Uang
memang merupakan temuan yang luar biasa dari peradaban manusia selama
lebih dari 3,000 tahun terakhir ini. Uang memudahkan manusia untuk
saling mempertukarkan kebutuhannya, itulah sebabnya uang juga disebut
alat tukar atau medium of exchange.
Hanya
saja perkembangan mata uang dunia seabad terakhir bukannya tanpa
masalah. Uang bisa menjadi alat eksploitasi satu bangsa terhadap bangsa
yang lain, uang menjadi instrumen untuk mengeruk kekayaan negara lain,
uang bisa memiskinkan para pemiliknya.
Bila
suatau negara yang kaya akan sumber alamnya, kemudian sumber alam
tersebut dikeruk dan ditukar dengan uang kertas menjadi cadangan devisa -
yang menyusut terus daya belinya sebelum digunakan – maka disitulah
proses eksploitasi melalui mata uang satu negara terhadap negara lain
terjadi.
Dalam
skala individu di masyarakat hal yang sama juga terjadi. Para pekerja
mengumpulkan hasil jerih payahnya bekerja keras berpuluh tahun, sebagian
hasilnya dikonsumsi dan sebagian lainnya dipakai untuk kebutuhan masa
depan. Untuk kebutuhan hari tua, untuk biaya kesehatan, untuk sekolah
anak dlsb.
Hanya
saja hasil jerih payah yang tidak segera digunakan tersebut dari waktu
ke waktu juga terus menyusut nilainya oleh apa yang disebut inflasi.
Inflasi menggerogoti hasil kerja masyarakat – seperti membawa air dalam
ember bocor, habis airnya ketika sampai tujuan (pensiun).
Lantas
apakah ada solusi agar negera yang kaya tidak dieksplotasi negara lain
dengan uangnya ? atau hasil jerih payah pekerja yang tidak segera
digunakan tidak bocor di tengah jalan ?. InsyaAllah ada, yaitu menyimpan asset tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang.
Negara
tidak menjual hasil sumber daya alamnya untuk ditukar dengan mata uang
kertas, tetapi boleh ditukar dengan komoditi lain yang diutuhkan yang
tidak bisa diproduksi sendiri.
Masyarakat
pekerja menyimpan tabungannya tidak juga harus dalam bentuk mata uang
kertas, tetapi dalam bentuk asset-asset yang terjaga nilainya – yang
akan dia butuhkannya di kemudian hari.
Lantas
bagaimana kalau dibutuhkan likwiditas atau uang untuk kebutuhan lainnya
? Bisa dijual saat dibutuhkannya, atau ditukar langsung dengan barang
yang dibutuhkan – tanpa melalui medium of exchange berupa uang, sehingga tidak ada yang bocor oleh inflasi.
Pertukaran
barang dengan barang atau dengan jasa atau yang disebut barter, sudah
dilakukan sejak manusia pra sejarah mengenal jual beli. Dengan bantuan
teknologi kini, segala persoalan yang terkait dengan barter lebih mudah
diselesaikan.
Kendala utama barter yang disebut coincidence of wants
– kebutuhan yang secara kebetulan saling sesuai, bisa dipertemukan
dengan mudah melalui teknologi informasi yang tidak ada di era barter
dulu.
Kendala utama berikutnya adalah terkait
system penilaian atas barang-barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Berapa kilogram beras untuk dapat ditukar dengan seekor kambing, berapa
liter susu untuk upah tenaga kerja sehari dst –problem-problem semacam
ini lagi-lagi mudah dipecahkan di jaman ini.
Bila
ulama dahulu seperti Imam Ghazali mengingatkan hanya emas dan peraklah
timbangan atau hakim yang adil, penentu harga barang-barang kebutuhan
manusia, maka neraca itu di era teknologi sekarang ini mudah untuk
dimunculkan kembali.
Lho
emas kan nilainya tinggi ? apa praktis untuk mengukur upah tenaga kerja
sehari ?, harga sayur mayur di pasar dlsb ?. Tidak masalah pula, di era
digital ini emas bisa dipecah menjadi satuan yang sangat kecil untuk
dapat menimbang secara akurat harga barang atau jasa yang bernilai kecil
sekalipun.
Untuk
infrastruktur system barter yang saat ini kami persiapkan – timbangan
yang adil berbasis emas itu telah kami pecah menjadi sangat kecil dengan
apa yang kami sebut Point.
Satu Point setara dengan 1 ¢¢ Dinar atau 1/10,000 Dinar atau 0.000425
gram. Berapa nilai 1 point atau 1 ¢¢ Dinar ini sekarang ?, Pagi ini
nilainya setara dengan Rp 227,- atau $ 2.37 ¢ atau ¥ 1.95 atau Riyal
8.88 ¢ dst. Konversi ini berubah setiap 6 jam dan dapat dilihat
update-nya di www.indobarter.com.
Mengapa repot-repot menciptakan satuan nilai baru ?, pertama satuan nilai atau units of account
memang dibutuhkan agar barter menjadi mudah. Kedua satuan nilai Rupiah,
Dollar dan mata uang kertas lainnya nilainya tergerus inflasi. Dan
ketiga sama sekali tidak repot, justru satuan niai yang saya sebut Point
ini karena berbasis emas – nilai daya belinya berlaku universal – di
negara manapun kurang lebih sama.
Misalnya Anda akan membayar dam
untuk seekor kambing pada saat melaksanakan ibadah haji, berapa
harganya yang pantas dalam Riyal ? berapa kalau di-Rupiahkan ?. Atau
Anda membeli satu kg daging steak untuk masak di apartment Anda di
Singapore, berapa harga yang pantas untuk ini dengan Sing Dollar ?
berapa kalau di-Rupiahkan ?. Tidak mudah bukan ?
Kita
menjadi mudah mengalami disorientasi nilai bila melakukan perjalanan
dari satu negara ke negara lain karena bergantinya mata uang. Dengan
system Point berbasis emas yang saya perkenalkan di situs tersebut,
disorientasi ini tidak perlu terjadi.
Seekor
kambing yang seharga 10,000 Point di Indonesia, harusnya juga tidak
jauh dari angka ini di Arab Saudi. Satu kilogram daging yang seharga 330
Point di Indonesia, mestinya juga tidak jauh dari angka ini di
Singapore.
Satu
kg beras standar nilainya sekitar 33 Point, perlu sekitar 300 kg beras
untuk dapat ditukar dengan kambing. UMR di Jakarta sekitar 9,690 Point –
belum cukup untuk membeli satu ekor kambing yang baik.
Idealnya
UMR negeri yang makmur adalah sekitar 16,700 Point per bulan – agar
para pekerja tersebut berpenghasilan melampaui nishab zakat yang 20
Dinar per tahun atau 200,000 Point.
Makan
siang di kantor berada di kisaran 50 – 80 Point. Satu kg singkong di
kisaran 3 – 5 Point. Satu liter susu sapi 20 Point, tetapi satu liter
susu kambing 180 Point dst.
Masyarakat
yang terbiasa dengan satuan nilai baku yang tidak bias oleh inflasi dan
nilai tukar antar mata uang negara-negara di dunia, akan lebih mudah
memahami kewajaran harga-harga, kelayakan upah tenaga kerja dlsb di
manapun di dunia.
Kelak kalau sudah terbiasa, bahkan nilai Point Exchange Rates
yang saya perkenalkan di indobarter tersebut menjadi tidak lagi terlalu
dibutuhkan – saat itu masyarakat sudah akan hafal diluar kepala harga
kambing yang baik 10,000 Point, beras sedang 33 Point dst.
Saat itu tidak lagi relevan apakah Amerika akan terus men-devaluasi nilai mata uangnya dengan infinity quantitative easing-nya,
atau negeri ini mengimplementasikan rencana redenominasi mata uangnya –
yang seharusnya sudah dilakukan sekian tahun lalu dlsb.
Namun
satu hal perlu diingatkan di dunia barter dengan timbangan yang paling
adil sekalipun, yaitu harga barang-barang bisa naik dan bisa turun.
Harga kambing bisa bergerak naik atau turun dari 10,000 Point, harga
beras bisa naik atau turun dari 33 Point dst.
Bedanya adalah fluktuasi harga di era mata uang adalah didorong oleh dua hal yaitu supply and demand dan penurunan daya beli mata uang (inflasi). Supply and demand mendorong
harga barang berosilasi di sekitar sumbu yang stabil, sumbu inilah yang
nilainya 10,000 Point untuk kambing dan 33 Point untuk beras dst.
Sedangkan
inflasi mendorong harga untuk secara gradual naik – dan tidak balik
turun lagi. Inflasilah yang menyebabkan harga kambing qurban naik dari
33 tahun lalu di kisaran antara
Rp 25,000 – Rp 80,000 , sekarang menjadi berkisar antara Rp 1,000,000 –
Rp 3,000,000,-. Kenaikan harga kambing yang sangat significant dalam
jangka panjang tersebut bukan karena supply and demand !
Factor supply and demand
akan mendorong harga stabil karena ketika barang mahal produsen
terdorong untuk memproduksi lebih, kalau barang terlalu murah produsen
mengurangi produksi.
Harga yang murni terbentuk oleh mekanisme pasar – supply and demand
tersebutlah – yang dalam Islam penguasa sekalipun dilarang untuk
mempengaruhinya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menolak
permintaan umatnya untuk menurunkan harga barang-barang ketika harga
tersebut naik tinggi.
Di jaman sekarang – era mata uang kertas ini, kita tidak mudah untuk bisa tahu apakah suatu barang naik karena mekanisme pasar supply and demand
atau karena inflasi. Bila karena inflasi, itu menyengsarakan rakyat dan
harus dicegah. Tetapi kalau murni karena mekanisme pasar, dia justru
tidak boleh dicampuri oleh penguasa sekalipun.
Artinya
dengan teknik barter yang menggunakan satuan nilai Point – yang bebas
dari inflasi, insyaAllah kita akan dapat melihat kewajaran harga-harga
barang yang sesungguhnya.
Bila
kelak system yang sedang kami kembangkan ini benar-benar siap
digunakan, insyaAllah kita akan bisa hidup tanpa uang sekalipun !,
insyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini