RUU untuk redenominasi Rupiah ini sebenarnya sudah disampaikan pemerintah ke DPR dan
bahkan seharusnya masuk prioritas Prolegnas tahun 2013, namun karena
redenominasi yang akan mengurangi tiga angka nol pada uang kita tersebut
juga beresiko – maka pembahasannya nampaknya ditunda.
Resiko
ini diungkapkan bahkan oleh menteri keuangan Republik Indonesia sendiri
melalui situs resmi Departemen Keuangan, apabila gagal rencana
redenominasi tersebut akan berdampak terhadap inflasi yang akan menjadi
tingggi . “ Ada resiko inflasi. Kalau situasinya sudah lebih baik mungkin (redenominasi Rupiah) bisa dilakukan” ujar Menkeu.
Pertimbangan
faktor resiko inilah antara lain yang membuat wacana redenominasi yang
sudah ramai dibicarakan dalam lima tahun terakhir urung dilaksanakan.
Tetapi ini seperti bom waktu yang diteruskan dari satu pemerintahan ke
pemerintahan berikutnya, suatu saat harus ada yang berani mengambil
keputusan.
Redenominasi
mestinya sudah harus dilakukan di akhir 90-an ketika kurs Rupiah
melewati angka Rp 10,000. Dampak dari angka nol yang terlalu banyak ini
menimbulkan masalah di system IT bukan hanya di perbankan dan lembaga
keuangan di Indonesia , tetapi juga di seluruh dunia yang mengakomodasi
mata uang Rupiah.
Angka
nol yang terlalu banyak juga memberi kesan ‘kurang bernilainya’ mata
uang Rupiah ini di mata internasional. Rupee-nya India mestinya sama
saja kekuatannya dengan Rupiahnya Indonesia, tetapi karena 1 Rupee
nilainya hampir Rp 200 ,- maka seolah Rupee lebih kuat atau lebih
berharga dari Rupiah.
Angka
nol yang terlalu banyak – yang kemudian perlu dipotong juga menjadi
karakter dari negeri-negeri yang mempunyai problem dengan nilai mata
uangnya. Kita bisa tahu ini dari negara-negara lain yang pernah
mengalaminya seperti Islandia
(1991), Rusia (1998), Meksiko (1993), Polandia (1995), Ukraina (1996),
Peru (1991) , Bolivia (1987) dan yang fenomenal Turki (2005) dan
Zimbabwe (2009).
Ketika
Turki berani melakukan redenominasi mata uangnya lira tahun 2005 lalu,
mereka tidak tanggung-tanggung harus membuang enam angka nolnya. Angka
1,000,000 lira menjadi 1 lira saja. Ini harus dilakukan Turki untuk
merespon tingginya angka inflasi selama 35 tahun (1970-2005), sehingga
mau tidak mau harus mereka lakukan bila tidak ingin angka nol di mata
uangnya menjadi semakin terlalu banyak.
Kadang
angka nol yang harus dihapus itu begitu banyaknya sehingga mata uang
yang lama harus diganti sama sekali karena sudah tidak relevan lagi.
Contohnya adalah yang terjadi di Zimbabwe (2006-2009), ketika mata
uangnya yang tetap bernama Zimbabwean Dollar tetapi secara bertahap
berganti singkatan dari semula ZWD ke ZWN kemudian ke ZWR sebelum
akhirnya menjadi ZWL. Bersamaan dengan pergantian singkatan ini pula 9
angka nol dihilangkan.
Intinya
adalah pada suatu titik, pemerintah harus berani melakukan redenominasi
itu bila memang harus dilakukan. Dia tidak bisa meneruskan problem
kebanyakan angka nol ini terus menerus ke pemerintahan berikutnya dan
berikutnya lagi.
Ekonomi
mungkin terganggu sesaat oleh gejolak inflasi, tetapi setelah itu akan
banyak manfaatnya bagi kita semua. Kita akan bangga misalnya ketika
menukar uang Rupiah kita di Mekah atau Madinah dari setiap Rp 3 kita
sudah mendapatkan 1 Saudi Riyal, tidak seperti saat ini 1 SAR harus kita
tebus dengan Rp 3,122 !
Dari
waktu ke waktu nilai tukar mata uang Rupiah negeri manapun akan
cenderung terus menurun, ada yang penurunannya drastis sehingga harus
di-redenominasi dan ada yang penurunannya biasa-biasa saja. Mata uang
kertas juga menjadi instrumen untuk perang dagang seperti yang terjadi
antara Amerika Serikat dan China.
Maka
tidak bisa lagi kita mengukur kekuatan mata uang Rupiah kita dengan
Dollar misalnya. Bulan Juli 1998 US$ 1 = Rp 14,000; bulan Juli 2014 ini
US$ 1 = Rp 11,700. Apakah berarti uang Rupiah kita saat ini jauh lebih
kuat dari Juli 1998 ? Ternyata tidak sama sekali.
Ini
bisa kita lihat kalau uang tersebut dipakai untuk membeli benda riil
yang baku harganya sepanjang zaman seperti emas misalnya. Untuk membeli 1
gram emas dibutuhkan sekitar Rp 130,000 pada bulan Juli 1998, dan di
bulan Juli 2014 ini kita butuh sekitar Rp 500,000 untuk bisa membeli 1
gram emas yang sama.
Kita
bisa melihat sekarang bahwa meskipun seolah Rupiah menguat dibandingkan
mata uang Dollar selama era reformasi hingga kini, namun daya belinya
terus menurun tinggal sekitar ¼-nya saja sejak puncak krisis 1998. Artinya bahkan terhadap puncak krisis 1998 tersebut daya beli riil uang kita sekarang jauh lebih lemah lagi !
Bayangkan
sekarang realitas bahwa mayoritas asset pegawai tersimpan di Rupiah
dalam berbagai bentuknya, mulai dari tabungan, deposito, tunjangan hari
tua, asuransi dlsb. Bila dalam perjalanan karir Anda 16 tahun terakhir
saja daya beli riil uang Anda tinggal ¼-nya, apa yang akan terjadi
ketika Anda pensiun 16 tahun yang akan datang ?
Maka
tidak berlebihan bila situs ini mengkampanyekan proteksi nilai sejak 7
tahun lalu, karena serendah-rendahnya harga emas atau Dinar seperti
sekarang ini – dia tetap mampu memberikan perlindungan nilai jangka
panjang hingga kini. Justru periode harga rendah seperti inilah
sebenarnya memberi kesempatan kita untuk melakukan proteksi nilai secara
lebih baik dengan menambah portfolio emas atau Dinar kita.
Uang
baru dan bahkan redenominasi bisa saja menjadi isu sesaat, tetapi yang
lebih hakiki sebenarnya adalah upaya untuk mempertahankan daya beli dari
hasil jerih payah kita. Bila redenominasi adalah domain pemerintah dan
kita tinggal menerima realita dan dampaknya, tidak demikian dengan isu
proteksi nilai atau upaya mempertahankan daya beli ini – kita dapat
melakukannya sendiri sekarang dan disini ! Insya Allah.
asalamualaikum.. salam kenal..semoga gerai dinar senantiasa maju dan sukses.. amin
BalasHapussebuah blog yang bermanfaat, semoga bisa terjalin kerjasama dengan kami.
BalasHapussalam hangat - jabat erat
sewa mobil surabaya - sewa mobil sidoarjo - sewa bus pariwisata - CV ARI MANDIRI
Saya ada koin emas 50 dinar dari jordania terima brp?
BalasHapus