Ada teman saya yang ahli pertanian dan telah lebih dari seperempat abad terjun langsung di lapangan dengan ilmu dan pengalamannya, dia kini piawai memilih apa-apa yang ditanamnya dan apa yang tidak. Yang dia tanam kini mayoritasnya adalah tanaman jangka panjang yang telah diriset dengan baik pasarnya hingga sepuluh dua puluh tahun kedepan, yang dia tidak tanam adalah tanaman-tanaman musiman yang mudah sekali ditiru orang dan mudah terjadi over supply ketika musim panen tiba.
Di tanaman semusim-pun dia dahulu melakukan riset dengan teliti kebutuhan pasarnya, sehingga dia awalnya menanam jenis-jenis tanaman yang sering berbeda dengan yang ditanam orang lain. Namun kemudian karena melihat hasilnya, banyak petani lain suka ‘ngintip’ apa yang ditanam teman saya ini kemudian mengikutinya. Lama kelamaan yang mengikutinya cukup banyak sehingga ketika panen tiba kembali over supply dan harga jatuh.
Demikianlah rata-rata petani kita, ketika tetangganya sukses bertanam melon maka dia ikut-ikutan menanam melon, bila ada yang sukses bertanam cabe – maka rame-rame nanam cabe yang buntutnya tidak menguntungkan siapapun karena ketika musim panen selalu anjlog harganya.
Tetapi kebiasaan anut grubyug ini sesungguhnya bukan monopoli para petani saja, hampir seluruh perilaku masyarakat mengikuti pola ini – pola kegilaan massal atau dalam bahasa Inggrisnya disebut madness of crowds – tetapi saya sendiri lebih menyukai istilah bahasa jawa yang saya anggap pas yaitu anut grubyug tadi.
Di akhir tahun 80-an ketika awal-awalnya bursa saham Indonesia memasyarakat orang rela antri berjam-jam untuk membeli saham perdana dari nyaris perusahaan apapun yang akan go public. Tidak perduli perusahaan tersebut baik atau tidak, orang tetap menyerbu karena saat itu besar peluangnya harga melonjak ketika saham yang mereka beli mulai diperdagangankan di bursa.
Di awal 90-an ketika apartemen murah mulai diperkenalkan oleh sebuah group usaha di Jakarta, orang rela mengantri sejak sehari sebelumnya untuk membeli apartemen. Bahkan teman-teman saya yang saat itu belum mampu membeli apartemen-pun ikut-ikutan mengantri karena peluang untuk membelinya saja bisa diperjual –belikan.
Dan yang terakhir yang kita saksikan beberapa pekan lalu di Logam Mulia – Antam, orang rela mengantri dari tengah malam untuk mendapatkan kesempatan membeli emas keesokan harinya – padahal harga lagi tinggi-tingginya. Ironinya orang malah tidak mengantri lagi ketika harga lagi rendah seperti hari-hari ini.
Anut grubyug atau ikut-ikutan inilah yang selalu berulang di berbagai sendi kehidupan.
Selama lebih dari tiga tahun memperkenalkan Dinar atau emas, memang ada fenomena aneh yang dapat saya tangkap. Puncak-puncak pembelian masyarakat justru terjadi ketika harga lagi tinggi-tingginya, puncak pembelian berikutnya terjadi ketika harga baru turun dari harga tinggi sebelumnya.
Ketika harga terus beruntun turun untuk beberapa lama, pembelian emas atau Dinar justru ikut turun. Rupanya tidak banyak orang yang menggunakan trend jangka panjang sebagai acuannya untuk mengambil keputusan investasi. Di situs inipun sebenarnya selalu terpampang trend jangka panjang setahun atau bahkan 10 tahun, jadi sebenarnya cukup informasi untuk mengambil keputusan investasi Anda dengan pertimbangan jangka panjang dan bukan karena ikut-ikutan atau anut grubyug. InsyaAllah hasilnya akan lebih baik bila Anda ‘mengerjakan PR’ dahulu dengan banyak membaca, ketimbang sekedar mengikuti kemana arus orang banyak berinvestasi. Wa Allahu A’lam.
Salam kenal dari Gerai Dinar Pekalongan.
BalasHapusSemoga Dinar dan Dirham makin merakyat di Indonesia. Amin.
Kunjungi Gerai Dinar Pekalongan di:
http://bmt-geraidinarpekalongan.blogspot.com