Masalah
besar pertama adalah ketimpangan antar negara-negara di dunia. Negara
yang kaya akan sumber daya alam, bisa jatuh miskin melalui uang kertas.
Dia harus menukar hasil dari alamnya dengan uang kertas yang nilainya
tergantung pada negara yang menerbitkan uang tersebut.
Uang kertas negeri lain yang terus disusutkan nilainya ini kemudian ditukar dengan produk-produk yang juga dari negara yang
mencetak uang tersebut. Maka melalui uang inilah negara yang kaya
sumber daya alam sekalipun rakyatnya bisa menjadi miskin dan tergantung
pada negara lain.
Masalah
besar kedua adalah uang menjadi sumber pemiskinan kaum pekerja. Mereka
bekerja keras berpuluh tahun, tetapi hasil jerih payahnya yang tersimpan
dalam bentuk dana pensiun, asuransi, tunjangan hari tua dlsb. terus
tergerus oleh inflasi. Ini yang membuat sekitar 9/10 pekerja tidak siap
menyongsong pensiunnya – karena bekal financial mereka rata-rata tidak
cukup.
Tergantung
pada tingkat ketergantungan pada (uang) negara lain dan seberapa cepat
uang meluruh nilainya melalui proses inflasi, dua hal ini saja sudah
cukup untuk menimbulkan masalah yang lebih besar dari masalah yang
berhasil diselesaikan oleh uang itu pada era ekonomi barter yang
digantikannya.
Lantas
apakah solusinya kita perlu melompat balik ke ekonomi barter ?, belum
tentu juga demikian !. Ekonomi berbasis barter hanya akan bisa feasible bila dia bisa mengatasi 5 masalah yang selama tiga millennium terakhir bisa diatasi dengan uang.
Oleh
karenanya ekonomi berbasis uang tetap menjadi solusi terutama bila uang
itu bisa mengatasi dua masalah yang ditimbulkan tersebut di atas –
yaitu ketimpangan antar negara dan inflasi. Namun karena realitanya
selama setengah abad terakhir tidak ada tanda-tanda dua masalah besar
tersebut bisa diatasi para pemimpin negara-negara di dunia, maka ekonomi
berbasis barter bisa menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan.
Karena
barter modern akan bersaing dengan ekonomi yang berbasis uang, maka
barter modern-pun harus bisa mengatasi 5 masalah yang selama ini
berhasil diatasi oleh ekonomi yang berbasis uang. Lima masalah tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Coincidence of wants (keinginan yang kebetulan sama): masyarakat yang akan berbater harus saling membutuhkan barang yang dimiliki oleh pihak lain.
2. Units of account
(satuan nilai) : dua barang yang berbeda harus bisa dinilai secara adil
oleh ‘timbangan nilai’ yang disepakati oleh kedua belah pihak. Ketika
kambing mau ditukar dengan beras, apa satuannya ?
3. Sum / Sub – Division
(penjumlahan dan pembagian) : Kemudahan barang-barang untuk dijumlahkan
atau dibagi. Ketika kambing mau ditukar dengan beras dan ayam,
bagaimana menjumlahkan beras dan ayam dan bagaimana membagi bagian
kambing yang sesuai untuk beras dan ayam ?
4. Balance of Payment
(kelebihan/kekurangan pembayaran) : Bagaimana menghitung kekurangan
atau kelebihan bayar satu benda dengan benda lainnya. Ketika beras dan
ayam tidak cukup ditukar dengan kambing, atau kambing berlebih untuk
ditukar beras dan ayam – bagaimana kelebihan atau kekurangan ini
ditangani ?
5. Store of value
(penyimpan nilai) : Bagaimana menyimpan hasil barter, pemilik kambing
yang menukarnya dengan beras dan ayam – yang keduanya tidak segera
dikonsumsi – akan memiliki masalah baru yaitu bagaimana menangani ayam
dan berasnya tersebut. Masalah menjadi lebih besar ketika hasil barter
berupa barang yang mudah rusak (sayur mayur dlsb) atau barang yang
memerlukan perawatan khusus (kambing dan sejenisnya).
Bagaimana mengatasi masalah-masalah ini di
jaman modern ? selain teknologi informasi yang telah berkembang sangat
jauh dewasa ini yang bisa menjadi solusi atas problem pertama – coincidence of wants, empat masalah lain bisa diatasi dengan dua solusi yaitu ‘timbangan yang adil’ dan pasar.
Solusi pertama yaitu timbangan yang adil dapat dikembangkan dari ungkapan Imam Ghazali bahwa : “Allah
Yang Maha Besar telah menciptakan perak dan emas sebagai hakim dan
perantara bagi seluruh komoditi sehingga harta kekayaan manusia bisa
dinilai dengannya…perak dan emas adalah seperti cermin yang dirinya
sendiri tidak memiliki warna, tetapi dia bisa menampilkan semua warna
dari benda-benda yang ada”.
Timbangan yang adil atau bahasa ekonominya disebut unit of account bersama store of value
adalah dua dari tiga sifat uang yang biasanya tidak diatur secara
khusus di system hukum positif. Hukum positif hanya mengatur sifat yang
ketiga dari uang yaitu medium of exchange atau alat tukar.
Jadi
kalau Anda mengukur kekayaan Anda adalah setara 20 ekor kambing dan
benar-benar Anda pelihara 10 ekor kambing, maka tidak ada hukum yang
melarang Anda melakukannya demikian. Tetapi bila Anda berhutang sebesar
Rp 2.5 juta, dan Anda memaksa bayar dengan seekor kambing besar – yang
nilainya Rp 2.5 juta, maka Anda bisa dianggap melanggar hukum positif
karena yang diakui sebagai alat bayar (legal tender) hanyalah uang
kertas negeri yang bersangkutan.
Dengan timbangan yang adil berbasis emas seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghazali tersebut, kita bisa menghadirkan unit of account yang berlaku dimana saja dan kapan saja - karena universalitas dari emas yang memang bisa diterima dimana saja dan tidak mengenal expired atau kedaluwarsa. Karena sifatnya yang demikian maka unit of account yang berbasis emas saya sebut universal unit of account.
Dengan universal unit of account atau yang di http://www.indobarter.com
saya sebut point, tiga dari lima masalah di system barter tersebut di
atas sudah bisa diatasi. Masalah unit of account teratasi penuh,
demikian pula dengan sebagian masalah di sum/sub-division, balance of payment dan sebagian masalah di store of value.
Solusi kedua yaitu pasar dapat mengatasi sebagian masalah yang tidak cukup diatasi dengan universal unit of account. Pasar barter yang bisa dikembangkan dengan multileg barter – barter dengan jumlah kaki (pihak) yang jamak bisa merangkai sejumlah pihak sekaligus untuk saling memenuhi atau mendekati coincident of wants-nya secara bersama-sama.
Dengan adanya pasar yang didukung system informasi yang canggih balance of payment dapat ditemukan pihak yang bisa mengisi/mengambilnya, dan bahkan masalah store of value
akan dapat diisi oleh pihak-pihak yang memang bisa/sanggup menangani
barang-barang yang mudah rusak nilainya atau barang yang menimbulkan
biaya ekstra untuk menyimpannya.
Namun
dengan tingkat kemudahan transaksi dengan uang yang lebih tinggi –
meskipun ada dua kelemahan mendasar dari uang kertas yang saya sebutkan
di awal tulisan di atas – harus diakui bahwa ekonomi dunia masih akan
didominasi oleh ekonomi yang berbasis mata uang. Tetapi
transaksi perdagangan barter juga bukan berarti kecil, dua tahun lalu
saja transaksi barter di dunia sudah mencapai US$ 3.7 trilyun.
Walhasil
sebenarnya masyarakat modern ini masih bisa memiliki dua pilihan.
Pilihan pertama berekonomi dengan basis uang seperti yang terjadi selama
ini, mudah karena sudah terbiasa tetapi beresiko inflasi dan adanya
ketimpangan antar negara yang satu dengan yang lain. Pilihan kedua
adalah mencoba system barter, sedikit repot awalnya karena harus
membiasakan diri – tetapi lebih aman dari inflasi dan kemakmuran lebih
terjaga.
Barangkali
karena alasan yang kedua inilah masyarakat di Nusa Tenggara Timur
hingga kini masih terus mempraktekkan system barter mereka yang disebut Du-Hope. Sebuah disertasi Doktor di Universitas Indonesia bahkan berhasil membuktikan bahwa system barter yang diterapkan oleh masyarakat NTT
tersebut mampu menjadi jaring pengaman sosial yang efektif – ketika
uang tidak ada, orang masih bisa hidup dengan barter menggunakan
barang-barang yang ada. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini