapat dikatakan Anda bertambah makmur ?, jangankan bertambah makmur – mempertahankan kemakmuran Anda-pun tidak.

Bila perusahaan Anda sejatinya tidak bertambah makmur, lantas apakah perusahaan tersebut dapat memakmurkan orang-orang yang bekerja di dalamnya ?. Kemungkinan besarnya juga tidak.

Pertanyaan cerdas-nya adalah, bukankan perusahaan yang sudah berjerih payah di sektor riil seharusnya asetnya menjadi Wealth Producing Assets seperti dalam tulisan tersebut diatas ?. Betul demikian, tetapi setelah memberikan hasil – ibarat ember bocor – hasil jerih payah tersebut tersimpan kembali dan tercatat dalam nilai mata uang yang terus tergerus inflasi.

Hasil jerih payah usaha sektor riil tersebut yang belum digunakan saat ini untuk membayar biaya biaya – termasuk gaji Anda, sebagian besarnya akan tersimpan dalam mata uang kertas berupa retained earning, cadangan pengembangan usaha, cadangan penyusutan untuk membeli mesin-mesin atau peralatan baru nantinya, cadangan pesangon karyawan yang akan pensiun sekian tahun yang akan datang, cadangan biaya kesehatan karyawan dan keluarganya dlsb.dlsb.

Walhasil, cape-cape berusaha memutar aset menjadi Wealth Producing Assets – ketika menyimpan hasilnya di Wealth Reducing Assets – efek resultant-nya adalah dibawah Wealth Preserving Assets. Hasil usaha sektor riil Anda sejatinya sudah bener berada di daerah hijau pada grafik dibawah, namun karena hasilnya tersimpan di daerah merah – maka kemungkinan hasilnya di garis kuning atau bahkan diawahnya seperi contoh dalam ilustrasi kambing diatas.

Logarithmic Wealth Reducing, Preserving and Producing Assets

Logarithmic Wealth Reducing, Preserving and Producing Assets

Grafik logaritmik diatas menunjukkan bahwa, bila hasil jerih payah Anda yang tersimpan dalam mata uang Rupiah memberikan hasil bersih 6 % misalnya (Deposito) – sedangkan pertumbuhan harga emas rata-rata 18% saja – maka setelah 30 tahun (saat Anda pensiun !) dana yang Anda depositokan beserta akumulasi bagi hasil-nya setelah dikonversikan kembali ke emas tinggal 4.46% !. Wealth Reducing Assets inilah yang menggerogoti hasil jerih payah Anda berpuluh tahun.

Lantas bagaimana mengatasi hal ini ?. Sumber pelajarannya ada di Surat Yusuf 47-48 berikut : Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) secara sungguh-sungguh; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”.

Menimbun emas, perak, gandum dlsb. di Islam adalah hal yang sangat dilarang (QS 9 : 34), namun mengapa di Al-Qur’an juga diberi contoh bagaimana Nabi Yusuf menganjurkan umat-nya menyimpan sebagian hasil panenannya selama tujuh tahun ?. Karena yang dilakukan Nabi Yusuf tersebut bukan menimbun (yaknizun) tetapi membangun ketahanan ekonomi (yukhsinun). Gandum yang disimpan dibulirnya oleh Nabi Yusuf berdasarkan kebutuhan yang nyata kedepan – yaitu menghadapi paceklik.

Kita yang hidup di jaman ini, tidak diberi wahyu untuk mendeteksi kebutuhan yang akan datang seperti Nabi Yusuf tersebut diatas. Tetapi kita diberi ilmu untuk bisa memahami data-data empiris bahwa daya beli mata uang kertas terus menyusut, bahwa biaya hidup kita akan terus meningkat, bahwa harga mesin atau peralatan usaha terus naik dlsb.dlsb., maka insyaAllah mempertahankan daya beli dari hasil jerih payah kita juga termasuk bentuk membangun ketahanan ekonomi – menjaga agar ‘gandum’ kita di ‘bulir’nya – yaitu tidak busuk dan tetap bernilai tinggi ketika waktunya dinvestasikan (ditanam) kembali atau digunakan di masa yang akan datang.

Lantas teknisnya bagaimana ?, teknisnya sudah saya singgung pada tulisan Gold Based Capital tersebut diatas. Jerih payah usaha Anda yang tidak segera digunakan dalam setahun kedepan, dapat dirupakan dalam bentuk cadangan emas atau Dinar. Pada waktunya digunakan untuk membeli mesin, memberi pesangon karyawan saat pensiun, ekspansi usaha dlsb. dicairkan dalam bentuk bisa digadai atau dijual. Solusi komprehensif tentang Gold Based Capital untuk korporasi atau institusi saat ini sudah dapat kami berikan sebagai hasil kerjasama kami dengan beberapa bank syariah yang sudah menunjukkan ketertarikannya. Karena solusi masing-masing korporasi atau institusi akan unique, maka silahkan menghubungi kami bila korporasi atau institusi Anda tertarik.

InsyaAllah kita bisa membangun dan sekaligus menjaga kemakmuran umat ini secara bersama-sama. Amin.

16 Juni 2011

Denasionalisasi Mata Uang Versi Pemenang Nobel Ekonomi...

Tahun 1974 - Tiga tahun setelah presiden Amerika Richard Nixon mengguncang dunia dengan Nixon Shock-nya, ekonomi dunia memasuki ketidak pastian baru yang sangat serius. Di Amerika sendiri dalam periode 3 tahun itu data resmi pemerintah untuk Consumer Price Index ‘hanya’ naik sekitar 21 %, tetapi harga emas dalam Dollar – yang lebih bisa diandalkan untuk mengukur daya beli uang Dollar yang sesungguhnya – naik hampir empat kalinya, yaitu dari US$ 40.80/Oz (1971) menjadi 159.26/Oz (1974). Di tengah ketidak pastian inilah, The Royal Swedish Academy of Science menganugerahkan hadiah Nobel dibidang ilmu ekonomi kepada seorang ekonom tua (75 th) Frederich August Von Hayek (1899-1992) untuk karya-karya dan pemikirannya – yang dipandang sangat relevan untuk saat itu.

Kurang lebih setengah abad sebelumnya Hayek muda juga sudah memperingatkan dunia di jamannya akan kemungkinan terjadinya depression serius yang kemudian bener-bener terjadi di tahun 1929 yang disebut great depression. Dengan apa ekonom seperti Hayek ini mampu memprediksi krisis jauh sebelum krisis itu terjadi ?. Salah satunya adalah dengan menggunakan informasi pergerakan harga-harga (inflasi) yang di trigger oleh kebijakan moneter dan ekpansi kredit dalam suatu negara.

Dua tahun setelah menerima hadiah Nobel, tulisan dan pemikiran si Hayek yang kemudian dikenal dengan Hayekian Theory ini dibukukan antara lain dengan tema yang masih sangat relevan dengan jaman ini – yaitu tentang mata uang. Buku yang pertama terbit tahun 1976 tersebut berjudul “Denationalisation of Money : The Argument Refined, An Analysis of the Theory and Practice of Concurrent Currencies”. Versi yang saya baca adalah edisi tahun 1990, terbitan dari The Institute of Economic Affairs – London.

Book : Denationalisation of Money

Book : Denationalisation of Money

Sebagaimana tersirat dari judulnya, dalam buku tersebut Hayek menguraikan argumennya dengan sangat detil dan ilmiah - yang menjadikan dia memang layak untuk menerima hadiah Nobel di bidang ilmu ekonomi tersebut diatas – bahwa urusan mata uang tidak bisa hanya menjadi monopoli urusan pemerintah pusat atau institusi kenegaraan lainnya. Setelah lebih dari 35 tahun, buku ini kembali banyak dibaca orang karena nampaknya dunia memang lagi bergerak kearah pemikiran yang sejalan dengan isi buku ini.

Memang di Indonesia kita lagi menguatkan kembali uang nasional kita dengan disahkannya RUU Mata Uang oleh DPR kita akhir bulan lalu, namun di kancah dunia – denasionalisasi mata uang mulai sungguh-sungguh terjadi seperti di Malaysia dengan uang Dinar-nya yang diperkenalkan oleh negeri bagian Kelantan, dan bahkan di Utah – salah satu negara bagian di Amerika Serikat sendiri – uang versi lokal berupa emas dan perak juga secara resmi disahkan penggunaannya melalui apa yang disebut Utah Legal Tender Act.

Pemikiran-pemikiran Hayek yang seyogyanya bisa menjadi bahan renungan para pengambil keputusan di jaman ini , yang tertuang dalam buku Denationalisation of Money tersebut antara lain poin-poin-nya adalah :

· Sejarah menunjukkan bahwa inflasi pada umumnya adalah hasil rekayasa (engineered by) pemerintah untuk kepentingan pemerintah. ( hal 34)

· Rekayasa inflasi ini terjadi karena monopoli pengeluaran uang oleh pemerintah yang kemudian melahirkan istilah legal tender – alat bayar yang sah , diluar uang yang bersifat legal tender ini tidak ada lagi uang yang sah atau boleh digunakan. ( hal 37)

· Legal tender kemudian menjadi alat yang sah untuk memaksa orang menerima pembayaran atau penyelesaian hutang dengan nilai yang bisa jadi tidak diniatkan dalam kontrak awal. (hal 40). Contoh konkrit untuk kasus ini adalah bila saya berhutang kepada Anda tahun 1996 dengan Rp 10,000,- tanpa beban bunga, kemudian saya bayar Anda pada akhir 1998 dengan Rp 10,000,- maka hutang saya telah lunas secara legal – meskipun legal tender yang namanya Rupiah tahun 1998 hanya bernilai seperempat dari Rupiah yang sama tahun 1996.

· Agar legal tender atau uang pemerintah atau uang nasional tidak terus menurun daya belinya ( seperti yang terjadi selama ini di seluruh negara di dunia) – seharusnya diciptakan persaingan yang sehat dengan ‘uang swasta’ – untuk memaksa pihak yang mengeluarkan uang tersebut dapat menjaga nilainya dengan daya beli yang konstant terhadap sejumlah komoditi penting kebutuhan manusia. Uang swasta ini menurut si Hayek bisa saja bentuknya semacam notes (uang kertas) atau cheque yang dikeluarkan oleh institusi-institusi seperti bank dlsb (hal 46- 48).

· Dengan menciptakan kompetisi sejumlah ‘uang’ yang beredar di masyarakat, maka akan tercapai antara lain (hal 52) : a) tersedianya uang dengan daya beli konstant yang terus dibutuhkan masyarakat ; b) tumbuh nya kepercayaan terhadap pihak tyang mengeluarkan uang dengan daya beli konstant tersebut ( kepercayaan ini yang sekarang runtuh, meskipun uang dikeluarkan oleh pemerintahan negeri adidaya sekalipun); c) pihak yang mengeluarkan uang dapat menjaga daya beli konstan tersebut dengan cara menjaga jumlah uang yang dikeluarkan (ini yang sama sekali tidak bisa dijaga oleh negeri adi kuasa ketika krisis menimpa) .

· Bila terjadi banyak versi uang di masyarakat, mereka dengan sendirinya akan memilih uang yang paling memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan akan uang ini terkait dengan kegunaannya yaitu sebagai ( hal 67- 69) : a) pembelian secara tunai atau alat bayar; b ) penyimpan cadangan untuk pembayaran kebutuhan yang akan datang ; c) dasar perhitungan untuk pembayaran cicilan dan d) unit of account yang reliable. Semakin dapat memenuhi keempat kebutuhan tersebut uang akan semakin menjadi pilihan bagi masyarakat.

· Tidak ada satu pihak dalam suatu negara yang mampu mengendalikan atau memiliki informasi yang cukup atas kebutuhan uang di masyarakat, oleh karenanya monopoli kebijakan pengeluaran uang hanya kepada satu pihak tertentu ( tanpa kompetisi dalam menjaga nilainya – karena uang bisa dikeluarkan dari awang-awang) – hanya akan justru menjadi penyebab terjadinya depresi (atau krisis ekonomi) ketimbang mencegah atau mengobatinya. ( hal 102)

· Dengan adanya kompetisi dalam mata uang, maka masyarakat tidak harus menerima uang pemerintah atau uang nasional – yang sering bereputasi buruk karena daya belinya yang cenderung menurun. Sebaliknya masyarakat dengan sukarela akan dapat menerima uang swasta sekalipun – bila nilai daya belinya konstan. (hal 111).

Mungkin kita akan perlu waktu untuk belajar dari masyarakat Kelantan apakah nantinya mereka lebih comfortable dengan uang Dinar Kelantan mereka atau tetap (terpaksa) menggunakan Ringgit Malaysia; atau masyarakat Utah Amerika serikat apakah mereka nantinya akan lebih senang menggunakan emas dan perak ketimbang Dollar Amerika. Tetapi yang jelas masyarakat di dua negara bagian dari dua negara yang berbeda tersebut kini mulai memiliki uang pilihannya.

Dengan menulis summary dari isi buku Denationlisation of Money ini, saya tentu tidak ada niatan untuk melawan atau mencegah para pengambil keputusan di negeri ini yang telah bulat memutuskan bahwa satu-satunya uang sebagai alat bayar di negeri ini ya Rupiah. Tetapi di jaman yang sangat terbuka ini, sejatinya ‘uang swasta’ dalam versi lain sudah begitu banyak beredar dan berfungsi efektif sebagai alat tukar - dalam berbagai bentuk poin-poin hadiah dari dunia berbankan, poin-poin hadiah dari dunia telekomunikasi, mileage dari dunia penerbangan, kupon-kupon di komunitas tertentu dlsb-dlsb.

Lantas apakah perbankan dan dunia telekomunikasi yang memberikan hadiah point rewards – yang bisa ditukar dengan benda riil, dunia penerbangan dengan mileage-nya dan kupon-kupon di komunitas tertentu yang semuanya berfungsi sebagai alat bayar – melanggar ketentuan alat bayar yang bersifat nasional ?. Saya pikir kok tidak !, maka sejalan dengan ini bila ada suatu komunitas yang alat tukar diantara mereka-nya tidak menggunakan uang nasional – tetapi menggunakan sebuah ‘poin’ yang direpresentasikan oleh benda riil – sekeping koin emas Dinar misalnya – menurut saya juga tidak ada yang dilanggar.

Bila kita menukar garam dengan kurma yang perfectly halal, siapa yang berani melarangnya ?, maka demikian pula bila kita menukar emas dengan beras atau berbagai kebutuhan lainnya – karena dasar hukumnya sama “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai” (HR. Muslim).

Pelajaran lain dari pemenang Nobel tersebut diatas adalah sikap terhadap uang nasional yang diungkapkan dalam pengantar bukunya : “ I do not want to prohibit government from doing anything except preventing others from doing things they might do better” – saya tidak ingin mencegah pemerintah melakukan apa saja, kecuali ( bila mereka) mencegah orang lain (rakyatnya) melakukan hal-hal yang bisa jadi lebih baik ( ketimbang dilakukan oleh pemerintah). Wa Allahu A’lam.


15 Juni 2011

Memakmurkan Rakyat Dengan Pasar, Bukan Dengan Mencetak Uang Banyak-Banyak...

Ini adalah cerita nyata dari negeri yang mengaku dirinya sebagai negeri adi kuasa. Al kisah hampir tiga tahun lalu negeri itu menjadi pemicu krisis keuangan global, yang dampaknya nyaris merambah ke seluruh dunia. Karena mereka mengira bahwa supply uang-lah yang bisa mengatasi krisis tersebut, maka banyak-banyak uang Dollar dicetak. Sejak krisis memuncak September 2008 hingga kini, konon bank sentral-nya negeri itu – Federal Reserve – telah ‘mencetak uang’ dari awang-awang sebanyak US$ 1.6 trilyun. Teratasikah krisis mereka dengan injeksi uang yang luar biasa banyaknya tersebut ?. Ternyata tidak...!.

Data resmi inflasi yang dikeluarkan pemerintah negeri itu setahun terakhir memang hanya 3.2 % (data per April 2011), tetapi banyak pihak di negeri itu sendiri yang meragukan kebenarannya – diantaranya adalah Shadow Government Statistics yang meng-klaim inflasi sesungguhnya bisa lebih dari dua kalinya.

Menurut saya sendiri pengukuran inflasi yang paling akurat adalah dengan menggunakan indikator harga emas – karena adanya bukti yang sahih bahwa daya beli emas ( yang direpresentasikan oleh Dinar) adalah stabil sejak jaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – yaitu satu Dinar untuk satu ekor kambing kelas baik.

Dengan menggunakan indikator kenaikan harga emas, kita tahu bahwa sejak krisis memuncak September 2008 dan pemerintah negeri itu mulai mencetak uang dengan skala besar, harga emas telah melonjak lebih dari dua kalinya dari kisaran US$ 750/Oz ke angka diatas US$ 1,500/Oz hari-hari ini.

Apa ini artinya ?, bila Anda hidup di negeri tersebut dengan uang Dollar-nya dan penghasilan Anda dalam Dollar tidak bisa naik dua kalinya atau lebih selama tiga tahun terakhir – maka Anda akan merasakan penurunan kemakmuran. Bentuknya adalah barang-barang kebutuhan Anda menjadi lebih berat untuk Anda beli.

Pemerintah negeri itu yang menggunakan teori Keynesian – yaitu teorinya John Maynard Keynes (1936) bahwa negaralah yang paling efektif dalam mempengaruhi siklus ekonomi – yang kemudian diaplikasikan dengan tindakan bank sentral mengendalikan jumlah uang dan kebijakan fiskal pemerintah – ternyata gagal dalam mengatasi krisis, yang berarti juga gagal dalam mempertahankan kemakmuran rakyatnya.

Di dunia barat sendiri sebenarnya pendekatan Keynesian ini tidak sedikit yang menentangnya. Adalah Frederich August Von Hayek – pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1974 – yang juga pendukung teori Austrian, yang antara lain menjadi penentang utamanya.

Dalam bukunya yang kondang “Denationalisation of Money : The Argument Refined” (The Institute of Economic Affairs, London – 1990) , Hayek bahkan menuduh bahwa kebijakan moneter bank sentral lebih merupakan penyebab terjadinya depresi di suatu negara ketimbang menyembuhkannya. Lebih jauh dalam teori Austrian ini, pemerintah atau bank sentral tidak seharusnya ‘mencetak uang’ atau setidaknya tidak menjadi satu-satunya pihak yang mencetak uang.

Uang bisa saja dikeluarkan oleh pihak manapun (termasuk swasta) – yang akan digunakan dan dipercayai masyarakat sejauh daya belinya bisa dijaga konstant terhadap sekumpulan barang-barang yang dibutuhkan di masyarakat tersebut. Sebaliknya juga demikian, uang yang dikeluarkan oleh bank sentral atau oleh pemerintah sekalipun – bila daya belinya tidak bisa dijaga – maka dengan sendirinya akan ditinggalkan masyarakat. Pendapat ini juga diamini oleh penulis kondang yang dianggap ‘dewa’-nya ekonom futuristis barat – yang konon prediksi ekonominya terbukti benar dalam dua dasawarsa terakhir – John Naisbitt dalam bukunya Mind Set ! (2006).

Masih segar diingatan kita peristiwa krisis moneter 1997/1998 di Indonesia, ketika warga negeri ini yang kaya rame-rame memindahkan uangnya dari Rupiah ke Dollar atau mata uang asing lainnya karena Rupiah yang daya belinya anjlog tinggal ¼-nya selama krisis kala itu. Hal yang sama terjadi di negeri-negeri ekonomi kuat dunia saat ini yang mulai meninggalkan Dollar atau setidaknya mengurangi ketergantungannya terhadap Dollar – karena meskipun Dollar adalah uang resmi yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dari negeri adi kuasa – kenyataan menunjukkan bahwa daya belinya terus merosot.

Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap uang resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, apa yang mereka lakukan ?. Selain menukarnya dengan mata uang lain , masyarakat juga ‘mengaman’-kan uangnya dalam bentuk benda-benda riil seperri rumah, mobil, sawah, kebon dan lain sebagainya.

Tetapi rumah, mobil dan sejenisnya bukanlah komoditi yang mudah dipertukarkan, maka dia tidak menjadi uang yang sesungguhnya. Uang yang sesungguhnya adalah komoditi yang liquid – mudah dipertukarkan dan nilainya terbentuk oleh mekanisme pasar sempurna – tidak diintervensi oleh siapapun.

Maka dalam Islam, referensi yang sahih untuk uang adalah hadits riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”.

Pertanyaan berikutnya adalah dimana barang-barang tersebut dengan mudah dipertukarkan atau diperjual belikan ?. Ya tentunya di pasar !. Maka mungkin inilah pelajarannya, mengapa Rasulullah SAW mendirikan pasar sedari dini terbentuknya negara Madinah– karena melalui pasar-pasar inilah umat atau rakyat saling memenuhi kebutuhan hidupnya – saling memakmurkan.

Pelajaran berharga ini hendaknya yang perlu menjadi prioritas para pemimpin yang ingin memakmurkan rakyatnya, tidak perlu terlalu banyak meributkan ‘pencetakan’ uang – tetapi kerja keraslah untuk memutar barang di pasar-pasar ! – Insyaallah rakyat akan bisa lebih cepat makmur. Wa Allahu A’lam.

09 Juni 2011

Orang Afrika Pandai Menangkap Kera, Orang Melayu Pandai Menjinakkan Gajah...

Konon sejak jaman primitif purba, orang-orang di Afrika sudah pandai menangkap kera. Di pohon-pohon yang besar mereka membuat dua lubang yang satu besar dan yang lain kecil. Lubang yang besar dipakai untuk mengeruk isi pohon sehingga pohon menjadi berongga, melalui lubang yang besar pula rongga diisi dengan makanan-makanan yang disukai kera seperti pisang dlsb., kemudian lubang yang besar ini ditutup rapat dengan kayu yang lain. Lubang yang kecil dibiarkan terbuka sehingga dari lubang inilah kera dapat melihat makanan-makanan kesukaannya ada di dalam pohon, maka dijulurkannya tangannya kedalam untuk mengambil makanan. Tetapi kera-kera tidak puas hanya menjulurkan satu tangan, mereka menjulurkan dua tangannya dan berusaha memegang sebanyak mungkin makanan yang ada di dalam pohon, apa akibatnya ?.

Dua tangan kera yang penuh dengan makanan menjadi tidak bisa ditarik keluar melalui lubang yang sempit, tetapi kera tidak berpikir untuk melepaskan salah satu tangan atau mengurangi makanan yang sudah digenggamannya – maka kera-kera inipun terjebak tidak bisa lepas dari lubang sempit karena keserakahannya mengalahkan kecerdasannya yang memang sangat minim. Saat itulah manusia purba sudah dengan mudah dapat menangkap kera-kera ini.

Lain orang Afrika purba – lain pula dengan orang Melayu. Di tanah Melayu dari dahulu banyak gajah. Karena badannya yang sangat besar, gajah adalah raja hutan yang sesungguhnya. Meskipun yang mendapat sebutan raja hutan adalah harimau atau singa, gajah tetap tidak pernah tunduk dan takut pada harimau ataupun singa. Tetapi gajah dengan mudah ditaklukkan oleh orang-orang Melayu, bagaimana caranya ?.

Awalnya memang sangat sulit menangkap gajah liar, mereka diburu beramai-ramai dengan berbagai peralatan. Begitu tertangkap mereka diikat dengan rantai-rantai besi yang sangat besar untuk bisa mengalahkan kekuatannya. Dalam kondisi terantai inilah gajah ‘didoktrinasi’ oleh manusia yang menangkapnya untuk nurut disuruh ini itu. Bila menurut disuruh melakukan sesuatu, maka gajah ini diberi kacang kesukaannya, bila menolak maka dicambuklah dia. Melaui teknik yang oleh orang modern kini disebut reward and punishment inilah gajah akhirnya tunduk pada kekuatan manusia yang jauh lebih kecil fisiknya.

Ketika gajah mulai behasil dijinakkan, maka tidak lagi diperlukan rantai yang besar untuk mengikatnya – bahkan tanpa rantai-pun gajah sudah tidak lagi melawan atau berusaha memerdekakan diri. Yang sangat menyedihkan lagi bagi masyarakat gajah, ketika mereka beranak pinak – anak-anak mereka-pun sudah tidak berani berontak terhadap manusia yang menguasainya. Mereka menjadi penurut untuk berbuat apa saja yang dikehendaki pawangnya, mereka mau berbuat apa saja meskipun tidak mengerti makna dari perbuatannya – bahkan disuruh bermain sepak bola yang hanya bisa dipahami oleh manusia-pun mereka mau lakukan !.

Ada dua pelajaran penting dari kekalahan dua jenis binatang tersebut dari kekuatan kecerdasan manusia, si kera mudah di tangkap oleh manusia karena keserakahannya lebih besar dari akalnya. Sedangkan si gajah biar badannya amat sangat kuat dibandingkan manusia, mereka akhirnya ditundukkan oleh manuia karena rasa takut-nya (takut tidak mendapatkan reward dan takut kena punishment) yang juga melebihi kemampuan akalnya.

Para mujahidin – pejuang Palestina yang sehari-hari bertempur melawan Zionis –Yahudi, mereka mungkin tidak tahu kisah balada kera dan gajah tersebut diatas. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang sangat intense berinteraksi dengan Al-Qur’an, mereka mendapatkan pelajarannya langsung dari petunjuk Allah tersebut.

Kelemahan yang mendasar bagi para Yahudi ini ternyata sama dengan kelemahan mendasar kera, yaitu serakah - karena mereka memang pernah dikutuk untuk menjadi kera yang hina (QS 2 : 65) dan juga kelemahan gajah yaitu badannya saja yang gede tetapi sejatinya mereka ini penakut.

Bentuk keserakahan mereka (Yahudi ) ini di Al-Qur’an digambarkan ketika mereka sudah diberi makanan yang baik-baik yaitu Manna dan Salwa (QS 2 : 57), mereka malah masih meminta makanan yang lebih buruk yaitu sayur mayur, mentimun, kacang adas, bawang putih dan bawang merah (QS 2 : 61).

Kepengecutan Yahudi juga diabadikan di Al-Qur’an, yaitu bila mereka berperang-pun mereka hanya beraninya berperang dari balik benteng atau tembok-tembok mereka (QS 59 : 14). Konon dalam tank-tank Yahudi yang berhasil direbut oleh pejuang dari kaum Muslimin dalam serangan mereka belum lama ini, dijumpai banyak sekali pampers (itu lho celana sekaligus tempat pipis dan buang hajat bagi bayi) – karena untuk keluar dari tank-nya ( untuk pipis dan buang hajat misalnya) – mereka-pun tidak berani !.

Karena sifat serakah yang melebihi akalnya adalah sifat kera dan Yahudi (yang memang pernah dikutuk menjadi kera dalam ayat tersebut diatas), sifat pengecut yang melebihi akalnya adalah sifat gajah – yang juga sifat Yahudi, maka manusia-manusia yang ingin merdeka –tunduk dan takutnya hanya kepada Allah semata – harus menghindari sifat serakah (tamak) dan sifat pengecut. Dua nasihat inilah (jangan tamak dan jangan takut) yang pernah disampaikan oleh tokoh pejuang dari kaum Muslimin di Palestina ketika para pejuang dakwah di Indonesia minta nasihat mereka.

Bagaimana ini aplikasinya pada diri kita ?. Bila tangan kita terbelenggu di dalam lubang yang sempit karena begitu banyaknya yang berusaha kita genggam ( bisa berupa kredit rumah, kredit mobil, kartu kredit, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jabatan, status sosial...dslb) yang dengan itu membuat kita tidak merdeka, maka lepaskan-lah satu per satu genggaman tersebut – insyaAllah kita akan merdeka.

Bila ketakutan kita akan punishment dan tidak memperoleh reward dari manusia melebihi ketakutan kita akan punishment dan reward dari Yang Memberi kita hidup, maka lawanlah rasa takut ini sedemikian rupa sehingga yang muncul ketundukan dan takut kita hanya kepada Allah semata - maka insyaAllah kita-pun akan merdeka. Amin.

08 Juni 2011

Aset dan Kemakmuran Anda : Reducing, Preserving or Producing...

Dalam kaitannya dengan pengaruh terhadap dinamika kemakmuran Anda, aset-aset Anda dapat dikategorikan menjadi tiga jenis aset yaitu yang disebut Wealth Reducing Assets – aset yang justru menggerogoti kemakmuran Anda, Wealth Preserving Assets – aset yang mampu mempertahankan kemakmuran Anda, dan Wealth Producing Assets – aset yang meningkatkan kemakmuran Anda. Pengetahuan akan ketiganya akan meningkatkan kemampuan Anda mengelola aset-aset Anda secara optimal, untuk memakmurkan Anda sendiri dan orang-orang di sekitar Anda.

Mungkin Anda bertanya, kok Ada jenis aset yang justru menggerogoti kemakmuran ?. Ilustrasinya begini, bila Anda sekarang memiliki uang Rp 5,000,- uang tersebut dapat Anda belikan beras 1 kg yang dapat untuk konsumsi Anda sekeluarga dalam dua hari. Bila uang Anda tersebut tidak dibelikan beras sekarang, disimpan dengan jumlah yang sama – maka 4 tahun lagi uang yang sama tersebut hanya cukup untuk membeli 0.5 kg beras – yang hanya cukup untuk konsumsi 1 hari. Jadi dalam hal ini uang kertas yang Anda pegang/simpan saja – menjadi Wealth Reducing Asset atau aset yang mengurangi kemakmuran Anda.

Tidak hanya Rupiah, hal yang sama terjadi pada Dollar. Bila US$ 1 sekarang hampir cukup untuk membeli 1 liter bensin di pom-pom bensin asing yang kini marak, lima tahun lagi uang Dollar yang sama tidak akan cukup untuk membeli 1/2 liter bensin. Jadi Dollar Anda juga termasuk kategori Wealth Reducing Asset.

Bahkan ketika Rupiah atau Dollar tersebut di depositokan dengan hasil rata-rata 7% untuk Rupiah dan 2.5 % untuk Dollar, dalam lima tahun terakhir sejak januari 2006 Rupiah dan Dollar ini tetap menjadi Wealth Reducing Assets karena pertumbuhan nilainya kalah dengan inflasi yang menurunkan daya belinya terhadap bahan pangan misalnya.

Aset jenis kedua Wealth Preserving Assets adalah aset yang sekedar mampu menjaga tingkat kemakmuran yang sama bila aset tersebut Anda pegang atau simpan. Rumah yang Anda tinggali misalnya, meskipun dalam Rupiah nilainya terus naik – tetapi tidak membuat Anda bertambah makmur – lha wong rumahnya ya tetap yang itu kok.

Contoh lain yang sangat kongkrit adalah emas atau Dinar Anda, bila Anda simpan kapanpun meski nilainya dalam Rupiah menjadi berlipat-lipat – tetap tidak akan mampu meningkatkan kemakmuran Anda. Dinar atau emas hanya akan mampu mempertahankan kemakmuran Anda – sebagai Wealth Preserving Assets – karena satu Dinar Anda tetap setara satu ekor kambing selama lebih dari 1400 tahun !.

Bila memegang Rupiah atau Dollar membuat kemakmuran berkurang, memegang emas atau Dinar membuat kemakmuran bertahan – lantas aset dalam bentuk apa yang bisa kita pegang yang membuat kemakmuran meningkat ?. Ada dua solusi untuk ini.

Pertama adalah aset-aset Anda dijadikan aset yang memang tumbuh atau bertambah secara fisik atau bertambah secara significant nilainya – sehingga mampu mengalahkan inflasi, seperti menanam pohon, memelihara kambing, memproduksi kerajinan, memproses berbagai bahan baku menjadi produk jadi yang bernilai lebih dlsb.

Kedua adalah aset Anda dijadikan modal yang terus berputar. Kalau aset Anda berputar seminggu sekali saja dengan hasil bersih 1 %, pertumbuhan aset Anda sudah akan seperti Abdurahman bin 'Auf. Jadi Aset yang digunakan untuk menumbuhkan benda riil, men-create nilai tambah atau terus berputar sebagai modal adalah aset yang akan menjadi Wealth Producing Assets – atau aset-aset yang akan meningkatkan kemakmuran Anda. Ilustrasi grafik dibawah menggambarkan hal ini secara lebih jelas.

Assets and Wealth

Assets and Wealth

Garfik aset Rupiah dan Dollar yang di depositokan ( apalagi yang disimpan dibawah bantal !) terus menurun daya belinya terhadap benda riil – menggunakan harga emas (= harga kambing) yang digunakan sebagai standar referensi. Emas atau Dinar sendiri berdaya beli datar/ tetap. Sedangkan asset Anda yang digunakan sebagai modal dagang a la Abdurrahman bin ‘Auf meningkat dengan pesat.

Agar kedepannya lebih banyak aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Assets, serangkaian program telah kami perkenalkan lewat berbagai tulisan di situs ini seperti Program Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin – untuk mencetak para (calon) pengusaha yang Qowiyyun Amin, sampai Gold Based Capital yang akan mendorong emas atau Dinar Anda menjadi modal yang produktif.

Dengan program-program tersebut insyaAllah asset Anda bukan hanya kan meningkatkan kemakmuran Anda sendiri, tetapi juga bermanfaat untuk ikut meningkatkan kemakmuran orang lain. InsyaAllah.

07 Juni 2011

Ayo Kuasai Perdagangan, Agar Kita Tidak Meninggalkan Anak-Anak Yang Lemah...

Dalam sejarah panjang umat Islam yang umurnya lebih dari 14 abad, tidak banyak yang menyadari bahwa kita yang di belahan bumi Nusantara ini pernah menjadi titik yang ikut melemahkan kekuatan ekonomi umat Islam di muka bumi. Kapan itu terjadi ?, yaitu ketika negeri ini dijajah selama 350 tahun oleh Belanda, yang kemudian menguasai sumber daya dan mengeruk hasilnya dari bumi Nusantara ini. Dengan ketidak mampuan kita mempertahankan kedaulatan kita saat itu, bukan hanya penduduk negeri ini saja yang dikalahkan – tetapi sejatinya seluruh kekuatan umat ikut dilemahkan.

Pelemahan kekuatan ekonomi kekhalifahan yang antara lain di trigger oleh pendudukan penjajah Belanda atas bumi Nusantara ini dapat saya kutipkan dari bukunya Bernard Lewis yang berjudul “What Went Wrong?: The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East” sbb :

Dalam periode yang sangat panjang, kopi dan gula diimpor ke Eropa dari atau melalui Timur Tengah. Tetapi kemudian kekuatan kolonial (Eropa) menemukan jalan untuk menanam kopi dan gula (tebu) seluas-luasnya dengan cara yang murah di negeri—negeri jajahan mereka. Mereka melakukan ini dengan seluruh kekuatan sehingga mereka sukses, sampai mereka mampu mengekspor kopi dan gula ke wilayah Kekhalifahan Turki Ustmani. Di akhir abad 18 bila seorang Turki atau seorang Arab menikmati kebiasaan tradisionalnya – meneguk secangkir kopi manis – sangat besar kemungkinannya bahwa kopinya dari Jawa yang diduduki Belanda atau Amerika Latin yang diduduki Spanyol, sedangkan gulanya dari dari West Indies yang diduduki Inggris atau Perancis, hanya air panasnya saja yang lokal (Turki atau Arab)”.

Jadi ketika kita lemah sejatinya bukan hanya kita saja yang lemah, tetapi seluruh umat ini ikut lemah. Dalam contoh diatas, ketika kita bisa dijajah oleh Belanda dan mereka mengeruk hasil bumi (kopi) yang murah dari Nusantara ini – ternyata kopi tersebut bukan hanya mereka nikmati di negaranya sendiri – tetapi di ekspor ke negeri kekhalifahan dan melemahkan kekekuatan ekonomi negeri-negeri tujuan ekspor tersebut.

Maka di dalam Al-Qur’an-pun kita diingatkan untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” ( QS 3 : 9).

Gejala-gejala melemahnya generasi kita dan anak – anak kita di jaman ini sesungguhnya juga begitu gamblang. Munculnya orang mati karena kelaparan, 80 % penduduk negeri ini berpenghasilan kurang dari 20 % nishab zakat, dan berbagai indikator lain yang akan mudah kita pahami bila kita mampu dan mau merangkai informasi ‘connecting the dots’ dan mengambil pelajaran dari situasi yang tidak menyenangkan ini.

Data lain yang saya peroleh yang sangat menyedihkan adalah data FAO (Food and Agriculture Organization) yang keluar tahun lalu yang tersaji dalam grafik di bawah. Daerah yang berwarna gelap adalah daerah yang mengkonsumsi daging tinggi, semakin terang semakin sedikit konsumsi daging-nya. Anda bisa lihat warna untuk negeri kita ? sangat terang !. Bila rata-rata penduduk di dunia mengkonsumsi daging 46.6 kg per tahun, kita hanya mengkonsumsi 11.14 kg per tahun.

Meat Consumption by Country

Meat Consumption by Country

Dalam hal konsumsi daging ini, kita berada di nomor urut 156 dari 177 negara yang datanya ada di FAO. Jauh dibawah tetangga kita sendiri seperti Brunei yng di no urut 52 (65 kg), Malaysia no urut 75 (48.99 kg) dan bahkan Timor Leste yang berada di no urut 107 (31.37 kg). Apakah ini karena negara kita besar sekali jumlah penduduknya sehingga rata-ratanya menjadi rendah ?, tidak juga !, China yang jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk kita – mereka berada di nomor urut 68 dengan konsumsi daging 53.45 kg per kapita per tahun !.

Dari konsumsi daging yang begitu rendah inilah yang antara lain berakibat langsung pada penurunan tinggi badan dari anak-anak yang lahir di negeri ini. Yang perlu kita juga sangat khawatirkan adalah konsumsi protein yang sejalan dengan konsumsi daging tersebut diatas – yaitu dibawah rata-rata dunia seperti dalam grafik dibawah. Kita perlu kawatir karena kurangnya konsumsi protein bisa berakibat pada penurunan kecerdasan anak-anak negeri ini.

Protein Intake

Protein Intake

Mengapa kita perlu tahu informasi-informasi seperti ini ?, bukan untuk mengeluh atau menyalahkan siapapun di negeri ini. Dengan informasi yang kita rangkai ini, kita berharap bisa berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Tidak penting besar kecilnya upaya yang bisa kita lakukan, tetapi bila banyak-banyak penduduk negeri ini berniat dan mulai berbuat sesuatu untuk menolong diri kita, anak-anak kita dan umat secara keseluruhan, mudah-mudahan ini bisa mengundang pertolongan Allah yang tiada batas kekuasaanNya.

Apa konkritnya yang bisa kita lakukan ?. Anda bisa mulai dari apa yang Anda punya ilmunya, punya pengalaman atau ketrampilannya. Yang jelas di negeri tropis ini tidak terhitung jenis hewan yang dagingnya halal untuk dimakan – yang mudah dibudi-dayakan. Dari ayam, itik, kambing, domba, sampai kerbau dan sapi semuanya bisa hidup baik di negeri ini. Apakah susah untuk menumbuh kembangkan hewan-hewan ini agar dagingnya tersedia cukup dengan harga yang terjangkau untuk anak cucu kita ?. Insyaallah tidak sesulit merancang pesawat terbang atau pembangkit listrik tenaga nuklir – yang katanya-pun mampu dilakukan pemuda-pemudi terbaik negeri ini.

Ilmunya jelas ada karena begitu banyak lulusan peternakan dan kedokteran hewan dari S1, S2 dan S3 di Indonesia. Sumber daya alam-nya juga begitu mendukung, lantas mengapa sampai kita menjadi bangsa yang kurang mampu dalam hal konsumsi daging dan protein ini ?. Yang belum cukup mungkin adalah para pedagang dan pengusaha yang bukan hanya mengejar keuntungan sesaat, tetapi pedagang dan pengusaha yang menyadari kedudukan strategisnya dalam membangun kekuatan umat dalam jangka panjang.

Yang juga masih kita perlukan lagi adalah kepemimpinan yang bervisi, yang mampu merangkai informasi dan menentukan arah perjalanan bangsa secara confident, memprioritaskan kepentingan yang luas yaitu fokus pada memakmurkan umat atau rakyatnya.

Dan bagi kita kebanyakan rakyat biasa - bukan pemimpin negeri dan belum menjadi pedagang atau pengusaha , waktunya berhenti untuk mengeluh dan mencerca polah tingkah pemimpin dan wakil rakyat kita yang sibuk dengan urusan kelompoknya masing-masing, waktunya untuk berbuat apa yang kita bisa. Untuk memotivasi diri kita ini, ada buku bagus yang terbit sekitar 7 tahun lalu yang di tulis oleh Muhammad Ali Haji Hasyim dengan judul “Bisnis Satu Cabang Jihad” (Pustaka Al-Kautsar, 2003). Buku ini banyak memberi contoh amal-amal shalih yang bisa kita lakukan yang bernilai jihad, yaitu mulai ber-bisnis. Argumennya jelas dan sangat masuk akal, bahwa jihad dalam pengertian perang-pun selalu membutuhkan jiwa dan harta – dari mana harta ini di peroleh secara halal ?, ya dari perdagagangan atau bisnis yang halal.

Perlunya harta untuk memenangkan pertempuran dan mempertahankan kejayaan umat ini menjadi jelas kaitannya manakala kita melihat sejarah bangsa ini yang ditaklukkan penjajah awalnya melalui perdagangan, dan bagaimana hanya gara-gara perkebunan dan perdagangan kopi kita dikuasai penjajah – bukan hanya kita yang kalah, tetapi kita juga telah ikut melemahkan kekuatan ekonomi Kekhalifahan Turki Ustmani di awal tulisan ini – yang akhirnya juga berujung pada keruntuhannya.

Dengan usaha insyaAllah kita bisa menyiapkan generasi yang makan daging dan protein secara cukup, kemudian dengan pendidikan yang baik dari para ustadz dan para pendidik – insyaallah generasi anak-anak kita akan menjadi generasi unggulan, yang menjadi titik kekuatan umat di masa depan bukan menjadi titik lemah seperti yang terjadi sejak Belanda menjajah negeri ini sekian ratus tahun lalu. InsyaAllah !.

01 Juni 2011

Gold Based Capital : Menumbuhkan Sektor Riil Untuk Melawan Inflasi...

Di dunia perbankan ada istilah Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal, yaitu suatu rasio yang menggambarkan perbandingan antara modal bersih yang dimiliki suatu bank dengan total asetnya – setelah memperhitungkan faktor risiko. Mirip dengan ini di dunia asuransi dikenal istilah Risk Based Capital (RBC), yaitu kekayaan bersih perusahaan juga setelah diperhitungkan dengan faktor-faktor risiko. Keduanya memiliki kesamaan yaitu aset perusahaan yang sesungguhnya yang dimiliki oleh bank atau asuransi – sangat bisa jadi tidak sebesar asset yang diperhitungkan berdasarkan standar akuntansi – setelah faktor-faktor risikonya dimasukkan dalam perhitungan. Lantas bagaimana dengan aset pribadi atau perusahaan Anda, berapa nilai yang sesungguhnya ?, tumbuhkah atau malah menyusut ?.

Saya tidak akan memperkenalkan formula yang njlimet seperti perhitungan CAR di perbankan atau RBC di asuransi untuk menghitung nilai sesungguhnya dari aset pribadi atau perusahaan Anda, saya perkenalkan saja apa yang saya sebut Gold Based Capital (GBC) – yang mengukur nilai riil aset Anda dengan menggunakan standar harga emas.

Untuk mudahnya dipahami konsep ini saya gunakan ilustrasi berikut : anggap lima tahun lalu (2006) Anda punya aset uang sebesar lima unit (bisa satuan apa saja milyar Rupiah, juta dollar dlsb). Anda investasikan secara terpisah masing-masing satu unit ke Deposito Rupiah (asumsi hasil rata-rata 7 %), Deposito Dollar (asumsi hasil rata-rata 2.5%), Saham (asumsi hasil mengikuti pergerakan IHSG), Emas untuk nantinya dijual ke Rupiah ( asumsi apresiasi nilai mengikuti harga emas dalam Rupiah) dan Emas yang nantinya dijual ke Dollar ( asumsi apresiasi mengikuti harga emas dalam US Dollar).

Setelah lima tahun berlalu (2011), berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas pertumbuhan masing-masing aset Anda akan menjadi seperti pada grafik dibawah.

Asset Growth in Original Currencies

Asset Growth in Original Currencies

Perhatikan semua aset nampak memberikan hasil atau tumbuh. Deposito baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar secara persistent tumbuh dibawah pertumbuhan harga emas baik di Rupiah maupun di Dollar. Saham yang direpresentasikan oleh fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tumbuh secara fluktuatif – kadang jauh diatas harga emas tetapi kadang juga anjlog jauh dibawah.

Dengan kacamata Rupiah atau US Dollar, Anda mungkin sudah senang dengan pertumbuhan aset ini. Masalahnya adalah daya beli riil Rupiah dan Dollar juga anjlog tergerus inflasi selama lima tahun ini – inilah faktor risiko yang hampir pasti terjadi yang mestinya ikut diperhitungkan dalam menilai aset Anda. Karena faktor risiko inilah nilai sesungguhnya dari aset Anda tersebut diatas perlu di adjusted dengan faktor inflasi – tetapi data inflasi yang mana yang bisa kita pakai ?, di negeri ini inflasi umu rata-rata 5 tahun terakhir "hanya" 6.8 %, tetapi rata-rata inflasi bahan pangan untuk periode yang sama adalah 12 %.

Agar Anda tidak pusing memikirkan data inflasi mana yang digunakan, maka gunakan saja harga emas sebagai patokan. Mengapa harga emas ?, Pertama harga emas di dunia dibentuk oleh mekanisme pasar yang nyaris sempurna – sehingga harganya adalah reliable, kedua data harga emas yang paling up-dated baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar ini selalu available setiap saat, dan utamanya yang ketiga karena harga emas telah terbukti stabil mencerminkan harga-harga benda riil kebutuhan manusia untuk periode yang amat sangat panjang yaitu lebih dari 1400 tahun !. Maka setelah aset-aset Anda tersebut diatas di adjusted atau di standarisasi dengan menggunakan harga emas, hasilnya akan seperti pada grafik dibawah.

Asset Growth Based on Gold

Asset Growth Based on Gold

Emas baik yang semula akan dijual dalam Rupiah maupun US Dollar, bila di standarisasi dengan emas itu sendiri tidak tumbuh atau tidak bertambah sampai kapan-pun. Deposito Anda dalam Rupiah maupun dalam US$ nampak terus menyusut – semakin lama semakin menjauh dari standar harga emas. Untuk saham berfluktuasi kadang diatas dan kadang dibawah.

Saham yang sedikit mencerminkan sektor riil dapat menumbuhkan aset Anda yang dihitung dengan standar emas – meskipun berisiko tinggi. Untuk tingginya risiko investasi di saham ini pernah saya tulis di situs ini yang mengutip thesis S2-nya Ibu Sri Pangestuti.

Bila deposito-deposito nilai riilnya dengan standar emas terus menyusut dan investasi saham berisiko, lantas apa investasi yang paling tepat untuk Anda ?. Saya cenderung untuk terus mendorong Anda berinvestasi di sektor riil. Memang untuk ini Anda akan menghadapi setidaknya dua risiko sekaligus yaitu risiko usahanya sendiri dan risiko inflasi, namun insyaallah keduanya bisa di-minimized.

Risiko usaha dapat Anda minimized dengan memilih bidang yang sangat Anda pahami seluk beluknya, melakukan riset maksimal dibidang tersebut dari segala aspek yang terkait, membuat business model dan business plan yang matang serta mengimplementasikannya dengan prudent atau penuh kehati-hatian.

Risiko inflasi dapat Anda minimized atau bahkan hilangkan bila Anda bisa mengelola pertumbuhan aset Anda berbasis emas atau Dinar, bukan emas atau Dinar yang disimpan tetapi emas atau Dinar yang menjadi modal yang terus berputar. Untuk lebih jelasnya, ilustrasi dibawah ini menggambarkan siklus usaha Anda setelah menggunakan Dinar atau emas sebagai basis-nya.

Business Cycle Change From Fiat To Gold

Business Cycle Change From Fiat To Gold

Mudahkah ini diimplementasikan ?. Kerjasama antara Gerai Dinar dengan BMT Daarul Muttaqiin telah siap memfasilitasi Anda untuk memutar usaha berbasis Dinar ini, namun bagi Anda yang belum comfortable atau familiar dengan Dinar – maka emas lantakan juga bisa digunakan sebagai basis modal untuk menggerakkan sektor riil. Untuk yang terakhir ini kami telah merintis pembicaraan dengan beberapa bank syariah untuk sinergi-nya, insyaAllah dalam waktu dekat layanan yang komprehensif yang terkait dengan penggunaan emas sebagai modal ini akan segera terwujud.

Sebagaimana lawan riba adalah perdagangan dan sedekah, maka inflasi harus bisa kita taklukkan dengan berputarnya harta di sektor riil dan ketika masih idle berupa cadangan modal-pun dia dalam bentuk yang tidak mempan digerus inflasi yaitu Dinar atau emas. InsyaAllah.

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.