Bagi
para buruh upah sebesar Rp 2,200,000 di DKI Jakarta (sekitar 1 Dinar) per bulan wajar
dianggap belum mencukupi untuk hidup di kota besar seperti Jakarta yang
segalanya serba mahal.
Bagi
para pengusaha tentu juga sangat berat bila dalam komponen biayanya ada
yang melonjak sampai 44 % - karena akan sangat sulit mengimbanginya
dengan pertumbuhan usaha mereka.
Walhasil
bagi para pengusaha yang bener-bener tidak mampu mengimbangi kenaikan
biaya ini dengan pertumbuhan usaha yang memadai, keduanya akan
dirugikan. Si pengusaha akan merugi dan akhirnya menutup usaha dan si
buruh akhirnya kehilangan lapangan pekerjaan.
Lantas
apa solusinya ? disitulah perlunya timbangan yang adil dalam muamalah.
Timbangan yang adil akan baik bagi kedua belah pihak, sebaliknya
timbangan yang tidak adil akan merugikan keduanya. Dengan timbangan yang
adil orang akan bisa menimbang (melihat) segala sesuatu dengan yang
sesungguhnya – bukan dengan yang semu.
Kebutuhan
buruh adalah upah yang layak, cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Ketika pertumbuhan upah mereka dari waktu ke waktu kalah dengan inflasi,
maka tentu kwalitas kehidupan mereka menurun terus – meskpikun angka
pendapatannya naik. Dengan timbangan uang kertas, kemampuan memenuhi
kebutuhan ini bias – upah sudah naik kok belum juga cukup ?
Kebutuhan
pengusaha adalah pertumbuhan asset, bila pertumbuhan asset mereka lebih
rendah dari pertumbuhan inflasi maka nilai usaha mereka menyusut dari
waktu ke waktu. Bila pertumbuhan biaya melebihi pertumbuhan pendapatan –
maka akan lebih cepat lagi menyusutnya usaha itu. Dengan timbangan yang
semu, pengusaha tidak bisa secara riil mengetahui apakah assetnya
sungguh-sungguh bertambah atau hanya angkanya saja yang naik mengiringi
inflasi.
Dengan
timbangan yang adil, maka keduanya dapat melihat secara objektif,
apakah kebutuhan buruh semakin terpenuhi dan apakah asset perusahaan
dapat bener-bener mengalami pertumbuhan.
Saya gunakan tiga grafik dibawah untuk menjelaskan hal ini agar dapat lebih mudah dipahami secara visual.
Sejak
tahun 2000 sampai sekarang, harga beras rata-rata dalam Rupiah telah
mengalami kenaikan 222% dari Rp 2,624 (2000) ke Rp 8,459 (2012) – atau
mengalami kenaikan sekitar 10% per tahun.
UMP
DKI pada periode yang sama mengalami kenaikan 344% dari Rp 344,257
(2000) ke angka Rp 1,529,150 (2012) atau mengalami kenaikan rata-rata sekitar 13 % per tahun.
Apakah selama ini berarti buruh mengalami peningkatan pendapatan riil dan meningkat kemakmurannya ? Alahamdulillah mestinya membaik. Ini bisa dilihat di grafik berikutnya di bawah.
Tidak
sehebat angkanya dalam Rupiah, tetapi bila dikonversikan ke beras,
memang lebih baik. UMP tahun 2000 setara 131 kg beras, kini setara 181
kg beras.
Penghasilan riil naik, cukup untuk membeli beras tetapi belum berarti makmur bila kita gunakan standar tolok ukur yang baku yaitu nisab zakat. Dengan timbangan emas yang kemudian saya konversikan menjadi universal unit of account (poin) yang nilainya setara 1 ¢¢ Dinar (1/10,000 Dinar), UMP buruh DKI ternyata malah turun dari 10,690 poin (2000) ke angka 7,017 poin (2012).
Untuk
bisa dikatakan makmur, UMP perlu didongkrak bersama oleh pemerintah,
pengusaha dan para buruh sendiri sehingga mencapai angka di atas 16,667
poin per bulan atau setara 20 Dinar per tahun. Bila dirupiahkan sekarang
sekitar Rp 3.8 juta per bulan.
Apakah pengusaha akan mampu memakmurkan karyawannya sampai angka tersebut ? lha wong angka Rp 2.2 juta saja untuk tahun 2013 mereka sangat keberatan ?.
Itulah
perlunya timbangan yang adil itu. Pengusaha dan buruh duduk bareng,
menimbang bareng kemampuan perusahaan tumbuh dan kemampuan membayar ke
buruh yang sesuai. Kemudian disepakati bareng, ayo kerja keras bareng -
untuk mencapai benchmark kemakmuran yang dicita-citakan bersama.
Kalau
dahulu ada ungkapan ‘katakanlah dengan bunga’ , maka sekarang saya
ganti dengan ‘katakanlah dengan poin’ – agar kita bisa ‘menimbang’
secara adil, agar buruh dan pengusaha punya benchmark yang sama ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini