Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

30 Desember 2014

Mungkinkah Uang Kertas Punah? (2)

Oleh : @endykurniawan

Kabar baik bagi kita adalah dari seluruh emas yang telah ditambang di muka bumi yakni sekitar 150.000 – 160.000 ton, 70% – 90% dikuasai swasta, termasuk individu/ perorangan. World Gold Council menyebut angka sekitar 100.000 ton emas dikuasai swasta, pada 2005. Sementara sisanya dikuasai oleh 109 negara sebagai cadangan di bank sentral-nya. Laporan lembaga yang sama pada September 2010 menyebutkan jumlahnya sekitar 27.000 ton. Sebagaimana tulisan pada bagian pertama, penguasaan mayoritas stok emas dunia oleh non-pemerintahan ini adalah salah satu sebab mengapa kembalinya gold-standard sebagaimana era Bretton Woods diprediksi sulit terwujud. Menurut Martin Wolf, analis ekonomi senior The Financial Times, proses akuisisi emas masyarakat ini akan memakan berbagai macam biaya yang luar biasa dan bisa menimbulkan kekacauan.

Jauh lebih mungkin, jika saatnya tiba, terjadi pertukaran langsung emas-emas simpanan masyarakat untuk transaksi sehari-hari. Jumlah 100.000 ton yang beredar adalah jumlah yang sangat banyak. Seandainya pun tak dalam bentuk koin yang standard, masyarakat cukup menggunakan emas dalam bentuk apapun, disertai timbangan untuk pengukur berat. Praktek ini sebagaimana jaman awal Rasulullah SAW bertransaksi menggunakan emas, alat transaksinya adalah emas dalam berbagai bentuk (koin, lempengan/ tibr) dan telah mencukupi. Kita tahu, emas adalah bahasa transaksi universal. Kita pernah bahas sebelumnya, salah satu item survival kit pilot tempur Amerika adalah sepotong emas. Kawan saya Ahmad Gozali, ketika sesi workshop investasi emas sering menyampaikan penggalan sebuah film dengan setting di sebuah negara komunis. Prajurit Amerika yang perlu tumpangan tak bisa membayarnya dengan US Dollar karena penduduk setempat tak tertarik mata uang asing itu. Tapi deal terjadi setelah si agen bersedia membayarnya dengan jam tangan terkenal berlapis emas.

Selama 1500 tahun kejayaan Islam menerangi bumi, ekonomi kekhalifahan berada di standar yang sangat tinggi. Bahkan menjelang rapuh dan runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani sekalipun, indeks harga dan kesejahteraan warga negaranya masih lebih baik dari Inggris yang berdiri sejaman. Kemanapun reformasi moneter ini membawa nanti, kita perlu bersiap diri dari kini. Perhatikan grafik 10 besar penguasa emas dunia pada gambar. Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3 negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10 besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat non-produsen emas, yang dengan disiplin dan kesadaran penuh, mereka tahu tapi diam-diam saja, justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan negaranya, meskipun dalam keseharian mereka terlihat sibuk mengkampanyekan anti-gold standard.

Kita juga bisa menyimpulkan satu hal yakni kecilnya kesadaran negara-negara penghasil emas utama untuk mempertahankan emas yang ditambang dan diolah di negaranya sendiri, sehingga tak cukup menyimpan untuk pertahanan ekonomi negaranya. Mereka memilih untuk menjadi penambang dan eksportir, tapi tak menjadikan emas sebagai cadangan ekonomi negaranya, kecuali sedikit saja. Negeri ini seharusnya memberi penghargaan kepada masyarakat yang secara individual berupaya menyimpan emas di rumah tangganya masing-masing, yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka simpanan emas yang sangat besar dan mengindikasikan ketahanan ekonomi riil masyarakat Indonesia.

Seandainya warga negara yang hidup di atas ambang kemiskinan (artinya secara ekonomi cukup mampu) yaitu 70% dari total penduduk Indonesia memiliki 1 gram emas, maka jumlah emas minimal yang dimiliki rakyat Indonesia berjumlah 168 ton. Angka ini telah 2 kali lipat lebih dibanding cadangan emas yang dimiliki bank sentral. Seandainya 1 orang menguasai 1 Dinar (emas dengan berat 4.25 gram), maka cadangan emas yang berada di kantung masyarakat Indonesia berjumlah 714 ton. Dijumlahkan dengan cadangan devisa Bank Indonesia yang sekitar 75 ton, maka Indonesia akan berada di posisi ke-8 penyimpan emas mengalahkan Jepang.

Sosialisasi penguasaan emas ke tangan masyarakat ini, bagi saya pribadi, adalah upaya pertahanan sekaligus persiapan menyongsong masa depan. Pertahanan untuk melindungi harta dan asset masyarakat. Persiapan masa depan untuk sebuah reformasi (mungkin juga revolusi, perubahan radikal) sistem moneter dunia dengan medium emas, juga perak. Seluruh negara dan masyarakat negara lain, secara terbuka maupun diam-diam melakukannya dengan penuh kesadaran. Sebagai negara dengan cadangan emas melimpah, mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Dengan jumlah cadangan emas yang memadai, ekonomi negeri kita punya sandaran hakiki, layak adu tanding dengan dengan negara-negara ekonomi kuat lainnya. Ini jadi modal yang cukup untuk menopang prediksi banyak riset yang menunjukkan Indonesia akan berada dalam posisi 10 besar ekonomi terkuat dunia pada 2020 dan 5 besar pada 2030.

19 Desember 2014

Mungkinkah Uang Kertas Punah? (1)

Oleh : endykurniawan

Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Tak di-mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya. Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.

Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing. Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.

Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun, hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.

Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, mantan bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.

Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.

Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London. Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.