Oleh : @endykurniawan
Kabar baik bagi kita adalah dari seluruh emas yang telah ditambang di
muka bumi yakni sekitar 150.000 – 160.000 ton, 70% – 90% dikuasai
swasta, termasuk individu/ perorangan. World Gold Council menyebut angka
sekitar 100.000 ton emas dikuasai swasta, pada 2005. Sementara sisanya
dikuasai oleh 109 negara sebagai cadangan di bank sentral-nya. Laporan
lembaga yang sama pada September 2010 menyebutkan jumlahnya sekitar
27.000 ton. Sebagaimana tulisan pada bagian pertama, penguasaan
mayoritas stok emas dunia oleh non-pemerintahan ini adalah salah satu
sebab mengapa kembalinya gold-standard sebagaimana era Bretton
Woods diprediksi sulit terwujud. Menurut Martin Wolf, analis ekonomi
senior The Financial Times, proses akuisisi emas masyarakat ini akan
memakan berbagai macam biaya yang luar biasa dan bisa menimbulkan
kekacauan.
Jauh lebih mungkin, jika saatnya tiba, terjadi pertukaran langsung
emas-emas simpanan masyarakat untuk transaksi sehari-hari. Jumlah
100.000 ton yang beredar adalah jumlah yang sangat banyak. Seandainya
pun tak dalam bentuk koin yang standard, masyarakat cukup menggunakan
emas dalam bentuk apapun, disertai timbangan untuk pengukur berat.
Praktek ini sebagaimana jaman awal Rasulullah SAW bertransaksi
menggunakan emas, alat transaksinya adalah emas dalam berbagai bentuk
(koin, lempengan/ tibr) dan telah mencukupi. Kita tahu, emas adalah
bahasa transaksi universal. Kita pernah bahas sebelumnya, salah satu
item survival kit pilot tempur Amerika adalah sepotong emas. Kawan saya
Ahmad Gozali, ketika sesi workshop investasi emas sering menyampaikan
penggalan sebuah film dengan setting di sebuah negara komunis. Prajurit
Amerika yang perlu tumpangan tak bisa membayarnya dengan US Dollar
karena penduduk setempat tak tertarik mata uang asing itu. Tapi deal terjadi setelah si agen bersedia membayarnya dengan jam tangan terkenal berlapis emas.
Selama 1500 tahun kejayaan Islam menerangi bumi, ekonomi kekhalifahan
berada di standar yang sangat tinggi. Bahkan menjelang rapuh dan
runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani sekalipun, indeks harga dan
kesejahteraan warga negaranya masih lebih baik dari Inggris yang berdiri
sejaman. Kemanapun reformasi moneter ini membawa nanti, kita perlu
bersiap diri dari kini. Perhatikan grafik 10 besar penguasa emas dunia
pada gambar. Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3
negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10
besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat
non-produsen emas, yang dengan disiplin dan kesadaran penuh, mereka tahu
tapi diam-diam saja, justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan
negaranya, meskipun dalam keseharian mereka terlihat sibuk
mengkampanyekan anti-gold standard.
Kita juga bisa menyimpulkan satu hal yakni kecilnya
kesadaran negara-negara penghasil emas utama untuk mempertahankan emas
yang ditambang dan diolah di negaranya sendiri, sehingga tak cukup
menyimpan untuk pertahanan ekonomi negaranya. Mereka memilih untuk
menjadi penambang dan eksportir, tapi tak menjadikan emas sebagai
cadangan ekonomi negaranya, kecuali sedikit saja. Negeri ini seharusnya
memberi penghargaan kepada masyarakat yang secara individual berupaya
menyimpan emas di rumah tangganya masing-masing, yang jika dijumlahkan
akan menghasilkan angka simpanan emas yang sangat besar dan
mengindikasikan ketahanan ekonomi riil masyarakat Indonesia.
Seandainya warga negara yang hidup di atas ambang kemiskinan (artinya
secara ekonomi cukup mampu) yaitu 70% dari total penduduk Indonesia
memiliki 1 gram emas, maka jumlah emas minimal yang dimiliki rakyat
Indonesia berjumlah 168 ton. Angka ini telah 2 kali lipat lebih
dibanding cadangan emas yang dimiliki bank sentral. Seandainya 1 orang
menguasai 1 Dinar (emas dengan berat 4.25 gram), maka cadangan emas yang
berada di kantung masyarakat Indonesia berjumlah 714 ton. Dijumlahkan
dengan cadangan devisa Bank Indonesia yang sekitar 75 ton, maka
Indonesia akan berada di posisi ke-8 penyimpan emas mengalahkan Jepang.
Sosialisasi penguasaan emas ke tangan masyarakat ini, bagi saya
pribadi, adalah upaya pertahanan sekaligus persiapan menyongsong masa
depan. Pertahanan untuk melindungi harta dan asset masyarakat. Persiapan
masa depan untuk sebuah reformasi (mungkin juga revolusi, perubahan
radikal) sistem moneter dunia dengan medium emas, juga perak. Seluruh
negara dan masyarakat negara lain, secara terbuka maupun diam-diam
melakukannya dengan penuh kesadaran. Sebagai negara dengan cadangan emas
melimpah, mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Dengan jumlah
cadangan emas yang memadai, ekonomi negeri kita punya sandaran hakiki,
layak adu tanding dengan dengan negara-negara ekonomi kuat lainnya. Ini
jadi modal yang cukup untuk menopang prediksi banyak riset yang
menunjukkan Indonesia akan berada dalam posisi 10 besar ekonomi terkuat
dunia pada 2020 dan 5 besar pada 2030.
Pergerakan Harga Dinar 24 Jam
Dinar dan Dirham
30 Desember 2014
19 Desember 2014
Mungkinkah Uang Kertas Punah? (1)
Oleh : endykurniawan
Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Tak di-mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya. Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing. Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.
Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun, hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.
Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, mantan bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.
Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.
Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London. Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).
Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Tak di-mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya. Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing. Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.
Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun, hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.
Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, mantan bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.
Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.
Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London. Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).
15 Juli 2014
Uang Baru dan Pemerintahan Baru
Siapapun
yang akhirnya nanti menggantikan pemerintahan yang sekarang akan
disambut dengan uang yang baru. Uang yang baru ini akan secara tegas
menyebutkan bahwa ini adalah uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang ditanda tangani oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan,
selama ini uang kita bukan uang NKRI tetapi uang Bank Indonesia. Yang
lebih serius dari ini adalah dalam periode pemerintahan yang akan
datang – besar kemungkinan redenominasi mata uang Rupiah harus
dilakukan.
RUU untuk redenominasi Rupiah ini sebenarnya sudah disampaikan pemerintah ke DPR dan
bahkan seharusnya masuk prioritas Prolegnas tahun 2013, namun karena
redenominasi yang akan mengurangi tiga angka nol pada uang kita tersebut
juga beresiko – maka pembahasannya nampaknya ditunda.
Resiko
ini diungkapkan bahkan oleh menteri keuangan Republik Indonesia sendiri
melalui situs resmi Departemen Keuangan, apabila gagal rencana
redenominasi tersebut akan berdampak terhadap inflasi yang akan menjadi
tingggi . “ Ada resiko inflasi. Kalau situasinya sudah lebih baik mungkin (redenominasi Rupiah) bisa dilakukan” ujar Menkeu.
Pertimbangan
faktor resiko inilah antara lain yang membuat wacana redenominasi yang
sudah ramai dibicarakan dalam lima tahun terakhir urung dilaksanakan.
Tetapi ini seperti bom waktu yang diteruskan dari satu pemerintahan ke
pemerintahan berikutnya, suatu saat harus ada yang berani mengambil
keputusan.
Redenominasi
mestinya sudah harus dilakukan di akhir 90-an ketika kurs Rupiah
melewati angka Rp 10,000. Dampak dari angka nol yang terlalu banyak ini
menimbulkan masalah di system IT bukan hanya di perbankan dan lembaga
keuangan di Indonesia , tetapi juga di seluruh dunia yang mengakomodasi
mata uang Rupiah.
Angka
nol yang terlalu banyak juga memberi kesan ‘kurang bernilainya’ mata
uang Rupiah ini di mata internasional. Rupee-nya India mestinya sama
saja kekuatannya dengan Rupiahnya Indonesia, tetapi karena 1 Rupee
nilainya hampir Rp 200 ,- maka seolah Rupee lebih kuat atau lebih
berharga dari Rupiah.
Angka
nol yang terlalu banyak – yang kemudian perlu dipotong juga menjadi
karakter dari negeri-negeri yang mempunyai problem dengan nilai mata
uangnya. Kita bisa tahu ini dari negara-negara lain yang pernah
mengalaminya seperti Islandia
(1991), Rusia (1998), Meksiko (1993), Polandia (1995), Ukraina (1996),
Peru (1991) , Bolivia (1987) dan yang fenomenal Turki (2005) dan
Zimbabwe (2009).
Ketika
Turki berani melakukan redenominasi mata uangnya lira tahun 2005 lalu,
mereka tidak tanggung-tanggung harus membuang enam angka nolnya. Angka
1,000,000 lira menjadi 1 lira saja. Ini harus dilakukan Turki untuk
merespon tingginya angka inflasi selama 35 tahun (1970-2005), sehingga
mau tidak mau harus mereka lakukan bila tidak ingin angka nol di mata
uangnya menjadi semakin terlalu banyak.
Kadang
angka nol yang harus dihapus itu begitu banyaknya sehingga mata uang
yang lama harus diganti sama sekali karena sudah tidak relevan lagi.
Contohnya adalah yang terjadi di Zimbabwe (2006-2009), ketika mata
uangnya yang tetap bernama Zimbabwean Dollar tetapi secara bertahap
berganti singkatan dari semula ZWD ke ZWN kemudian ke ZWR sebelum
akhirnya menjadi ZWL. Bersamaan dengan pergantian singkatan ini pula 9
angka nol dihilangkan.
Intinya
adalah pada suatu titik, pemerintah harus berani melakukan redenominasi
itu bila memang harus dilakukan. Dia tidak bisa meneruskan problem
kebanyakan angka nol ini terus menerus ke pemerintahan berikutnya dan
berikutnya lagi.
Ekonomi
mungkin terganggu sesaat oleh gejolak inflasi, tetapi setelah itu akan
banyak manfaatnya bagi kita semua. Kita akan bangga misalnya ketika
menukar uang Rupiah kita di Mekah atau Madinah dari setiap Rp 3 kita
sudah mendapatkan 1 Saudi Riyal, tidak seperti saat ini 1 SAR harus kita
tebus dengan Rp 3,122 !
Dari
waktu ke waktu nilai tukar mata uang Rupiah negeri manapun akan
cenderung terus menurun, ada yang penurunannya drastis sehingga harus
di-redenominasi dan ada yang penurunannya biasa-biasa saja. Mata uang
kertas juga menjadi instrumen untuk perang dagang seperti yang terjadi
antara Amerika Serikat dan China.
Maka
tidak bisa lagi kita mengukur kekuatan mata uang Rupiah kita dengan
Dollar misalnya. Bulan Juli 1998 US$ 1 = Rp 14,000; bulan Juli 2014 ini
US$ 1 = Rp 11,700. Apakah berarti uang Rupiah kita saat ini jauh lebih
kuat dari Juli 1998 ? Ternyata tidak sama sekali.
Ini
bisa kita lihat kalau uang tersebut dipakai untuk membeli benda riil
yang baku harganya sepanjang zaman seperti emas misalnya. Untuk membeli 1
gram emas dibutuhkan sekitar Rp 130,000 pada bulan Juli 1998, dan di
bulan Juli 2014 ini kita butuh sekitar Rp 500,000 untuk bisa membeli 1
gram emas yang sama.
Kita
bisa melihat sekarang bahwa meskipun seolah Rupiah menguat dibandingkan
mata uang Dollar selama era reformasi hingga kini, namun daya belinya
terus menurun tinggal sekitar ¼-nya saja sejak puncak krisis 1998. Artinya bahkan terhadap puncak krisis 1998 tersebut daya beli riil uang kita sekarang jauh lebih lemah lagi !
Bayangkan
sekarang realitas bahwa mayoritas asset pegawai tersimpan di Rupiah
dalam berbagai bentuknya, mulai dari tabungan, deposito, tunjangan hari
tua, asuransi dlsb. Bila dalam perjalanan karir Anda 16 tahun terakhir
saja daya beli riil uang Anda tinggal ¼-nya, apa yang akan terjadi
ketika Anda pensiun 16 tahun yang akan datang ?
Maka
tidak berlebihan bila situs ini mengkampanyekan proteksi nilai sejak 7
tahun lalu, karena serendah-rendahnya harga emas atau Dinar seperti
sekarang ini – dia tetap mampu memberikan perlindungan nilai jangka
panjang hingga kini. Justru periode harga rendah seperti inilah
sebenarnya memberi kesempatan kita untuk melakukan proteksi nilai secara
lebih baik dengan menambah portfolio emas atau Dinar kita.
Uang
baru dan bahkan redenominasi bisa saja menjadi isu sesaat, tetapi yang
lebih hakiki sebenarnya adalah upaya untuk mempertahankan daya beli dari
hasil jerih payah kita. Bila redenominasi adalah domain pemerintah dan
kita tinggal menerima realita dan dampaknya, tidak demikian dengan isu
proteksi nilai atau upaya mempertahankan daya beli ini – kita dapat
melakukannya sendiri sekarang dan disini ! Insya Allah.
11 Juli 2014
The Death of Money
Judul tulisan ini saya ambilkan dari buku yang terbit sekitar tiga bulan lalu karya penulis best seller James Rickards. Judul lengkap buku tersebut adalah The Death of Money – The Coming Collapse of The International Monetary System.
Menurut si penulis ini system moneter internasional telah gagal
setidaknya tiga kali sepanjang abad lalu yaitu tahun 1914, 1939 dan
1971. Sedangkan kegagalan berikutnya dia katakan sebagai maelstrom to come – peristiwa yang cepat sekali datangnya !
Kegagalan system moneter tahun 1914 di-trigger oleh Perang Dunia I yang kemudian diikuti oleh hyperinflation dan depression antara
tahun 1919 sampai 1922. Kegagalan tahun 1939 juga disebabkan oleh
perang yaitu Perang Dunia II dan baru sembuh ketika dunia menyepakati Bretton Woods Systems di akhir PD II – ketika system keuangan dunia dikaitkan langsung dengan emas.
Kegagalan
ketiga adalah ketika tahun 1971 presiden Amerika Serikat waktu itu
Richard Nixon mengumumkan bahwa sejak saat itu Amerika tidak lagi
mengkaitkan uangnya dengan emas. Dampak dari pengingkaran Bretton Woods Systems – yang sebenarnya disponsori oleh Amerika Serikat sendiri ini – telah membuat Dollar sudah nyaris collapse tahun 1978.
Mirip
dengan tiga kegagalan sebelumnya, menurut James Rickards ini kegagalan
keempat akan melibatkan perang, emas dan chaos. Lantas apa penyebabnya ?
Selain perang fisik yang melibatkan Amerika Serikat di sejumlah
negara-negara lain, kegagalan keempat juga akan di-trigger oleh currency wars, deflation, hyperinflation dan market collapse.
Kegagalan Dollar juga berarti kegagalan system moneter dunia karena sampai saat ini Dollar adalah reserve currency
– mata uang yang juga digunakan sebagai cadangan devisa bagi seluruh
negara di dunia – termasuk Indonesia. Kegagalan system moneter di dunia
atau proses menuju ke-kegagalan itupun sudah cukup untuk apa yang
disebut money and wealth detachment – perpisahan antara uang dan kemakmuran.
Kita
yang di Indonesia sejak kemerdekaan RI 69 tahun silam juga sudah pernah
mengalami satu kali kegagalan yaitu ketika kita harus melakukan
sanering di tahun 1965/1966, kemudian juga sekali nyaris gagal ketika
nilai tukar kita merosot tinggal 1/6-nya di puncak krisis 1998 – yang
kemudian tidak sepenuhnya sembuh hingga kini – ketika daya beli uang
kita tinggal kurang dari ¼ dibandingkan dengan era sebelum krisis
moneter 1997/1998.
Perpisahan
antara uang dan kemakmuran juga sudah lama terjadi di negeri ini. Hal
ini dengan mudah bisa kita lihat dari bahasa yang kita gunakan ! Dahulu
istilah jutawan adalah untuk menyebut orang yang makmur dengan memiliki
harta satu juta atau lebih. Jutawan saat ini – orang yang memiliki uang
satu juta atau lebih – masih berhak atas zakat kecuali setidaknya
mencapai 40 kalinya (nishab zakat 20 Dinar sekitar Rp 40 juta).
Ketika
terjadi perpisahan antara uang dan kemakmuran, kita tidak lagi bisa
mengandalkan uang dan produk-produk turunannya seperti tabungan, dana
pensiun, asuransi dlsb. sebagai instrument untuk menyimpan atau sekedar
mempertahankan kemakmuran kita. Lantas apa yang bisa ?
Yang bisa menyimpan atau mempertahankan kemakmuran adalah
benda-benda riil seperti emas (di kita berarti juga Dinar), tanah,
rumah, ternak, tanaman dlsb. Dari sini pulalah kita sekarang dengan
mudah memahami hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut :
Dari Abu Said Al-Khudri berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Waktunya akan datang bahwa harta muslim yang terbaik adalah domba yang digembala di puncak gunung dan tempat jatuhnya hujan. Dengan membawa agamanya dia lari dari beberapa fitnah (kemungkaran atau pertikaian sesama muslim)”. (H.R. Bukhari)
Sebenarnya
inilah yang sedang kita lakukan sejak setidaknya tujuh tahun terakhir,
yaitu berusaha sekuat tenaga untuk bisa menghidup-hidupkan kembali
peradaban Islam yang semuanya memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an
maupun hadits.
Kita
memiliki cara-cara sendiri dalam mengelola urusan dunia kita - yang
sebenarnya hanya jalan untuk sampai pada kehidupan yang hakiki setelah
ini. Di semua aspek kehidupan, cara kita sendiri ini benar adanya –
mulai dari mengelola moneter, kesehatan, pendidikan, pertanian dlsb.
dlsb.
Maka
sebelum pusaran kegagalan system moneter internasional itu menarik kita
ke dalamnya – menarik kita terjerembab ke dalam lubang biawak mereka,
kita harus dengan sekuat tenaga dan secepatnya bangun dari tidur lama
kita – bangun untuk mulai menghidup-hidupkan peradaban kita sendiri.
InsyaAllah
20 Juni 2014
Harga Emas Di Tengah Kegaduhan …
Empat bulan lalu saya menulis Dinar Emas Di Tahun Politik, maka karena hampir pasti PEMILU Presiden akan berlangsung satu putaran – moment of truth itu
akan terjadi dalam rentang sebulan kedepan. Hanya saja, naik turunnya
harga emas tidak hanya factor kondisi politik dalam negeri – tetapi juga
didominasi oleh berbagai perkembangan di tingkat global. Hari-hari ini
yang sangat dominan mempengaruhi harga emas dunia adalah perkembangan di
Iraq.
Iraq
dengan produksi minyaknya yang masuk 10 besar dunia, memproduksi
sekitar 3.4 juta (bbl/day) atau sekitar 3.5 kali produksi minyak
Indonesia. Dengan jumlah produksi seperti ini, kejadian-kejadian di Iraq
sangat memadai untuk mengguncang harga minyak dunia.
Bukan hanya masalah harga minyak yang berpengaruh di ekonomi dunia, tetapi persepsi akan terganggunya supply
minyak saja sudah cukup untuk membuat pasar panik. Dan setiap kali
pasar panik, dampaknya selalu ke harga emas – yaitu para pelaku pasar
butuh tempat berlabuh yang aman – safe haven - ketika badai menerjang.
Bersamaan
dengan kegaduhan di Iraq tersebut, kita sedang di puncak kehangatan
politik menjelang pilpres bulan depan. Kondisi ekonomi kita-pun lagi
kurang baik ditandai dengan defisit neraca perdagangan yang sempat
mencapai US$ 1.94 milyar April lalu.
Defisit
ini saja sudah cukup untuk melemahkan Rupiah , apalagi ditambah dengan
was-was-nya pasar menjelang pilpres yang agak hangat ini. Tidak
mengherankan bila nilai tukar Rupiah-pun sempat menyentuh angka Rp
12,000/US$.
Kombinasi
dua factor tersebut mengantar harga Dinar pada angka di atas Rp 2 juta
kembali hari ini, setelah sekian bulan berada di kisaran Rp 1.8 juta –
Rp 1.9 juta. Apakah pada kisaran angka di atas Rp 2 juta akan bertahan
lama ?
Tidak ada yang tahu sebagaimana tidak ada yang tahunya outcome
dari panasnya situasi Iraq saat ini dan hangatnya pemilu Presiden dalam
tiga pekan kedepan. Bila kondisi Iraq tereskalasi, maka harga emas
dunia akan cenderung naik lebih tinggi. Bila PEMILU presiden kita tidak
berjalan mulus, nilai Rupiah-pun akan jatuh.
Maka
seperti yang saya jelaskan berulang kali di situs ini sejak tujuh tahun
lalu kami perkenalkan Dinar emas adalah Dinar emas bukanlah untuk
spekulasi jangka pendek. Dia adalah instrumen untuk proteksi nilai dalam
jangka panjang, termasuk proteksi nilai ketika dunia dan negeri ini
lagi gaduh seperti yang kita hadapi hari-hari ini. Wa Allahu A’lam.
12 Juni 2014
Buku Ke 13 : Kebun Al-Qur’an
Setelah sampai buku ke 12 dicetak oleh para penerbit professional, buku saya yang ke 13 dengan judul : Kebun Al-Qur-an, Jalan Menuju Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur – saya buat dalam bentuk e-book saja supaya bisa digratiskan dan bisa menyebar lebih cepat ke masyarakat secara luas. Buku itu kini sudah bisa di-download melalui scribd atau bagi yang familiar bisa juga dengan menggunakan Google drive.
Sama
dengan buku-buku sebelumnya yang merupakan kompilasi dari
tulisan-tulisan saya, penerbitan buku ini diharapkan
memudahkan pembaca yang tertarik untuk mendalami tema sentral yang
sedang kita angkat dalam suatu periode.
Setengah tahun terakhir misalnya tema sentral kita tentang Kebun Al-Qur’an, maka buku ini meng-compile seluruh tulisan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan ‘project’ Kebun Al-Qur’an ini.
Ada
sekitar 60 tulisan yang terkait dengan tema sentral Kebun A-Qur’an ini
yang saya kelompokkan menjadi tiga bagian secara hampir merata. Bagian
pertama terkait dengan kajian ilmunya, baik berupa ilmu yang berasal
dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun ilmu kauni yang terkait.
Bagian kedua adalah terkait
dengan amal yang ditindak lanjuti dalam langkah nyata – yang sudah
maupun yang akan dilakukan – sebagai buah dari ilmu di bagian pertama.
Amal nyata ini juga melibatkan sejumlah pembaca yang bergabung dalam
acara-acara kami seperti Majlis BTWG yang insyaAllah sudah mulai
berjalan secara rutin.
Bagian
ketiga adalah tentang wawasan lingkungan, baik local maupun global yang
mempengaruhi kehidupan kita secara keseluruhan – yang kemudian
mendorong lahirnya project
kembali ke Al-Qur’an ini – sekaligus menekankan betapa pentingnya kita
untuk berpegang pada petunjuk dan sumber ilmu yang baku sepanjang jaman
ini.
Meskipun
artikel-artikel di buku ini saya yakin sebagian pembaca sudah pernah
membacanya, namun ketika dirangkai menjadi satu buku – insyaAllah akan
lebih mudah ditangkap gambaran besar dari pesan apa yang hendak
disampaikan.
Ketika
saya menulis Pemimpin Sekelas Wali misalnya, karena fokusnya pada sang
pemimpin maka seolah negeri ini tergantung pada para pemimpinnya. Namun
ketika tulisan ini disandingkan dengan tulisan lain Negeri Para Wali –
baru kemudian pesan menyeluruhnya bisa ditangkap.
Bahwa
sesungguhnya penduduk atau rakyat seperti kita-kitalah yang akan
menjadi penyebab keberkahan turun dari langit dan dari bumi ke negeri
ini atau tidak. Keberkahan dari langit dan dari bumi hanya terjadi bila
penduduk negeri ini beriman dan bertakwa (QS 7:96), dan orang-orang yang
beriman dan bertakwa inilah yang di ayat lain disebut sebagai wali
Allah itu (QS 10 : 62-63). Ketika penduduk negeri ini menjadi
orang-orang yang beriman dan bertakwa – menjadi orang yang sekelas wali –
maka pemimpin yang terlahir dari golongan ini tentunya juga akan
sekelas wali.
Dengan
pemikiran seperti ini, maka rakyat atau penduduk seperti kita-kita
tidak bisa mengandalkan para pemimpin semata atau bahkan suka
menyalahkannya – kita harus memperbaiki diri dengan meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kita dalam segala bidang kehidupan kita, maka
dengan itulah nantinya akan lahir pemimpin-pemimpin yang juga semakin
beriman dan bertakwa.
Berkebun
dengan Al-Qur’an barulah sebagai titik awal untuk belajar dan
membuktikan sendiri bahwa kita bisa secara sangat detil berpegang pada
petunjuk Al-Qur’an tersebut untuk seluruh aspek kehidupan kita.
Tentu
nantinya bukan hanya ketika berkebun kita menggunakan Al-Qur’an tetapi
juga ketika kita berpolitik, ketika kita berdagang, ketika kita
mengurusi urusan umat seperti kesehatan , kesejahteraan dlsb.
sampai-sampai seperti yang disampaikan Kyai dahulu : “ Kalau teklek (sandal kayu) saya hilang, sayapun mencarinya di Al-Qur’an”
– saking yakinnya bahwa Al-Qur’an adalah jawaban untuk seluruh masalah
(QS 16:89), petunjuk beserta penjelasan-penjelasannya dan sekaligus
menjadi pembeda antara yang hak dengan yang batil (QS 2:185).
Buku ke 13 ini tidak dilindungi dengan ©copyright , lha wong semua sumber ilmunya juga gratis. Jadi silahkan bila pembaca mau men-download, meng-copy,
menyebar luaskannya – insyaAllah halal dan menjadi kebaikan bagi siapa
saja yang mau berusaha mendekatkan diri dengan Al-Qur’an dalam segala
aspek kehidupannya – serta mengajak-ajak orang lain untuk menuju jalan
lurus yang sama. InsyaAllah.
Saat ini Buku ini telah dicetak dalam bentuk hardcopy/cetakan, dan telah tersedia di Gerai Dinar Surabaya.
Saat ini Buku ini telah dicetak dalam bentuk hardcopy/cetakan, dan telah tersedia di Gerai Dinar Surabaya.
13 Mei 2014
LAMBBANK : Jual-Beli Domba Semudah Menarik Uang Di Bank…
Semenjak saya memperkenalkan konsep Lambbank tiga pekan lalu,
begitu banyak pembaca situs ini yang antusias untuk mengetahui dan
ingin terlibat dalam project pemenuhan daging nasional ini. Maka melalui
tulisan ini saya jelaskan lebih detil tentang konsep dan
operasionalisasinya. Intinya adalah jual – beli domba
biasa plus pemeliharaannya, hanya kita buatkan systemnya agar Anda
dapat melakukannya semudah menarik uang Anda dari bank.
Lokasi
peternakan kami – Jonggol Farm, yang hanya 1.5 km dari pasar ternak
terbesar di Jabodetabek, yaitu pasar ternak Jonggol – sangat
memungkinkan untuk kami menjadi kepanjangan tangan Anda dalam menjual
atau membeli ternak khususnya domba dan kambing.
Kemudian
di area peternakan kami yang lumayan luas sekitar 12 hektar, juga akan
menjadi lokasi yang cukup memadai untuk memelihara domba atau kambing
Anda yang belum hendak dijual atau Anda ambil secara fisik.
Karena
pasar domba/kambing Jonggol hanya buka pada hari Senin , maka
keberadaan kami juga bisa menjadi buffer bagi para pedagang, peternak
besar, pengelola qurban, pengelola aqiqah, tukang sate dlsb. yang
membutuhkan domba atau kambing atau hendak menjual domba/kambingnya.
Dengan
mitra-mitra tersebut kami berinteraksi jual-beli domba atau kambing
secara fisik, namun dengan Anda tentu akan merepotkan bila setiap saat
Anda harus membawa domba atau mengambilnya dari kami. Maka disitulah
letak peran teknologi kami yang menjembatani interaksi Anda dengan pasar
domba/kambing dan juga peternakan yang memelihara domba Anda. Peran ini
dijelaskan dalam ilustrasi grafik berikut :
Teknologi
yang sama juga telah lama digunakan untuk mengelola Dinar (M-Dinar)
Anda, sehingga Anda tidak harus setiap saat mengambil dan menyetorkan
Dinar Anda secara fisik.
System
atau peran yang sama bisa saja nantinya dikembangkan untuk daerah dan
peternakan lain, tetapi yang diperlukan kurang lebih sama – yaitu
bagaimana bisa menjembatani masyarakat luas yang ingin jual-beli dan
memelihara domba atau kambing, namun karena satu dan lain hal tidak bisa
melakukannya sendiri.
Bila
system ini meluas nantinya insyaAllah, maka masyarakat akan bisa secara
luas memiliki domba atau kambing yang pada saat yang bersamaan juga
seperti memiliki hard cash karena domba atau kambingnya bisa dijual setiap saat – semudah menarik uang di bank.
System tersebut insyaAllah sudah siap saat ini dan Anda sudah bisa gunakan di situsnya langsung www.lambbank.com .
Pertanyaan-pertanyaan Anda yang sudah disampaikan ke kami selama ini,
kami sampaikan jawabannya secara sekaligus melalui tulisan “Tanya Jawab Seputar Lambbank” di situs tersebut. Demikian juga tentang syarat dan ketentuannya bila Anda hendak bergabung.
Kami
sarankan Anda membaca tulisan-tulisan tersebut sebelum bergabung,
bahkan kalau perlu juga datang dan membuktikan secara fisik bahwa
peternakan, stok domba dan pasar yang kami sebutkan di atas adalah
benar-benar ada.
Sama
dengan prinsip kami ketika memperkenalkan konsep Dinar, bahwa membuat
orang paham adalah lebih penting dari membuat orang membeli. InsyaAllah.
24 April 2014
Digaji Dengan Kambing, Mau…?
Salah
satu bukti kebenaran Islam itu terletak pada keadilan hukum-hukumnya
sepanjang jaman. Sejak jaman Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sampai
sekarang, orang yang melanggar larangan haji dendanya (dam) tetap
menggunakan standar kambing. Demikian pula untuk aqiqah ketika anak kita
lahir, tetap menggunakan kambing. Bayangkan kalau denda itu berupa uang kertas, harus terus menerus direvisi karena nilainya yang terus menyusut.
Standar
denda atau kewajiban berupa benda riil ini menjadikan manfaat denda
atau kewajiban tersebut tetap dapat dirasakan - atau dengan kata lain
tetap bernilai sepanjang jaman. Standar nilai terbaik berupa kambing
atau domba ini juga dikuatkan dalam dua hadis berikut :
Dari Abu Said berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Hampir saja harta muslim yang terbaik adalah kambing yang digembala di puncak gunung dan tempat jatuhnya hujan. Dengan membawa agamanya dia lari dari beberapa fitnah (kemungkaran atau peperangan sesama muslim)”. (H.R. Bukhari)
Dari Abu Hurairah R.A. dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Termasuk penghidupan manusia yang terbaik,
adalah seorang laki-laki yang memegang kendali kudanya di jalan Allah.
Dia terbang diatasnya (dia menaikinya dengan jalan yang cepat). Setiap mendengar panggilan perang dia terbang diatasnya dengan bersemangat untuk mencari kematian dengan jalan terbunuh (dalam keadaan syahid) atau mati biasa. Atau seorang laki-laki yang menggembala kambing di puncak gunung dari
atas gunung ini atau lembah dari beberapa lembah. Dia mendirikan
sholat, memberikan zakat dan menyembah kepada Tuhannya hingga kematian
datang kepadanya. Dia tidak mengganggu kepada manusia, dan hanya berbuat
baik kepada mereka.” (H.R. Muslim).
Berdasarkan dua hadits sahih tersebut kita menjadi paham kini bahwa
kambing adalah harta muslim terbaik dan menggembalakannya adalah
penghidupan terbaik setelah berjihad. Hal ini antara lain juga bisa
difahami dari manfaat atau kegunaan kambing-kambing atau domba tersebut.
Bila kambing atau domba tidak ada, dengan apa muslim mebayar dam-nya ?,
dengan apa dia ber-aqiqah ? dengan apa dia ber-qurban ?
Syariat
Islam akan terus tegak di muka bumi sampai akhir jaman, maka memelihara
sarana untuk penegakannya – antara lain seperti memelihara ketersediaan
kambing/domba tersebut – menjadi salah satu pekerjaan terbaik di muka bumi sampai akhir zaman.
Di
jaman modern ketika uang dibuat dari awang-awang berupa uang kertas –
yang nilainya terus menyusut, atau uang dibuat dari bit-bit digital
seperti bitcoin dan sejenisnya yang semuanya tidak memiliki acuan nilai
baku, maka menjadi semakin penting bagi umat ini untuk memiliki standar
nilainya sendiri. Standar nilai itu bisa berupa Dinar dan Dirham seperti
yang sudah diperkenalkan situs ini selama enam tahun terakhir, atau
dengan standar kambing yang sedang kami persiapkan segala systemnya.
Keduanya
memiliki kesamaan, Dinar dan Dirham mengacu pada nilai fisik emas dan
perak. Sedangkan kambing mengacu pada nilai fisik kambing atau domba.
Dinar dan Dirham bagi komunitas pembaca situs ini tentu sudah sangat
familiar seluk beluknya, tetapi bagaimana dengan satuan kambing ?
Dalam
sejarah Islam, kambing atau domba ternyata juga bukan hanya untuk
qurban, aqiqah, membayar dam, dan memenuhi kebutuhan daging sehari-hari. Tetapi
juga dipakai untuk standar gaji bagi para ulama, guru dan
profesi-profesi lain, ini sangat bisa dipahami karena kambing atau domba
dapat secara akurat merepresentasikan kebutuhan dan nilai yang berlaku
di masyarakat pada masing-masing jamannya.
Lantas
kalau sekarang kita sudah familiar memiliki tabungan dalam uang kertas –
yang sebenarnya kita sadari nilainya terus berkurang, sebagian kita
juga mulai mengenal uang digital – yang tidak memiliki nilai intrinsik –
mengapa tidak kita juga mengenal simpanan berupa harta terbaik
(berdasarkan hadis tersebut di atas) berupa kambing atau domba ?
Bayangkan
kalau tabungan Anda berupa kambing atau domba, bertambahnya nilai
tabungan Anda pun halal karena kambing atau domba secara hafiah dia
tumbuh dan beranak ! Beranak-pinaknya tabungan Anda-pun menjadi halal
karena berasal dari anak-pinak kambing-kambing Anda.
Tetapi
betapa merepotkannya bila masing-masing kita mengelola kambing atau
domba kita sendiri, belum lagi menyangkut keahlian menggembala yang
tidak semua kita bisa tentunya. Maka kunci solusinya ada dalam hadits : “Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal lahan gembalaan, air dan api” (Sunan Abu Daud, no 3745)
Kebun-kebun
yang kami kelola misalnya, bisa menjadi lahan gembalaan yang kami
syirkah-kan dengan Anda semua. Kami memiliki lahan gembalaan , lengkap
dengan sarana dan prasarananya – Anda yang memiliki kambing lengkap
dengan biaya pemeliharaannya. Hasil dari penggembalaan tersebut berupa
pertumbuhan berat dan anak-anaknya dapat kita bagi dua, demikian pula
dengan resiko-resikonya.
Dalam
skala terbatas, program ini telah berjalan antara kami dengan beberapa
orang. Bila eksperimen awal ini berjalan mulus, maka konsep ini
insyaAllah bisa di – scale-up sampai tingkat berikutnya.
Konsepnya
mirip dengan pengenalan Dinar dahulu, kami mulai dengan bersyirkah
dalam bentuk Qirad dengan beberapa orang, kemudian kami perkenalkan
versi scale-up-nya dengan M-Dinar.
Scale-up
syirkah penggembalaan kambing di lahan-lahan perkebunan, kehutanan dan
lahan-lahan yang khusus disiapkan untuk penggembalaan ini nantinya
insyaAllah akan kita rupakan dalam bentuk bank kambing atau domba –
dalam bahasa inggris kita sebut LambBank.
Namanya
bank tetapi bukan seperti bank finansial, dia lebih menyerupai bank
fisik yang digunakan oleh misalnya teman-teman aktivis lingkungan dengan
bank sampah-nya. Atau teman-teman aktivis kemanusiaan dengan bank
darah-nya. Kita-kita para aktivis sosial ekonomi muslim secara global
insyaAllah akan memiliki LambBank tersebut.
Persamaan dengan bank finansial hanyalah pada cara cara kerjanya. Di bank sampah Anda
menyetor sampah, di bank darah Anda menyetor maupun mengambil darah,
maka di LambBank Anda menyotor kambing/domba atau menarik kambing/domba.
Bila di bank finansial dikenal nilai tukar, di LambBank dikenal harga
jual-beli.
Menyetor
kambing tidak berarti Anda harus menuntun kambingnya ke cabang LambBank
terdekat – meskipun hal inipun dapat Anda lakukan – Anda dapat lakukan
dengan menyotorkan uang Anda kemudian dikonversikan ke setara kambing
pada harga jual saat itu.
Demikian
pula ketika Anda akan mengambil kambing Anda, bisa Anda ambil dalam
bentuk kambing fisik dan Anda tuntun ke rumah – atau kalau tidak mau
repot ya bisa dicairkan dalam nilai rupiah dengan menjualnya ke pihak
pengelola – yang kemudian dibeli pengelola dengan harga beli.
Bila
di bank finansial asset itu berupa tumpukan uang kertas di brankas ,
deposit mereka di bank sentral dan bank-bank lain, Asset LambBank adalah
kambing dan domba di lahan-lahan gembalaan yang dikelolanya dan juga
kambing/domba yang dikelola oleh mitra-mitranya.
Kehadiran LambBank ini akan memiliki multiplier effects
yang luar biasa. Selain memenuhi kebutuhan muslim yang terus tumbuh
untuk berbagai pelaksanaan syariat tersebut diatas, memenuhi
kebutuhannya akan protein hewani, melindungi nilai bahkan menumbuhkan
nilai para ‘deposan’ pemilik kambing, juga akan membalik negeri ini dari
defisit daging menjadi surplus daging.
Kok bisa ? bayangkan dalam kondisi pengelolaan peternakan seperti sekarang, siapa yang
mau berternak kambing, domba atau sapi ? Nyaris tidak ada, kecuali
beberapa konglomerat perdagingan. Petani tidak punya uang untuk
mengembangkan ternaknya, orang kebanyakan kayak kita-kita tidak memiliki
minat untuk beternak selain juga memang nyaris tidak tahu apa-apa
tentang ternak ini. Dampak dari situasi ini membuat kita tidak bisa makan daging secara cukup dan generasi kita terus melemah.
Keberadaan
LambBank akan membuat orang dapat beternak kambing atau domba semudah
membuka account di bank. Bagi Anda yang sudah familiar dengan system
M-Dinar, maka exactly seperti itulah Anda menyetor dan menarik kambing atau domba-domba Anda nantinya.
Lebih jauh konsep ini kita buat dalam bahasa Inggris LambBank karena dengan konsep ini pulalah kita ingin merubah positioning perdagingan kita di kancah global. Selama ini industri perdagingan kita passive dan defensive, kebobolan terus dalam menghadapi serbuan dari pemasar-pemasar daging dan susu dari seluruh penjuru dunia.
Setelah
adanya LambBank kebanyakan orang kayak kita-kita ini bisa beternak,
dana ke industri peternakan kambing dan domba akan mengalir dalam skala
besar. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan mindset
tentang lahan gembalaan, kebun-kebun, hutan, dan seluruh lahan hijau
tiba-tiba menjadi potensi penggembalaan yang luar biasa – maka bisa
dibayangkan dampaknya pada ketersediaan kambing dan domba di negeri ini.
Tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi
insyaAllah akan bisa kita gunakan untuk membanjiri pasar perdagingan
global.
Bersamaan
itu pula akan disosialisasikan bahwa daging kambing sesungguhnya lebih
baik dari daging sapi bahkan juga lebih baik dari daging ayam
berdasarkan tingkat kalori, lemak dan kholesterolnya menurut USDA
(United States Department of Agriculture).
Maka
sunnah seluruh nabi yang menggembala kambing atau domba ini, pasti
mengandung kebaikan yang sangat banyak. Kini Anda bisa bener-bener
belajar menggembala di lahan gembalaan kami, dan kalau inipun tidak
sempat – insyaAllah dalam waktu dekat Anda sudah bisa memiliki account
di LambBank atau bank kambing/domba Anda.
Bayangan
saya, dalam waktu yang tidak terlalu lama karyawan-karyawan perusahaan
akan rame-rame menuntut digaji dalam kambing – karena dengan itu tidak
lagi dibutuhkan negosiasi alot setiap tahun tentang UMR ! Ditengah uang
kertas yang terus runtuh nilainya, tidak bertambah nilainya kecuali
bercampur dengan riba. Tabungan domba atau kambing secara harfiah akan
tumbuh (domba dan kambing jadi besar) dan mereka juga akan terus
beranak.
Jadi, mau digaji dengan kambing ? – tunggu tanggal mainnya setelah infrastruktur penggembalaan dan system kami siap. InsyaAllah.
07 Maret 2014
Wabah dan Penyakit Kronis Finansial…
Ketika
Anda terkena flu dan bersin di ruang publik, besar kemungkinan
kerumunan orang di sekitar Anda akan ikut terkena flu. Seperti inilah
situasi pasar financial global di era teknologi informasi. Eropa yang
bersin-bersin beberapa tahun ini - terakhir hari-hari ini Ukraina – bisa
membuat negara-negara dalam ‘kerumunan’nya ikut terkena flu. Sama
dengan ketika Thailand bersin di tahun 1997 , yang kemudian terkena
‘sakit flu parah’ malah Indonesia. Bagaimana wabah ini menyerang urusan
finansial Anda dan bagimana Anda bisa menghindarinya ?
Emas atau Dinar
yang dalam beberapa bulan terakhir banyak dihindari orang justru ketika
harganya lagi murah, sebenarnya malah terbukti selama 10 tahun terakhir
mampu mengungguli seluruh inflasi harga-harga umum maupun harga makanan.
Emas Anda yang berharga 100 pada akhir tahun 2004, menjadi 408 pada
akhir 2013 !
Rata-rata
orang Indonesia mengalami dampak ‘flu berat’ Indonesia pada tahun 1997
tersebut. Penghasilan kita bila dinilai dalam mata uang Dollar atau
dinilai dengan emas saat itu terpotong sampai kisaran 75 %. Tidak semua
terkena memang, sama dengan dalam setiap wabah penyakit – orang yang fit
kondisinya dia bisa saja selamat dari serangan wabah yang hebat
sekalipun.
Siapa
orang-orang yang fit dan terbebas dari wabah finansial tersebut ?, dari
pengalaman tahun 1997 kita tahu bahwa mereka yang fit ini adalah
mereka-mereka yang mayoritas assetnya berupa benda riil atau terkait
langsung dengan benda riil yang dimiliki atau dihasilkannya.
Petani
kakao, cengkeh, kopi, sawit dlsb. yang orientasi produknya untuk ekspor
menjadi orang-orang yang beruntung saat itu. Dalam nilai Dollar
penjualan ekspor mereka tidak mengalami perubahan, namun karena Rupiah
yang merosot tinggal ¼-nya membuat income mereka melonjak 4 kalinya
dalam Rupiah.
Kelompok
pegawai adalah yang paling rentan dalam menghadapi wabah financial
seperti yang terjadi pada krismon 1997 tersebut. Pertama gaji mereka
tidak mengalami banyak perubahan, sementara barang-barang kebutuhan
apalagi yang mengandung komponen impor melonjak harganya.
Kedua
jerih payah mereka bertahun-tahun yang tersimpan dalam asuransi, dana
pensiun, tunjangan hari tua dlsb. tergerus nilainya tinggal
seperempatnya. Ibarat bongkahan batu karang, krismon 1997 adalah ombak
besar yang menghanyutnya ¾ bongkahan batu karang tersebut. Kemudian sisa
yang ¼-nya terkikis secara perlahan tetapi pasti oleh apa yang disebut
inflasi !.
Penyakit kronis yang bernama inflasi ini-pun juga tidak kalah dasyatnya dalam menggerogoti asset dan penghasilan pegawai.
Selama sepuluh tahun terakhir saja harga
barang-barang secara umum di Indonesia naik sebesar 90 %, artinya bila
akhir tahun 2004 sebuah barang harganya 100, akhir 2013 harga barang
tersebut menjadi 190. Harga makanan lebih menyolok lagi, yaitu bahan
makanan yang berharga 100 pada akhir 2004, menjadi 253 pada akhir 2013.
Lantas
bagaimana kita semua bisa melindungi asset dan penghasilan kita dari
wabah finansial dan penyakit kronis inflasi tersebut ? Asset-asset riil
umumnya bisa melindungi kita dari wabah maupun penyakit kronisnya.
Maka
saya mengulangi statement saya sebelumnya, bahwa saat
terbaik untuk melakukan investasi adalah justru ketika orang kebanyakan
rame-rame sedang melupakannya. Statistik yang loud and clear tersebut di atas, bisa menjadi dasar bagi yang berinvestasi karena memang tahu – dan bukan karena ikut-ikutan. InsyaAllah.
Langganan:
Postingan (Atom)
Disclaimer
Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.