Demokrasi
yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di
dunia berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak.
Pemerintah atau penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga
beresiko terhadap kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon
keinginan terbanyak ini.
Masalahnya
adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan
yang benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang.
Masyarakat kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek,
bukan solusi yang memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka
panjang.
Dalam
kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank
central dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak
uang lebih banyak lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang
menjadi perhatian publik – ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik
jangka panjang yang membuat jidat mengkerut !.
Teori
Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung
kebenarannya baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun
apa yang kita alami di negeri ini.
Di Amerika saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit
– batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas
hutang sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu
tersebut kini sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas
atas baru tidak berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya
dalam dua bulan ini.
Solusi
yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di
rakyatnya yaitu menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman
dapat dinaikkan maka kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa
berlanjut sebagaimana biasa - life as usual.
Tetapi
masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat
permanen jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik,
ibarat orang sakit hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati
penyakitnya. Buktinya mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu
penyakit yang sama diusahakan mati-matian diobati – sekarang sudah
kambuh lagi.
Logika sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.
Yang
pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam
jangka panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan
tetangga Anda – tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.
Hampir
pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di
masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan
ini tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam
jangka panjang - hanya tidak atau belum disadari saja.
Hutang
yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang
ada di masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah
inflasi yang menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen
legal untuk mengambil kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa
dilawan, mudah dan yang diambil hartanya tidak segera merasa kehilangan .
Contoh
kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita
menganut demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka
keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga
cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.
Ambil
misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk
menambah subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena
ini yang mudah, populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi
menambah subsidi ini kan bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya
mengurangi rasa sakit sesaat.
Upaya
penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa
pahit , tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang
inilah yang tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat
penyakit tersebut benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi
yang mendapat gilirannya untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.
Kasus
yang mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor
kebutuhan bahan pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih
terngiang di ingatan kita bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit
atas tingginya harga kedelai ? apa solusinya ? solusinya impor yang
lebih banyak.
Sesaat
kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa
solusinya ? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua
adalah obat penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.
Penyakitnya sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas. Berupa
apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami negeri ini tahun
2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir 52 tahun
lalu atau tepatnya tahun 1961.
Mengapa
defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih
serius dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum
kita rasakan – tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa
saja yang hidup di negeri defisit.
Karena
kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki
ibarat rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda
lebih besar dari pendapatan Anda ?, makin lama makin miskin dan hutang
akan semakin banyak.
Kalau
sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa
menyakitkan. Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor
misalnya, salah satu instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter
adalah dengan menurunkan nilai uang kita.
Dengan
cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik,
sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri
pengimpor.
Karena
strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh
negara lain di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya
untuk bisa memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka
masing-masing. Perlombaan menurunkan daya beli uang inilah yang sering
disebut currency war – perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.
Siapa korban perang dari currency war
ini ?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan mereka yang
tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun,
tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam
mata uang yang terlibat dalam currency war
secara langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah
korban korupsi kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian
membawa kepada keputusan yang inflatif.
Lantas
bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi
kolektif yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas ?.
Pertama
kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya
adalah dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun
Anda dlsb. Apakah nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku
– universal unit of account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.
Untuk mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs ini atau Kalkulator Point di www.indobarter.com .
Setelah ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang
kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset riil lainnya yang
terjaga nilainya.
Tahap berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Asets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.
Tidak
mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air
mata, pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar
penghilang rasa sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan
penyakit. InsyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari menjadi korban
masal dari wabah penyakit korupsi kolektif itu. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini