Strategy
ini bahkan juga termasuk yang diresepkan oleh IMF (Internasional
Monetary Fund) sejak awal tahun 1980-an untuk negara-negara berkembang.
Alasannya ya itu tadi, untuk mengurangi konsumsi impor dan menaikkan
daya saing ekspor.
Teorinya
adalah bila daya saing produk-produk yang diekpsor dari suatu negara
kuat, maka akan banyak permintaan untuk produk tersebut dan meningkatkan
pula Gross Domestic Products (GDP). Tingginya GDP yang melebihi pertambahan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan penduduk negeri yang bersangkutan.
Di
antara negara-negara di dunia, China yang paling sering dituduh oleh
negara mitra dagangnya terutama Amerika bahwa mereka (China) merendahkan
nilai tukar uangnya secara tidak wajar. Keunggulan China dalam ekspor
selama ini adalah karena currency wars ini – kata Amerika.
Lebih
jauh , calon presiden Amerika yang akan mengikuti pemilihannya minggu
depan – Mitt Romney punya tekat bahwa bila dia terpilih sebagai
presiden, dia akan men-cap China sebagai currency manipulator.
Ini akan bisa memicu perang mata uang dan perang dagang berikutnya,
yang bukan hanya melibatkan dua negara Amerika dan China – tetapi
seluruh negara lain akan terpaksa terlibat.
Sebagaimana
perang yang selalu membawa korban, demikian pula dengan perang antar
uang ini. Korban utamanya adalah masyarakat yang berpenghasilan tetap
dan masyarakat yang tabungannya dalam mata uang kertas negeri yang
bersangkutan.
Ketika
daya beli mata uang kertas diturunkan baik secara mendadak dengan
devaluasi ataupun secara bertahap melalui inflasi, daya beli uang
masyarakat tentu ikut menurun – maka menurun pulalah tingkat
kemakmurannya.
Daya
beli tabungan mereka dalam segala bentuknya baik berupa deposito,
tabungan, asuransi, dana pensiun , tunjangan hari tua, dana pesangon
dlsb. ikut turun nilainya – sehingga bukan hanya kemakmuran saat ini
yang terganggu – tetapi juga kemakmuran jangka panjang kedepan.
Pemerintah China nampaknya tahu betul dampak currency wars
yang mereka termasuk pemain utamanya (meskipun tidak pernah diakuinya)
terhadap penurunan kemakmuran rakyatnya baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang ini. Tetapi mereka juga punya solusinya.
Solusi
yang ditempuh pemerintah China adalah mempermudah dan bahkan
memfasilitasi rakyatnya untuk bisa secara rame-rame menabung emas.
Masyarakat China sangat paham atas fungsi emas dalam mempertahankan
kemakmuran mereka.
Lantas bagaimana dengan kita-kita yang hidup di negara yang (mau tidak mau) juga terlibat dalam currency wars,
uang kita terus menurun daya belinya tergerus oleh inflasi – tetapi
tidak ada kebijakan atau dorongan dalam bentuk apapun dari pemerintah
untuk kepemilikan emas masyarakat ?.
Jawabannya ada di salah satu hadits shoheh yang diriwayatkan oleh sejumlah perawai berikut : “ (Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda,
juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai” (Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Mengapa hadits ini bisa menjadi jawaban atas problem kita yang hidup di tengah currency wars ?, karena hadits tersebut memberi kita contoh sejumlah benda riil yang memiliki nilai intrinsic
– yang bisa berperan sebagai uang. Uang dalam arti yang sesungguhnya,
yang mampu mempertahankan nilai (store of value), yang bisa menjadi
satuan nilai (unit of account) dan tentu juga bisa berperan sebagai alat
tukar (medium of exchange).
Pertanyaan
berikutnya adalah dimana benda-benda riil tersebut menjadi uang yang
sesunggungnya, uang dengan ke tiga fungsinya tersebut di atas ?.
Jawabannya adalah sederhana yaitu di pasar !. Manakala kita bisa
menciptakan pasar untuk benda riil – apapun , maka dia menjadi uang yang
sesungguhnya.
Garam
misalnya yang termasuk disebut dalam hadits tersebut di atas. Siapa
yang butuh ber-ton-ton garam ini ?, itulah pasar dari jutaan penduduk – yang tidak bisa tidak membutuhkan garam
untuk masakannya. Uang bagi para pedagang ini ya garamnya, ketika Rupiah
terus mengalami penyusutan daya beli melalui inflasi – gampang saja
bagi mereka ini, tinggal menyesuaikan harga jual garamnya.
Bukan
hanya garam, gandum, beras dan sejenisnya benda riil yang bisa menjadi
uang – benda riil apapun asal sudah tercipta pasarnya – dialah uang
yang sesungguhnya itu.
Maka
sejauh kita bisa menciptakan pasar untuk segala bentuk kebutuhan
masyarakat kita, baik berupa emas/Dinar, garam, beras, kebun, dlsb.dlsb,
insyaallah kita bisa melindungi diri dari menjadi korban currency wars. Selama masih ada ‘garam’ , perang antar mata uang itu masih bisa kita menangkan !. Insyaallah…
ternyata pertarungan di pasar uang bisa bikin pusing ya, sambil manggut2 mencoba mengerti
BalasHapus