Ketika
ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – kemudian
menggunakan Dinar (nama yang digunakan di Islam, nama yang juga
disebutkan di Al-Qur’an), saat itupun system angka decimal belum
dikenal. Sehingga pembagian pecahan masih terbatas ½, ¼, 1/6, 1/8 dst.
Karena
keterbatasan pecahan Dinar ini, penggunaan Dinar saat itu juga masih
terbatas. Dinar lebih banyak digunakan untuk transaksi-transaksi yang
bernilai besar – atau dalam bahasa ekonomi sekarang adalah transaksi
barang modal atau transaksi komersial. Sedangkan yang digunakan untuk
transaksi barang konsumsi adalah Dirham, Daniq (1/6 Dirham) dan kemudian
juga fulus – yaitu alat tukar selain emas (Dinar) dan perak (Dirham).
Selama beberapa abad kemudian, banyak terjadi debasement atau penurunan nilai/kadar emas dalam Dinar atau perak dalam Dirham, fulus-pun
dicetak para penguasa secara tidak terkendali sehingga masyarakat
banyak dirugikan oleh penurunan daya beli – yang sekarang kita sebut
inflasi.
Maka di akhir abad 11 M sampai awal abad 12 M, ulama besar yang hidup saat itu yang dikenal dengan panggilan Hujjatul Islam
Muhammad Al-Ghazali, banyak mengajak umat untuk kembali ke Islam yang
benar. Berbagai ilmu ke-Islaman dia tulis dan salah satu yang paling
terkenal adalah Ihya’u Ulumuddin atau Menghidupkan (Kembali) Ilmu Agama.
Kitab
ini sangat luas bahasannya, termasuk di antaranya adalah upaya
Al-Ghazali untuk mengajak masyarakat untuk kembali pada timbangan
muamalah yang adil yaitu emas (Dinar) dan perak (Dirham). Berikut adalah
cuplikan pemikiran Al-Ghazali yang diambil dari penafsiran Mufti Taqi
Uthmani (Chairman of Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions, AAOIFI Bahrain – rujukan utama lembaga-lembaga
keuangan Islam di seluruh dunia saat ini).
“Penciptaan
Dirham dan Dinar adalah berkah dari Allah, dia seperti batu yang tidak
berguna tetapi semua orang membutuhkannya. Manusia membutuhkan banyak
hal untuk makan, pakaian dlsb. yang tidak dimiliki/diproduksinya
sendiri. Oleh karenanya diperlukan perdagangan yang tidak bisa
dihindari.
Tetapi
harus ada alat ukur yang dengannya harga-harga ditentukan. Oleh
karenanya diperlukanlah perantara untuk menghakimi nilai secara adil.
Allah yang Maha Besar telah menjadikan Dirham dan Dinar sebagai hakim
dan perantara itu – agar semua barang-brang dan objek perdagangan dapat
diukur dengannya.
Dibutuhkan
keberadaan sesuatu yang nampaknya tidak berarti apa-apa tetapi
sesungguhnya semua membutuhkannya. Sesuatu yang seperti cermin, yang
dirinya sendiri tidak berwarna tetapi dia bisa menampilkan semua warna…”.
Kita
sekarang hidup di jaman teknologi tinggi, jaman ketika program komputer
yang perkembangannya begitu pesat setelah diilhami oleh temuan angka
nol, system angka decimal dan algoritma (cara berhitung tahap demi
tahap) -nya Muhammad Al-Khwarithmi. Tugas kita adalah meneruskan karya
dan keunggulan Ilmu-Ilmu Islam itu untuk maslahat umat sesuai jamannya.
Dalam
hal perdagangan dan keuangan yang umat ini kini terpuruk dan terperdaya
oleh umat yang lain, insyaAllah kita bisa kembali unggul manakala kita
bisa benar-benar kembali kepada system yang memang dahulu sudah membuat
umat ini unggul.
Berangkat
dari ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam penggunaan
Dinar dan Dirham baik untuk muamalah maupun untuk pelaksanaan beberapa
ketentuan syariat, kemudian dilanjutkan dengan temuan system angka
decimal-nya Al-Khwarithmi dan yang terakhir peringatan Al-Ghazali untuk
kembali menggunakan Dinar dan Dirham sebagai timbangan/hakim yang adil
dalam penilaian barang-barang kebutuhan manusia – maka kita seharusnya
sudah bisa benar-benar mewujudkan timbangan/hakim yang adil itu untuk
jaman ultra modern saat ini.
Dinar
bukan lagi hanya untuk menimbang nilai (unit of account) barang-barang
modal atau barang yang nilainya besar, Dinar kini bisa dipakai untuk
menimbang nilai barang-barang yang bernilai sangat kecil sekalipun.
Pencatatan pecahan decimal Dinar yang kita bisa buat sampai 1 ¢¢ atau
1/10,000 Dinar atau 0.000425 gram emas, cukup untuk menilai secara adil
barang-barang kebutuhan kita sehari-hari.
Dengan timbangan yang adil ini pula nilai 1 ¢¢ Dinar atau saya sebut satu point dapat kita trace back
sampai puluhan tahun kebelakang seperti table disamping. Ini akan
memudahkan Anda menyelesaikan hutang-hutang yang belum Anda bayar atau
pinjaman orang tua Anda yang perlu dibayar saat ini. Saya berikan juga
dalam bentuk grafiknya dibawah, untuk menggambarkan betapa rusaknya daya
beli uang kertas dalam dasawarsa terakhir – mengingatkan kita
pentingnya untuk segera menggunakan timbangan yang adil itu.
Bila
25 tahun lalu Anda berhutang sama ibu kost senilai Rp10,000,- misalnya;
berapa nilainya bila Anda akan bayar sekarang ? table point tersebut
menjadi sangat berguna. 25 tahun lalu (1987) 1 point setara Rp 10.85 ,
Rp 10,000 setara 922 point. Dikonversikan ke nilai sekarang menjadi Rp
202,876,-.
Karena
nilai point ini dikaitkan langsung dengan nilai emas dunia, maka point
ini berlaku secara universal di seluruh dunia. Karena dia mewakili nilai
emas – maka dia kebal terhadap inflasi. Harga bisa naik atau turun
karena supply and demand yang merupakan fitrah pasar, tetapi bukan karena inflasi.
Karena
tidak tergerus oleh inflasi, maka satuan Dinar untuk barang modal
(barang yang nilainya besar) atau pecahannya berupa point (untuk
barang-barang kebutuhan konsumsi sehari-hari) insyaallah akan dapat
dipakai sepanjang masa – tidak meluruh oleh waktu.
Dengan
karakter yang berlaku di mana saja dan kapan saja ini, maka hanya Dinar
(juga Dirham) atau pecahannya yang bisa disebut sebagai universal unit of account atau dalam bahasa latinnya disebut Uni Lanx – satu penilai.
Dengan universal unit of account atau Uni Lanx
yang kita sebut timbangan yang adil berupa Dinar atau pecahannya ini,
insyaallah kita akan punya kembali pegangan nilai yang bersifat
universal, berlaku dimana saja dan kapan saja.
Yang
perlu diingat adalah bahwa untuk system penilaian (unit of account)
kita sudah bisa sepenuhnya menggunakan timbangan yang adil berupa Dinar
atau pecahannya ini. Tetapi untuk alat tukar dalam bertransaksi
sehari-hari (medium of exchange), kita tidak harus memaksakan penggunaan
Dinar atau pecahannya bila memang belum memungkinkan saat ini.
Ketika Dinar dan Dirham digunakan pada jamannya-pun, ada pula sejumlah instrument lain untuk pembayaran yang syah digunakan di wilayah-wilayah Islam di masa kejayaannya. Instrumen pembayaran tersebut antara lain meliputi fulus (alat tukar selain emas dan perak), Sukuk ( menjadi cek di jaman ini) dan safatij (menjadi bill of lading di jaman ini).
Sebagaimana
kaidah ‘kalau belum bisa digunakan semua jangan ditinggalkan semuanya’,
maka dua dari tiga fungsi uang itu kini bisa diterapkan dengan sempurna
oleh Dinar, Dirham maupun pecahannya. Dua fungsi itu adalah store of value dan unit of account.
Fungsi ke tiga dari uang yaitu medium of exchange
terkait dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku setempat, apa
boleh buat – yang inipun kita harus ikuti, soalnya kalau tidak – lantas
dengan apa kita berjual beli sehari-hari ?. Be reasonable !.