Written by Muhaimin Iqbal
Bila mengamati perkembangan nilai tukar Rupiah sebulan terakhir, gembira rasanya hati ini karena Rupiah menguat cukup significant. Dikala US$ melemah hampir 5 %, Rupiah mampu menguat di kisaran 4 %. Artinya Rupiah bisa tampil seharusnya, bila pembandingnya melemah – ia menguat. Hal yang sudah seharusnya memang, tetapi kadang hal ini tidak terjadi. Penguatan Rupiah ini tidak terlepas dari perkembangan politik pasca pemilu legislatif yang relatif kondusif, disamping perkembangan perekonomian global secara umum yang mulai menampakkan sinyal-sinyal pemulihan.
Bila mengamati perkembangan nilai tukar Rupiah sebulan terakhir, gembira rasanya hati ini karena Rupiah menguat cukup significant. Dikala US$ melemah hampir 5 %, Rupiah mampu menguat di kisaran 4 %. Artinya Rupiah bisa tampil seharusnya, bila pembandingnya melemah – ia menguat. Hal yang sudah seharusnya memang, tetapi kadang hal ini tidak terjadi. Penguatan Rupiah ini tidak terlepas dari perkembangan politik pasca pemilu legislatif yang relatif kondusif, disamping perkembangan perekonomian global secara umum yang mulai menampakkan sinyal-sinyal pemulihan.
Penguatan Rupiah adalah baik bagi mayoritas kita karena penghasilan rata-rata kita dalam Rupiah. Untuk membeli emas/Dinar-pun kita akan lebih mampu karena uang kita lagi relatif perkasa meskipun belum seperkasa tahun lalu ketika krisis belum mencuat.
Tentu kita semua berharap trend penguatan Rupiah ini dapat berlangsung terus lebih lama, sehingga daya beli uang hasil jerih payah kita dapat bener-bener berarti. Potensi kearah ini ada, bila pemerintah bersungguh-sungguh ingin memperbaiki kinerjanya secara riil – bukan hanya untuk jaga image menjelang pemilu presiden semata.
Sinyalemen yang terakhir ini bukan tanpa alasan dan mulai juga dirasakan oleh kalangan pengusaha. Dikala Rupiah menguat dan likuiditas pemerintah lagi baik-baiknya – ternyata kalangan pengusaha masih menjerit karena bunga kredit perbank-kan masih tinggi – sehingga akses terhadap modal bagi pengusaha masih tetap sulit.
Inilah problem dengan ekonomi Ribawi, pemerintah bisa menjadi pesaing dunia usaha dalam memperebutkan likuiditas. Likuditas di pasar yang seharusnya menggerakkan sektor riil kini tersedot oleh SBI, berbagai obligasi pemerintah dan Sukuk. Yang terakhir ini saja yang mungkin bisa baik kalau porsinya mulai significant.
Bayangkan kalau Anda duduk sebagai eksekutif perbankan atau lembaga yang mengelola dana lainnya. Dengan investasi-investasi yang ‘tanpa risiko’ saja seperti SBI, Obligasi dan Sukuk Anda bisa berkinerja lumayan – ngapain harus cape-cape dan berisiko pula mendanai projek-projek sektor riil yang hasilnya belum pasti ?
Bila sikap ini meluas dan berlangsung lama seperti yang terjadi selama ini, maka sektor riil tidak bergerak. Lapangan kerja tidak bertambah padahal angkatan kerja bertambah, artinya pengangguran meningkat. Produk barang dan jasa tidak bertambah padahal jumlah penduduk meningkat, artinya harga barang dan jasa juga naik. Inilah lingkaran setan yang menyengsarakan umat dalam system keuangan ribawi.
Memakmurkan negeri menurut Islam sebenarnya sederhana saja; tinggalkan Riba – maka likuiditas akan mengalir ke sektor riil. Bila banyak dana yang mengalir ke sektor riil maka lapangan kerja akan meningkat, produksi barang dan jasa juga meningkat – rakyat akan makmur. Ketika produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan kita sendiri, ketergantungan terhadap produk-produk impor akan turun dengan sendirinya. Karenanya kebutuhan Dollar atau mata uang asing lainnya akan menurun –otomatis Rupiah akan menguat secara lebih lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini