Cadangan
emas yang saya maksud disini adalah cadangan emas yang dikuasai oleh
bank sentral masing-masing negara. Sumber datanya adalah dari World Gold
Council per Desember 2013.
Nampaknya
penguasaan cadangan emas ini juga berkorelasi dengan tingkat pendapatan
penduduknya. Amerika memiliki GDP per capita hampir US$ 50,000,-, Eropa
di kisaran angka US$ 33,500,- sementara rata-rata penduduk
negeri-negeri OKI hanya berpenghasilan sekitar US$ 3,850,- per capita.
Apa
penyebab ketimpangan ini ? ini seperti ayam dan telur. Ada ayam dahulu
kemudian ada telur atau sebaliknya ada telur dahulu baru kemudian lahir
ayam. Jawabannya jelas, keduanya memungkinkan. Ada ayam dahulu kemudian
bertelur atau ada telur dahulu kemudian lahir ayam.
Demikian
pula dengan emas dan penguasaan ekonomi. Bisa karena kemakmurannya maka
negeri-negeri kaya menguasai emas, tetapi bisa juga sebaliknya karena
tidak mengusai (menggunakan) emasnya dengan baik – maka negeri-negeri
mudah termiskinkan.
Negeri-negeri
dengan cadangan emas rendah menjadi lebih labil ekonominya dan rentan
terhadap devaluasi mata uangnya. India dan Indonesia yang mata uangnya
terkoreksi significant sepanjang 2013 lalu misalnya, keduanya memiliki
cadangan emas yang rendah. India cadangan emasnya 7 %, mata uangnya
tahun lalu terkoreksi 14 %. Indonesia cadangan emasnya 3.5 %, terkoreksi
sampai 26 % !
Data-data ini bisa jadi tidak hubungannya, tetapi
bisa juga erat kaitannya dengan penguasaan hasil-hasil sumber daya alam
di negara-negara yang bersangkutan. Indonesia misalnya ironi sekali
kita hanya memiliki cadangan emas 3.5 % dari cadangan total kita,
padahal negeri ini adalah produsen emas ke 7 dunia dengan produksi
sekitar 182.4 ton per tahun. Lha kok cadangan emas kita di bank sentral hanya 78.1 ton setelah 68 tahun merdeka ? ke mana produksi emas kita setiap tahunnya ?
Ketika kekayaan kita good money ( emas, hasil tambang ) ditukar dengan bad money
(US$ dan uang kertas lainnya) secara terus menerus sejak negeri ini
merdeka hingga kini, inilah yang kemudian mengindikasikan proses
pemiskinan yang terjadi di negeri ini. Sama dengan sebuah rumah tangga,
dia bisa tampil glamour dan makan terus menerus – tetapi dengan menjual
aset riilnya setiap saat, bisa ditebak akhirnya akan seperti apa.
Maka menjadi tantangan para (calon) pemimpin negeri ini – yang tahun ini pada berlomba rumongso iso (merasa bisa) – memakmurkan negeri ini, bagaimana memakmurkan penduduk negeri ini dengan cara yang riil, bukan
sekedar angka dan bukan dengan cara menguras sumber daya alam.
Bagaimana penduduk negeri ini bisa makmur yang sesungguhnya tanpa harus
menjual aset-aset kita berupa hasil tambang, hutan dan sejenisnya.
Salah
satu indikatornya ya kembali ke cadangan emas di atas. Bila hutan di
tebang kita sulit untuk tahu berapa banyak hutan kita berkurang, bila
minyak dan gas dikuras – kita juga tidak mudah untuk tahu berapa banyak
yang masih tersisa. Tetapi bila orang-orang diluar sana – yang terwakili
oleh World Gold Council (WGC) saja tahu bahwa setiap tahun kita
memproduksi 182.4 ton emas, lha kok
cadangan emas di dalam negeri setelah 68 tahun merdeka hanya kurang
dari ½ produksi emas setahun – maka jelaslah ini mengindikasikan bahwa
kita ‘makan’ emas itu – i.e. kita tukar dengan bad money kemudian untuk membiaya impor bahan makanan kita, gandum, daging, susu sampai juga minyak.
Lantas bagaimana solusinya agar kita bisa makmur tanpa ‘makan’ emas, minyak , gas dlsb yang bersifat non-renewable resources ? Jawabannya ya kita harus menanam makanan kita sendiri – kita harus makan dari sumber yang renewable. Petunjuknya-pun jelas, bahwa negeri yang baik –
Bukan negeri tambang – yang penduduknya makan dengan menguras isi perut
bumi, bukan pula negeri hutan yang penduduknya makan dengan menebang
hutan sampai gundul. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silakan masukkan komentar dan pertanyaan anda disini