Tetapi
mengapa pemilik ‘satu toko di pojok Malioboro’ tersebut berhasil
memakmurkan warganya dengan tingkat GDP per capita sekitar US$ 46,000
per tahun, pemilik sisi kanan ‘Malioboro’ memiliki GDP per capita US$
9,600 per tahun – sedangkan pemilik sisi jalan yang paling panjang di
bagian kiri ‘Malioboro’ baru memiliki GDP per capita di kisaran US$
3,250 per tahun ?
Jawabannya
kemungkinan besar ya karena kita belum pandai berdagang. Kita memiliki
lokasi yang paling strategis di dunia perdagangan – dilalui 50 % kapal
dunia – tetapi kita belum berhasil memanfaatkannya. Kita memiliki hampir
seluruh bahan baku untuk komoditi perdagangan dunia, mulai dari hasil
hutan, hasil tambang, energy, hasil laut, hasil bumi – tetapi kendali
perdagangannya nampaknya belum ada di tangan kita.
Lebih
dari itu, bila di Selat Malaka kita harus berbagi dengan dua tetangga –
kita masih punya dua selat lain yang juga sangat strategis untuk
perdagangan dunia. Bila sesuatu terjadi di Selat Malaka, orang akan
berpaling ke dua selat ini – yaitu Selat Sunda dan Selat Lombok.
Perhatikan ilustrasi dibawah untuk memahami betapa strategisnya tiga
selat yang kita miliki itu.
Di dunia perdagangan dikenal 3 hal terpenting yaitu no 1 Lokasi, no 2 Lokasi dan
no 3 Lokasi. Hal-hal lain menyusul di no 4 dan seterusnya. Keunggulan
lokasi itu kita miliki, tetapi kita belum unggul dalam perdagangan – apa
yang salah ?
Kita
belum mengolah lokasi itu menjadi tempat yang layak disinggahi. Berapa
puluh pemerintah daerah yang memiliki lokasi paling strategis –
wilayahnya bersinggungan dengan salah satu dari tiga selat tersebut –
tetapi apakah mereka membuat ‘toko’ berupa pelabuhan yang layak
disinggahi kapal-kapal dagang internasional ?, yang ‘pelayannya’ ramah
dengan segala perijinan yang mudah dan ‘tokonya’ komplet – a lot to offer ?
Jadi
kita memiliki tiga ‘Jalan Malioboro’ tetapi kita belum pandai
berdagang, tidak heran aktivitas ‘orang berlalu lalang’ berupa transaksi
ekonomi belum banyak yang singgah ke toko-toko kita. Sementara itu
tetangga kita yang memiliki satu toko di pojok jalan saja, dia
mengolahnya dengan segenap kekuatannya sehingga selalu dikunjungi
kerumunan banyak orang – orang tidak perlu menyusuri sepanjang ‘Jalan
Malioboro’ bila datang ke satu toko saja di pojok jalannya mereka sudah
terpenuhi kebutuhannya.
Lantas dari mana kita akan mulai membenahi diri, membangun kembali kemampuan perdagangan ini ?.
Sampai
pertengahan abad 18, satu abad lebih setelah belanda menjajah Nusantara
– waktu itu Belanda ingin mulai mencetak uang mereka sendiri, tetapi
apa yang mereka cetak ? mereka belum berani mencetak uang Gulden
negerinya – yang mereka cetak adalah uangnya umat Islam dan namanya pun
berbahasa Arab yaitu Derham Min Kompeni Welandawi – Dirham dari Kompeni Belanda.
Ini
menunjukkan bahwa kekuatan perdagangan saat itu ada di tangan umat ini,
uangnya Dirham dan bahasanya Arab. Bahkan lebih dari seribu tahun
sebelum Belanda mencetak Dirham ini kekuatan
perdagangan internasional khalifahan Islam sudah menguasai tiga benua –
lengkap dengan system pembayarannya yang canggih – bahkan untuk ukuran
jaman ini sekalipun !.
Jadi
untuk kembali menguasai perdagangan global, sesungguhnya ini bukan hal
baru bagi kita – kita tinggal mencontoh, apa yang dahulu dilakukan umat
ini di masa-masa kejayaannya. Kita tidak perlu reinvent the wheel – memulai segala sesuatunya dari awal, kita tinggal meneruskan saja dari titik akhir pencapaian mereka.
Untuk
bisa melanjutkan, kita harus tahu dahulu sampai dimana pencapaian
mereka dahulu. Untuk bisa tahu sampai dimana pencapaian mereka ini, kita
perlu belajar dari sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini