Dahulu di masa saya kuliah awal tahun 80-an, hanya ada satu televisi di negeri ini yaitu TVRI. Karena waktu itu TVRI dilarang beriklan, acaranya lumayan bermutu – banyak drama-drama bagus yang nampaknya di seleksi dengan baik oleh TVRI. Sekarang stasiun TV sangat banyak, tetapi saya kesulitan untuk mencari acara yang bagus – jadi saya sangat jarang nonton televisi.
Diantara acara TV tahun 80-an yang menampilkan acara dagelan malah membekas di kepala saya, karena acara tersebut memberi saya pelajaran tentang persaingan pasar yang tidak sehat – yang kita hadapi sehari-hari sampai kini.
Di acara tersebut ditampilkan dua orang tukang cukur yang berdampingan operasinya satu sama lain – katakanlah tukang cukur A dan B. Awalnya untuk menggaet pelanggannya, tukang cukur A menawarkan tarif yang lebih murah dibandingkan B. Kemudian B tidak terima perlakuan ini, ikut-ikutan menurunkan tarif sehingga lebih murah dari tarif A. Begitu seterusnya sampai keduanya menerapkan tarif Nol untuk pelanggannya.
Persaingan tidak berhenti disini, karena tukang cukur A bukan hanya menawarkan tarif Nol – dia menawarkan service tambahan ke kliennya berupa dipijit gratis. B-pun tidak mau ketinggalan, dia memberikan cukuran dengan tarif Nol, ditambah pijit gratis dan diantar pulang juga gratis. Buntutnya apa ?, dua tukag cukur ini pasti bangkrutnya gara-gara persaingan yang tidak sehat.
Meskipun nampaknya konyol, kejadian mirip dengan acara dagelan jadul tersebut sesungguhnya banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dahulu saya pernah menjabat sebagai ketua Biro Tarif – Dewan Asuransi Indonesia selama dua periode (6 tahun). Sebagai ketua Biro Tarif, tugas saya mengeluarkan rekomendasi suku premi yang wajar di industri asuransi Indonesia – yang kami olah berdasarkan profile 800-ribuan risiko di Indonesia. Bahkan kita buat software agar para anggota mudah menggunakannya.
Namun apa yang terjadi di pasar ?, sangat sedikit perusahaan asuransi umum yang menggunakan statistik tersebut sebagai rujukan ketika menentukan preminya. Yang lebih menentukan adalah persaingan banting-bantingan rate yang ada di pasar. Bila sesuatu yang besar terjadi, besar kemungkinan perusahaan-perusahaan asuransi umum Indonesia akan berguguran karena ketidak cukupan premi yang mereka kumpulkan dibandingkan dengan eksposure risiko yang menjadi tanggungannya.
Bukan hanya di Industri asuransi, di industri telekomunikasi-pun nampak adanya persaingan yang tidak sehat a la dagelan tukang cukur ini. Ada salah satu operator yang mengiklankan tarif Nol Rupiah; kemudian yang lain mengiklankan bahwa Nol Rupiah bukan tarif, tetapi kemudian muncul tariff 0.00000….1 Rupiah yang sejatinya Nol juga. Saya tidak yakin layanan mereka akan berkelanjutan bila tetap bersaing secara tidak sehat demikian.
Terkait dengan tulisan saya kemarin tentang Tinggalkan Dollar…, ada seorang pembaca yang menanyakan kalau Amerika berusaha menurunkan nilai US$-nya terhadap Renminbi China agar kompetitif, apakah China juga tidak berusaha yang sama untuk mempertahankan competitiveness- nya ? . Betul sekali, itulah sebabnya perlu negosiasi terus menerus antara kedua negara karena keduanya mempunyai kepentingan yang sama yaitu agar nilai tukar mata uangnya lebih rendah satu sama lain.
Buntutnya persis seperti tukang cukur, perusahaan asuransi dan perusahaan telekomunikasi tersebut diatas. Ketika Amerika sudah berhasil membuat uangnya lebih kompetitif dibandingkan China, China-pun tidak akan membiarkan hal ini berlangsung lama – mereka akan menurunkan nilai tukarnya sebelum ekonominya ambruk karena andalan produk ekspor menjadi tidak kompetitif. Begitu seterusnya proses spiral penurunan nilai mata uang kertas ini berlangsung, sampai uang kertas ini benar-benar tidak ada nilainya.
Proses spiral ini tidak hanya berlaku antara Amerika dan China, melainkan berlaku di seluruh mata uang kertas dunia. Ketika yang lain nilainya turun, negara yang mata uangnya tetap tinggi – pasti akan tidak mampu bersaing di kancah perdagangan dunia.
Lantas bagaimana dengan kita konsumen dari tukang cukur, asuransi, telekomunikasi dan uang kertas ini ?. Tetap berpikir logis, harga bukan satu-satunya dalam pemilihan produk barang atau jasa – termasuk uang kertas ini; kwalitas dari value for money dan layanan yang berkelanjutan (sustainable services) lebih berharga dari sekedar harga yang rendah…Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini