Ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997-1998, saat itu saya sedang berusaha mengembangkan usaha saya di bidang penerbitan dan alat peraga pendidikan. Waktu itu saya belum begitu paham dengan kondisi moneter di Indonesia. Yang saya tahu waktu itu banyak demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia, menuntut diturunkannya Soeharto sebagai Presiden. Saat itu kondisi negara ini sangat mengkhawatirkan, nilai tukar Dollar sampai tembus Rp 15.000, bunga deposito sampai 40 % dan tingkat inflasi sekitar 70 %. Apa imbasnya bagi saya .. harga kertas naik tajam, bahan-bahan untuk membuat alat peraga (sebagian besar masih import) juga menjulang. Sehingga praktis kegiatan produksi terhenti karena harga bahan baku yang tinggi dan harga jual tidak bisa dinaikkan karena jika harga dinaikkan nggak ada yang mau beli.
Karena masih belum paham dengan ilmu keuangan, ketika krisis kembali berulang tahun 2008 kemarin, saya masih saja menjadi korbannya. Investasi saya di Reksadana terjun bebas hingga nilainya tinggal 50 %. Nilai penjualan usaha saya juga turun sampai 30 %. Tapi Alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah tidak mengalami hal separah 10 tahun yang lalu, sehingga tidak sampai terjadi pengurangan karyawan.
Kondisi krisis keuangan global sekarang ini belum tahu kapan akan berakhir, didalam negeri pun pemerintah kita sepertinya tenang-tenang saja, padahal tahun ini akan ada Pemilu yang memerlukan biaya besar, pasti pemerintah nggak ingin citranya jelek gara-gara krisis ini.
Tapi disisi yang lain, hampir tiap hari berita di TV dan koran menyuguhkan berita mengenai pengurangan karyawan (PHK), kerugian perusahaan raksasa dunia maupun upaya pemerintah Amerika untuk ikut menanggung kerugian perusahaan Amerika. Dengan apa mereka menanggung kerugian .. tentu saja dengan mencetak uang baru yang jumlahnya sangat besar. Yang perlu kita waspadai adalah realita bahwa pemerintah-pemerintah dunia saat ini bukan hanya seolah kehilangan kendali terhadap jumlah uang yang dicetaknya; tetapi juga dengan sengaja melipat gandakan jumlah ‘uang’ yang begitu dahsyatnya sehingga mereka sendiri takut mengetahui jumlahnya.
Dengan semakin banyaknya uang kertas yang beredar, tentu saja akan menurunkan daya beli dari uang tersebut. Lantas bagaimana kita mengambil sikap atas fenomena ini ? Kita harus melindungi/menyelamatkan aset kita secepatnya, tetapi kalau kita melindungi aset berupa uang kertas maka uang kertas kita pun akan kehilangan nilainya. Dengan apa kita menjaga aset kita ? dengan “uang riil” yang memiliki daya beli tetap, yang terbukti stabil lebih dari 1400 tahun, yaitu Dinar (Emas). Kita hanya bisa mengetahui daya beli suatu mata uang naik atau turun apabila yang dipakai sebagai pembanding adalah mata uang yang memiliki nilai riil.
Dinar atau emas adalah aset riil yang selalu mudah untuk dijual menjadi cash di masa deflasi sekalipun; dan tidak perlu mengalami penurunan nilai /daya beli di kala inflasi yang tinggi. Lantas bagaimana agar kita tidak jadi korban atas kondisi ini, bahkan sedapat mungkin keluar sebagai pemenang ?
- Jangan menyimpan atau memegang dolar kecuali terpaksa, misal sedang bepergian ke luar negeri
- Karena nilai Rupiah berfluktuasi terhadap dollar, maka gunakan uang Rupiah hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai penyimpan aset anda.
- Gunakan harta riil seperti Dinar, usaha yang berjalan baik dan toko sebagai penjaga aset anda (store of value)
· Ajak dan ajari anak kita dalam kegiatan usaha perdagangan, toko, kebun dan sektor riil lainnya.
Dengan segera menyelamatkan aset kita, maka kita sudah menjaga dan mengantisipasi kondisi krisis global sekarang ini dan tidak perlu menjadi korban lagi.
Selain hal-hal yang sifatnya duniawi tersebut, ada langkah yang paling aman bagi harta kita karena tidak akan ada siapapun yang bisa mempermainkannya – yaitu kita sedekahkan !, maka harta kita akan meningkat 700 kali atau lebih dan akan menjadi milik kita selamanya. Amin.
Memang benar apa yang sudah disebutkan dalam Al Qur'an, mata uang yang stabil adalah Dinar dan Dirham
BalasHapus