Tahun 1974 - Tiga tahun setelah presiden Amerika Richard Nixon mengguncang dunia dengan Nixon Shock-nya, ekonomi dunia memasuki ketidak pastian baru yang sangat serius. Di Amerika sendiri dalam periode 3 tahun itu data resmi pemerintah untuk Consumer Price Index ‘hanya’ naik sekitar 21 %, tetapi harga emas dalam Dollar – yang lebih bisa diandalkan untuk mengukur daya beli uang Dollar yang sesungguhnya – naik hampir empat kalinya, yaitu dari US$ 40.80/Oz (1971) menjadi 159.26/Oz (1974). Di tengah ketidak pastian inilah, The Royal Swedish Academy of Science menganugerahkan hadiah Nobel dibidang ilmu ekonomi kepada seorang ekonom tua (75 th) Frederich August Von Hayek (1899-1992) untuk karya-karya dan pemikirannya – yang dipandang sangat relevan untuk saat itu.
Kurang lebih setengah abad sebelumnya Hayek muda juga sudah memperingatkan dunia di jamannya akan kemungkinan terjadinya depression serius yang kemudian bener-bener terjadi di tahun 1929 yang disebut great depression. Dengan apa ekonom seperti Hayek ini mampu memprediksi krisis jauh sebelum krisis itu terjadi ?. Salah satunya adalah dengan menggunakan informasi pergerakan harga-harga (inflasi) yang di trigger oleh kebijakan moneter dan ekpansi kredit dalam suatu negara.
Dua tahun setelah menerima hadiah Nobel, tulisan dan pemikiran si Hayek yang kemudian dikenal dengan Hayekian Theory ini dibukukan antara lain dengan tema yang masih sangat relevan dengan jaman ini – yaitu tentang mata uang. Buku yang pertama terbit tahun 1976 tersebut berjudul “Denationalisation of Money : The Argument Refined, An Analysis of the Theory and Practice of Concurrent Currencies”. Versi yang saya baca adalah edisi tahun 1990, terbitan dari The Institute of Economic Affairs – London.
Sebagaimana tersirat dari judulnya, dalam buku tersebut Hayek menguraikan argumennya dengan sangat detil dan ilmiah - yang menjadikan dia memang layak untuk menerima hadiah Nobel di bidang ilmu ekonomi tersebut diatas – bahwa urusan mata uang tidak bisa hanya menjadi monopoli urusan pemerintah pusat atau institusi kenegaraan lainnya. Setelah lebih dari 35 tahun, buku ini kembali banyak dibaca orang karena nampaknya dunia memang lagi bergerak kearah pemikiran yang sejalan dengan isi buku ini.
Memang di Indonesia kita lagi menguatkan kembali uang nasional kita dengan disahkannya RUU Mata Uang oleh DPR kita akhir bulan lalu, namun di kancah dunia – denasionalisasi mata uang mulai sungguh-sungguh terjadi seperti di Malaysia dengan uang Dinar-nya yang diperkenalkan oleh negeri bagian Kelantan, dan bahkan di Utah – salah satu negara bagian di Amerika Serikat sendiri – uang versi lokal berupa emas dan perak juga secara resmi disahkan penggunaannya melalui apa yang disebut Utah Legal Tender Act.
Pemikiran-pemikiran Hayek yang seyogyanya bisa menjadi bahan renungan para pengambil keputusan di jaman ini , yang tertuang dalam buku Denationalisation of Money tersebut antara lain poin-poin-nya adalah :
· Sejarah menunjukkan bahwa inflasi pada umumnya adalah hasil rekayasa (engineered by) pemerintah untuk kepentingan pemerintah. ( hal 34)
· Rekayasa inflasi ini terjadi karena monopoli pengeluaran uang oleh pemerintah yang kemudian melahirkan istilah legal tender – alat bayar yang sah , diluar uang yang bersifat legal tender ini tidak ada lagi uang yang sah atau boleh digunakan. ( hal 37)
· Legal tender kemudian menjadi alat yang sah untuk memaksa orang menerima pembayaran atau penyelesaian hutang dengan nilai yang bisa jadi tidak diniatkan dalam kontrak awal. (hal 40). Contoh konkrit untuk kasus ini adalah bila saya berhutang kepada Anda tahun 1996 dengan Rp 10,000,- tanpa beban bunga, kemudian saya bayar Anda pada akhir 1998 dengan Rp 10,000,- maka hutang saya telah lunas secara legal – meskipun legal tender yang namanya Rupiah tahun 1998 hanya bernilai seperempat dari Rupiah yang sama tahun 1996.
· Agar legal tender atau uang pemerintah atau uang nasional tidak terus menurun daya belinya ( seperti yang terjadi selama ini di seluruh negara di dunia) – seharusnya diciptakan persaingan yang sehat dengan ‘uang swasta’ – untuk memaksa pihak yang mengeluarkan uang tersebut dapat menjaga nilainya dengan daya beli yang konstant terhadap sejumlah komoditi penting kebutuhan manusia. Uang swasta ini menurut si Hayek bisa saja bentuknya semacam notes (uang kertas) atau cheque yang dikeluarkan oleh institusi-institusi seperti bank dlsb (hal 46- 48).
· Dengan menciptakan kompetisi sejumlah ‘uang’ yang beredar di masyarakat, maka akan tercapai antara lain (hal 52) : a) tersedianya uang dengan daya beli konstant yang terus dibutuhkan masyarakat ; b) tumbuh nya kepercayaan terhadap pihak tyang mengeluarkan uang dengan daya beli konstant tersebut ( kepercayaan ini yang sekarang runtuh, meskipun uang dikeluarkan oleh pemerintahan negeri adidaya sekalipun); c) pihak yang mengeluarkan uang dapat menjaga daya beli konstan tersebut dengan cara menjaga jumlah uang yang dikeluarkan (ini yang sama sekali tidak bisa dijaga oleh negeri adi kuasa ketika krisis menimpa) .
· Bila terjadi banyak versi uang di masyarakat, mereka dengan sendirinya akan memilih uang yang paling memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan akan uang ini terkait dengan kegunaannya yaitu sebagai ( hal 67- 69) : a) pembelian secara tunai atau alat bayar; b ) penyimpan cadangan untuk pembayaran kebutuhan yang akan datang ; c) dasar perhitungan untuk pembayaran cicilan dan d) unit of account yang reliable. Semakin dapat memenuhi keempat kebutuhan tersebut uang akan semakin menjadi pilihan bagi masyarakat.
· Tidak ada satu pihak dalam suatu negara yang mampu mengendalikan atau memiliki informasi yang cukup atas kebutuhan uang di masyarakat, oleh karenanya monopoli kebijakan pengeluaran uang hanya kepada satu pihak tertentu ( tanpa kompetisi dalam menjaga nilainya – karena uang bisa dikeluarkan dari awang-awang) – hanya akan justru menjadi penyebab terjadinya depresi (atau krisis ekonomi) ketimbang mencegah atau mengobatinya. ( hal 102)
· Dengan adanya kompetisi dalam mata uang, maka masyarakat tidak harus menerima uang pemerintah atau uang nasional – yang sering bereputasi buruk karena daya belinya yang cenderung menurun. Sebaliknya masyarakat dengan sukarela akan dapat menerima uang swasta sekalipun – bila nilai daya belinya konstan. (hal 111).
Mungkin kita akan perlu waktu untuk belajar dari masyarakat Kelantan apakah nantinya mereka lebih comfortable dengan uang Dinar Kelantan mereka atau tetap (terpaksa) menggunakan Ringgit Malaysia; atau masyarakat Utah Amerika serikat apakah mereka nantinya akan lebih senang menggunakan emas dan perak ketimbang Dollar Amerika. Tetapi yang jelas masyarakat di dua negara bagian dari dua negara yang berbeda tersebut kini mulai memiliki uang pilihannya.
Dengan menulis summary dari isi buku Denationlisation of Money ini, saya tentu tidak ada niatan untuk melawan atau mencegah para pengambil keputusan di negeri ini yang telah bulat memutuskan bahwa satu-satunya uang sebagai alat bayar di negeri ini ya Rupiah. Tetapi di jaman yang sangat terbuka ini, sejatinya ‘uang swasta’ dalam versi lain sudah begitu banyak beredar dan berfungsi efektif sebagai alat tukar - dalam berbagai bentuk poin-poin hadiah dari dunia berbankan, poin-poin hadiah dari dunia telekomunikasi, mileage dari dunia penerbangan, kupon-kupon di komunitas tertentu dlsb-dlsb.
Lantas apakah perbankan dan dunia telekomunikasi yang memberikan hadiah point rewards – yang bisa ditukar dengan benda riil, dunia penerbangan dengan mileage-nya dan kupon-kupon di komunitas tertentu yang semuanya berfungsi sebagai alat bayar – melanggar ketentuan alat bayar yang bersifat nasional ?. Saya pikir kok tidak !, maka sejalan dengan ini bila ada suatu komunitas yang alat tukar diantara mereka-nya tidak menggunakan uang nasional – tetapi menggunakan sebuah ‘poin’ yang direpresentasikan oleh benda riil – sekeping koin emas Dinar misalnya – menurut saya juga tidak ada yang dilanggar.
Bila kita menukar garam dengan kurma yang perfectly halal, siapa yang berani melarangnya ?, maka demikian pula bila kita menukar emas dengan beras atau berbagai kebutuhan lainnya – karena dasar hukumnya sama “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai” (HR. Muslim).
Pelajaran lain dari pemenang Nobel tersebut diatas adalah sikap terhadap uang nasional yang diungkapkan dalam pengantar bukunya : “ I do not want to prohibit government from doing anything except preventing others from doing things they might do better” – saya tidak ingin mencegah pemerintah melakukan apa saja, kecuali ( bila mereka) mencegah orang lain (rakyatnya) melakukan hal-hal yang bisa jadi lebih baik ( ketimbang dilakukan oleh pemerintah). Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini