Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

08 April 2010

Peradaban Barat Yang Memiskinkan Kelas Menengah…

Kalau saja judul di atas murni dari pandangan seorang Muslim seperti saya, orang mungkin segera nge-cap saya sebagai anti barat. Tetapi kali ini pandangan tersebut bukanlah dari saya, judul tulisan ini saya ambilkan dari karya columnist handal di The Market Oracle , Andrew G Marshall dengan judul aslinya “Western Civilization and the economic Crisis, The Impoverishment of the Middle Class.”

Awalnya, menurut Andrew – peradaban barat nampak bekerja dengan baik. Di awali dengan revolusi industri abad 18 dan 19, tumbuhlah kelas menengah yang semakin banyak jumlahnya dan semakin makmur. Namun peradaban barat ini, ternyata tidak akan berusia lama. Beberapa puluh tahun terakhir, yang namanya kelas menengahnya hanya berusaha bertahan melalui pemupukan hutang.

Diawali dengan tahun 1958 yang merupakan awal kemunculan credit card modern oleh Bank of America yang kemudian berevolusi menjadi Visa, kemudian disusul oleh Master Card tahun 1966 – maka dekade-dekade berikutnya terjadilah pertumbuhan eksponensial dari credit card ini.

Sejak di Amerika dicabut batasan tingkat bunga yang bisa dikenakan pada para pemegang credit card tahun 1979, kombinasi dari deregulasi ini dan kemajuan teknologi membuat penyebar luasan credit card di masyarakat menjadi tidak terbendung lagi.

Tidak perduli lagi apakah pemegang kartu tersebut benar-benar membutuhkannya; tidak juga terlalu perlu apakah dia mampu membayarnya ; yang penting member mereka terus bertambah dan bertambah pula pendapatan mereka. Tidak hanya dari pembayaran bunga, issuer credit card juga memperoleh tambahan penghasilan dari late payment fees dlsb-dlsb sehingga pendapatan mereka juga menggelembung.

Budaya credit card, juga telah mendorong perilaku ngutang bahkan untuk barang-barang yang tidak terlalu penting sekalipun , seperti membeli TV, membayar liburan dlsb.dlsb.

Walhasil, budaya ini telah menjebak masyarakat menengah dalam jebakan hutang yang melilit dari tahun ketahun. Bila pada tahun 2001, masyarakat Amerika ‘baru’ berhutang 96% dari disposable income-nya ; lima tahun kemudian persentase ini telah naik menjadi 129%. Bukan hanya di Amerika, pada tahun tersebut masyarakat Inggris telah berhutang Pounsterling 1.3 trilyun.

Kini lima tahun setelah signal ketidak beresan budaya ngutang tersebut mulai terdeteksi (2006), bank-bank central dunia berada dalam situasi yang sangat dilematis. Mereka hanya bisa mengerem arus ‘peminjam’ ini bila suku bunga dinaikkan. Namun bila suku bunga dinaikkan – akan semakin banyak yang tidak bisa membayar. Ini terbukti bahwa pada tahun 2009, hanya 10% penurunan outstanding balance dari credit card di AS yang berasal dari pembayaran credit card balance-nya. Yang terjadi adalah masyarakat yang gali lubang tutup lubang, membuka credit card baru untuk menutup yang lama.

Masalah ini mungkin bisa diatasi bila pemerintah berhasil meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan penghasilan rakyatnya – sehingga mereka mampu membayar hutang. Namun kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya; karena pemerintah sibuk menalangi bank-bank dan lembaga keuangan yang gagal sampai trilyunan Dollars – juga karena kegagalan peminjam yang lain !, pemerintah terpaksa mengamankan kebijakan fiskalnya dengan memotong anggaran – yang berarti bukan mengurangi pengangguran tetapi malah menambah pengangguran.

Akibat dari lingkaran setan proses pemiskinan melalui gaya hidup ngutang ini, menurut Andrew tersebut diatas “Masyarakat kelas menengah di dunia barat, bertahan hidup (surviving) hanya dengan berhutang, mereka akan menjadi korban Class Default. Masyarakat kelas atas akan semakin konsumtif, sedangkan masyarakat kelas menengah akan tenggelam ke kelas dibawahnya atau kelas pekerja”.

Well, apakah budaya kita mirip dengan budaya yang digambarkan oleh Andrew tersebut ?; kalau iya – ini mungkin waktu terbaik kita untuk keluar dari system ribawi ke system perdagangan tanpa riba. Keluar dari gaya hidup ngutang, ke gaya hidup produktif. Keluar dari gaya hidup konsumtif ke gaya hidup infaq dan sedeqah.

Insyallah kita tidak akan ikut terjerembab, bila kita tidak mengikuti mereka. Wa Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.