Awalnya
adalah Herr Hebecker pemilik tambang batu bara yang nyaris bangkrut di
puncak Great Depression dunia tahun 1930-an, ketika dia tidak bisa
membayar buruhnya dengan Reich Marks – uang Jerman waktu itu – dia
memutuskan membayar buruhnya dengan produk perusahaan sendiri yaitu batu
bara.
Tentu
batu bara ini sangat merepotkan bila dibawa-bawa, maka dia mengganti
batu bara tersebut dengan kertas tempel yang disebut Wara. Di belakang
kertas ini diberi tempat untuk menempelkan semacam perangko – yang
merepresentasikan jumlah upah batu bara yang diterima oleh setiap
buruhnya.
Awalnya para buruh tentu keberatan diupah dengan Wara, namun karena bila mereka tidak menerima pembayaran dengan Wara perusahaan
akan bangkrut – mereka terpaksa menerimanya. Untuk apa Wara ini ? untuk
para buruh membayar kebutuhannya sehari-hari. Apakah toko-toko setempat
menerima Wara ini ?
Di
kota kecil kota tambang Schwanenkirchen – Jerman Selatan saat itu
ekonominya ya dari para buruh ini, bila toko-toko tidak menerima Wara –
buruh tidak bisa hidup dan tambang harus ditutup. Maka toko-toko-pun
akhirnya menerima Wara ini.
Lantas
bagaimana toko-toko menggunakan Wara untuk kulakan ?, sekali lagi bila
para grosir di kota besar tidak menerima Wara – dia akan kehilangan
jaringan retail langganannya di Schwanenkirchen. Maka para juragan
grosir ini-pun akhirnya menerima Wara. Hal yang sama kemudian dilakukan
para Grosir terhadap para produsennya, mereka harus menerima Wara –
karena kalau tidak mereka akan kehilangan sebagian pasarnya.
Lantas kemana lagi Wara
setelah diterima para produsen ?, mereka membutuhkan bahan bakar untuk
pabrik-pabriknya. Mereka tahu yang mengeluarkan Wara itu adalah sebuah
tambang batu bara, dan Wara sendiri mewakili sejumlah stok batu bara –
maka mereka tinggal klaim fisik batu baranya ke pengeluar Wara dan
produsen asal batu bara tersebut.
Tidak
sampai satu tahun, ekonomi berbasis uang fisik batu bara yang diwakili
oleh Wara ini berhasil menghidupkan tambang yang hampir bangkrut,
menghidupkan kembali ekonomi kota Schwanenkirchen dan bahkan menjadi
salah satu inspirasi kebangkitan ekonomi Jerman pasca the Great Depression.
Barter
dengan uang batu bara yang terwakili oleh Wara ini menjadi awal barter
modern. Bila barter kuno sebelum adanya uang mengandalkan dua orang yang
saling memiliki barang yang kebetulan saling dibutuhkan oleh orang yang
lain – coincidence of want, maka barter modern melibatkan sejumlah pihak yang secara bersama-sama saling memenuhi kebutuhannya.
Menurut International Reciprocal Trade Association
(IRTA) – yang mewadahi para pelaku barter dunia, saat ini tidak kurang
dari 400,000-an perusahaan terlibat dalam transaksi barter dengan
melibatkan turn-over yang lebih dari US$ 12 milyar per tahunnya.
Jadi
meskipun orang modern lebih suka menggunakan uang, transaksi barter
tetap eksis dan bahkan cenderung meningkat kembali oleh berbagai sebab.
Selain oleh sebab krisis seperti yang terjadi di Jerman dalam contoh
kasus tersebut, barter bisa menjadi peluang baru untuk menghidupkan
ekonomi lokal, memanfaatkan idle capacity, membuka pasar baru, meningkatkan cash flow, menurunkan ongkos produksi, meningkatkan profit margin, membuka lapangan kerja baru dlsb.
Dengan
ekonomi berbasis uang, ketika pemerintah membagikan dana BLT (Bantuan
Langsung Tunai) Rp 300,000 per keluarga misalnya. Berapa lama uang
tersebut memutar ekonomi desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi ?,
dugaan saya tidak sampai sebulan.
Segera
setelah masyarakat menerima uangnya, uang tersebut dibelanjakan ke toko
desa untuk membeli mie instan, minyak goreng, beras dan bahkan pulsa
dlsb. Hari berikutnya uang tersebut telah pindah ke grosir kecamatan,
minggu berikutnya sudah pindah ke grosir tingkat kabupaten, minggu
berikutnya lagi uang sudah pindah ke tingkat propinsi dan tidak sampai
sebulan uang sudah ketarik kembali ke para produsen yang rata-rata
berada di ibu kota.
Bayangkan
bila jumlah uang yang sama menjadi mesin produksi untuk barang-barang
yang dibarter di desa-desa. Sayuran, telur ayam kampung, singkong , ubi,
jagung, beras dlsb. produk dari masyarakat setempat saling
dipertukarkan dan saling mensupport satu sama lain – ekonomi desa akan
berputar dan barangkali bahkan bisa menghidupkan skala ekonomi yang
lebih luas seperti pada kasus Schwanenkirchen tersebut di atas !.
Barter
modern intinya adalah ekonomi tertutup yang berbasis komunitas yang
saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Manfaatnya akan dirasakan oleh
seluruh pelaku karena ada ikatan imaginer untuk saling membeli produk
barang atau jasa masing-masing.
Mereka
tetap bisa menjual ekses produksi keluar komunitas, tetapi produk yang
dikonsumsi oleh sesama anggota komunitas akan secara otomatis membentuk
harga discount. Dari mana harga discount ini ?, dari harga beli barang
yang satu dibeli dengan barang yang lain – harga barang masing-masing
adalah harga jual. Padahal harga jual tersebut sudah memasukkan unsur
margin keuntungan bagi masing-masing produsennya.
Jadi
para pelaku barter sebenarnya secara otomatis membeli barang dari
pelaku lain pada harga yang lebi rendah – yaitu lebih rendah sebesar gross margin-nya masing-masing.
Ambil
contoh ilustrasi di samping untuk lebih detilnya. Ketika perusahaan
hunian E membayar perusahaan konstruksi A pada harga jual E, perusahaan E
menikmati discount sebesar gross margin-nya sendiri sebesar 22.5 % karena sesungguhnya ongkos untuk menyediakan hunian E hanya sebesar harga jual dikurangi gross margin-nya.
Jadi A menerima bayaran berupa hunian E pada harga yang sama dengan
harga pasar (termasuk gross margin E), tetapi E sendiri hanya membayar
sebesar Cost of Good Sold-nya (COGS) .
Hal
yang sama dengan A ketika membeli jasa transportasi B, dia membayar
lebih rendah 15% dari yang dibayar orang lain di luar system barter.
Karena harga A membayar dengan penjualan jasa konstruksinya yang sudah
memasukkan unsur Gross Margin-nya yang 15%. Begitu seterusnya.
Karena
manfaat dan peluangnya yang luar biasa dari system Barter ini baik bagi
para pelaku maupun berputarnya ekonomi setempat, saat ini kami bekerja
keras untuk menyiapkan system, melakukan riset, pengembangan dlsb. agar
system ini segera available kembali di masyarakat – sebelum keburu great depression, krisis moneter, krisis financial dlsb. kembali berulang seperti yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Bila
orang seperti Albert Eintein-pun kagum dengan kecanggihan barter
seperti yang saya kutip di atas, itu karena barter ini ibarat batu
permata yang lama terkubur dan perlu diasah. Bila kita tekun dan
bener-bener bisa mengasahnya, maka peluang besar itu akan hadir kembali untuk kita – maupun masyarakat di sekitar kita di jaman ini.
Bila
Anda termasuk yang ingin menjadi orang-orang awal yang ikut menggosok
batu permata bernama barter ini, insyaAllah hasil riset dan litbang kami
di bidang ini akan kami share ke masyarakat yang membutuhkannya akhir Januari atau Februari 2013 dalam acara “Barter Modern : Berbagi Visi Dalam Membangun Kekuatan dan Ketahanan Ekonomi”. Vision Sharing ini juga akan ditindak lanjuti dengan workshop intensif untuk yang berminat membuka barter shop atau barter broker. Anda sudah bisa mendaftarkan diri untuk acara tersebut bila berminat. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini