Mata uang kertas itu berjalan seperti trip-meter yang ada di kendaraan Anda untuk mengukur jarak tempuh perjalanan yang telah Anda lalui. Dari waktu ke waktu Anda perlu me-reset trip-meter tersebut ketika Anda sampai tujuan Anda, atau trip-meter tersebut secara otomatis me-reset dirinya sendiri ketika jatah digit angka yang ada sudah mentok.
Redenominasi adalah me-reset
ulang angka di ‘tripmeter’ uang kertas kita ketika ekonomi dalam
kondisi relatif normal seperti sekarang ini. Lain dengan sanering
seperti yang terjadi di negeri ini tahun 1965/1966, yaitu ketika ‘tripmeter’ tersebut mentok di angka maksimal oleh inflasi yang sangat tinggi – sehingga mau nggak mau harus di-reset ke angka awal, kalau tidak dilakukan saat itu Rupiah tidak akan bernilai apa-apa dan tidak dipercayai masyarakat.
Meskipun
redenominasi dan sanering berbeda, keduanya memiliki sebab yang sama
yaitu inflasi. Redenominsai timbul karena inflasi yang gradual,
sedangkan sanering terpaksa dilakukan karena inflasi yang sangat tinggi.
Uang kertas bisa turun drastis nilainya dalam
waktu cepat sehingga perlu sanering, atau secara perlahan tetapi pasti
terus menurun daya belinya sedikit demi sedikit – lama kelamaan angka di
uang kita menjadi terlalu besar, saat itulah redenominasi perlu di
lakukan.
Bila tahun 1970 Anda bisa membeli kambing dengan harga Rp 2,000,- ; kini (2012) Anda harus membayar kambing yang sama dengan
Rp 2,000,000,- maka memang ada yang salah dengan angka uang kita. Wajar
kalau pemerintah waktunya menghilangkan tiga angka nol dari uang Rupiah
kita.
Bila
hal itu dilakukan sekarang, maka daya beli Rupiah kita akan kembali
mirip dengan Rupiah tahun 1970 yaitu Rp 2,000,- untuk satu ekor kambing
dan bukan lagi Rp 2,000,000,-. Bila redenominasi itu dilakukan sekarang,
maka jarak tempuh Rupiah kita yang tercatat di ‘trip-meter’ adalah 42
tahun.
Dari
sini kita tahu bahwa usia uang modern seperti Rupiah ternyata tidak
sampai setengah abad. Dan bukan hanya Rupiah, Dollar-pun yang ada
sekarang usianya baru 41 tahun – yaitu dihitung dari Agustus 1971 ketika
Dollar dilepaskan kaitannya dengan emas. Saya juga tidak yakin apakah
Dollar yang ada sekarang akan bisa melampaui ulang tahun emasnya pada
tahun 2021, lha wong sekarang saja sudah mulai dihancurkan melalui serangkaian Quantitative Easing.
Bahwa tidak ada pemerintah di dunia modern yang
bisa mempertahankan daya beli mata uangnya dalam jangka panjang, ini
sudah diprediksi oleh pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1974 yaitu
Friedrich August Von Hayek. Intinya dia menyatakan bahwa tidak ada
penguasa di dunia yang bisa menunjukkan disiplin yang diperlukan dalam
pengeluaran uang kertas. Menurutnya pula, uang yang baik yang terus bisa
dipercaya oleh masyarakat justru bukan uang pemerintah tetapi uang
swasta.
Sejalan dengan pendapat Von Hayek ini adalah pendapat ‘dewa’-nya ekonom futurolog barat John Naisbitt yang menyatakan dalam bukunya Mind Set ! (2008) : “Monopoli
terakhir yang akan ditinggalkan umat manusia adalah monopoli uang
nasional (sekarang uang fiat). Umat manusia akan meninggalkan uang
nasionalnya – uang fiat yang tidak memiliki nilai intrinsik – dan
menggantinya dengan uang private yaitu benda-benda riil yang memiliki
nilai intrinsik”.
Saya
sendiri tidak sepenuhnya sependapat dengan Von Hayek maupun John
Naisbitt atas uang swasta yang lebih unggul dari uang pemerintah. Uang
khususnya dalam arti alat tukar sebaiknya tetap harus penguasa yang
menerbitkannya. Hanya saja penguasa ini harus pandai menjaga amanahnya
sehingga seperti yang diingatkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa “hendaklah
mereka tidak mencetak fulus (uang kertas kini) yang melebihi kebutuhan
transaksi di negerai kekuasaannya, karena bila mereka mencetak berlebih
maka rakyat yang sudah memegang fulus tersebut yang akan dirugikan (oleh
inflasi)”.
Lantas
bagaimana kalau situasi ideal tidak tercapai ?, penguasa yang mencetak
uang tidak bisa mengendalikan jumlah uang yang dicetaknya dan inflasi
menggerus daya beli uang yang ada di masyarakat ?.
Masyarakat dapat berpegang pada panduan ulama-ulama terdahulu. Salah satunya adalah Imam Ghazali yang menyatakan bahwa : “Allah
Yang Maha Besar telah menciptakan perak (Dirham) dan emas (Dinar)
sebagai hakim dan perantara bagi seluruh komoditi sehingga harta
kekayaan manusia bisa dinilai dengannya…perak dan emas adalah seperti
cermin yang dirinya sendiri tidak memiliki warna, tetapi dia bisa
menampilkan semua warna dari benda-benda yang ada”.
Jadi
ketika redenominasi harus dilakukan oleh pemerintah, agar kita tidak
ter-disorientasi terhadap nilai uang yang baru – yang kita butuhkan
adalah hakim yang adil atau cermin itu. Untuk barang yang berilai besar
sudah kita perkenalkan Dinar lima tahun terakhir – masyarakat bisa tahu
bahwa harga kambing tetap dalam kisaran satu Dinar, berapapun nilai
Rupiahnya !.
Untuk barang-barang yang bernilai kecil seperti sayur mayur, makan siang, beras 1 kg dlsb, sudah sejak beberapa hari lalu saya memperkenalkan universal unit of account yang saya sebut point – yaitu pecahan 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar (dibaca satu sen sen Dinar). Nilai 1 point atau 1 ¢¢ ini dapat diikuti setiap saat di www.indobarter.com.
Dengan
hakim yang adil atau cermin tersebut di atas, insyaAllah kita akan siap
menyongsong redenominasi – kapan saja penguasa negeri ini melakukannya
!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini