Saat
ini kita menggunakan Rupiah, Dollar, Euro, Riyal dlsb. dan mengira
itulah uang. Apa yang kita kenal sebagai uang ini sesungguhnya hanyalah
currency atau alat tukar sesaat. Untuk menjadi uang yang sesungguhnya,
sesuatu itu harus bisa memerankan tiga hal sekaligus yaitu medium of
exchange, unit of account dan store of value. Rupiah, Dollar, Euro dlsb,
tidak bisa memerankan ketiga fungsi tersebut karena nilainya terus
menyusut. Sesuatu yang menyusut tidak bisa menjadi unit of account,
apalagi store of value. Jadi apa yang bisa berperan menjadi uang yang
sesungguhnya ?
Bahkan
sebagai medium of exchange-pun currency manapun perlu terus diwaspadai
karena selalu ada resiko sewaktu-waktu nilainya berubah total, dan ini
bisa saja terjadi secara global atau yang dikenal sebagai global
currency reset.
Dalam
sejarah uang misalnya, berapa lama sih usia Rupiah, Dollar, Deutsche
Mark-nya Jerman ? Rupiah keberadaannya kurang lebih seusia republik ini,
itupun Rupiah tahun 50-60-an jelas sangat berbeda dengan Rupiah
sekarang – karena tahun 1965-1966 rupiah di-reset nilainya dengan
menghilangkan tiga angka nol atau saat itu dikenal dengan sanering.
Negeri
adidaya teknologi seperti Jerman-pun uangnya terus berubah sejak Perang
Dunia 1, Weimer Republic dan Perang Dunia II. Dan uang kebanggaan
mereka Deutsche Mark-pun akhirnya berakhir dengan berlakunya Euro
sekitar 15 tahun lalu.
Dollar
yang perkasa hingga kini keberadaannya baru sekitar seratus tahun dan
daya belinya-pun terus berubah. Dollar sekarang jelas berbeda dengan
Dollar sebelum 1971 ketika Dollar mulai dilepas dari ikatannya terhadap
emas.
Walhasil
uang yang kita kenal adalah currency – yang hanya berlaku selama
periode tertentu – dan sewaktu-waktu bisa mengalami perubahan, baik yang
sifatnya gradual melalui inflasi, maupun yang sifatnya mendadak seperti
devaluasi, sanering atau yang lagi ramai dibicarakan secara global
sekarang adalah apa yang disebut global currency reset – yaitu resiko
dadakan bila sejumlah negara tiba-tiba harus menurunkan atau mengubah
daya beli uangnya.
Apa
resiko yang bisa menimpa kita bila ini terjadi ? Di negeri ini
setidaknya kita sudah pernah mengalaminya dua kali. Yaitu ketika terjadi
sanering 1965/1966 dan ketika daya beli uang kita turun tinggal ¼-nya
terhadap Dollar dan mata uang kuta lainnya pada krisis moneter
1997/1998.
Pengalaman
ini menunjukkan bahwa resiko currency reset secara global memang ada,
dan resikonya bahkan lebih besar dari resiko gempa bumi baik dari sisi
severity maupun dari sisi frequency-nya.
Di
ilmu saya yang lama – ketika membuat produk asuransi gempa bumi –
misalnya. Produk ini sangat laris dan hampir semua gedung bertingkat di
Jakarta dan kota-kota besar pasti membelinya. Bisa karena kesadaran
sendiri, atau karena diharuskan oleh bank yang membiayai gedung-gedung
tersebut – yang semuanya takut akan resiko gempa bumi.
Bagaimana
industri asuransi menyiapkan proteksi-nya agar bila terjadi sesuatu
yang sangat besar mereka tetap bisa membayarnya ? Mereka bekerjasama
dengan berbagai industri asuransi dan reasuransi dalam dan luar negeri
untuk menyediakan proteksi dengan nilai yang diperkirakan cukup. Berapa
nilai yang dianggap cukup itu ?
Mereka
membuat skenario berdasarkan frequency – kemungkinan terjadinya suatu
resiko, dan berdasarkan severity – tingkat kerusakan bila resiko itu
bener-bener terjadi. Frequency yang diambil biasanya atas gempa bumi
dalam siklus tertentu seperti siklus 100 tahunan dst. Sedangkan
severity, biasanya diambil dalam persentase kerusakan tertentu misalnya
15 % -30 %.
Semakin
tinggi frequency (semakin dekat dari satu kejadian ke kejadian lainnya)
dan semakin tinggi severity – akan melonjakkan biaya asuransi atau yang
dikenal sebagai premi.
Nah
sekarang dengan teori resiko tersebut, bagaimana kalau kita terapkan
terhadap resiko yang kita hadapi berupa currency reset, devaluasi,
sanering atau apapun namanya ? Dalam 50 tahun terakhir kita mengalami
dua kali kejadian yaitu sanering 1965/1966 dan krismon 1997/1998.
Artinya frequency rata-rata kita sekitar 25 tahun-an atau jauh lebih cepat dari frequency gempa bumi yang digunakan dasar perhitungan di industri asuransi !
Dari
sisi severity, tidak terhitung kerugian kita ketika uang Rp 1,000 kita
menjadi uang Rp 1,- seperti tahun 1965/1966. Yang lebih mudah dihitung
adalah ketika property gedung-gedung di Indonesia pada
umumnya, nilainya dalam Dollar turun menjadi sekitar ¼-nya pada tahun
1997/1998. Artinya kerugian dalam Dollar yang dialami para pemilik
gedung tersebut adalah 75% saat itu ! lagi-lagi jauh lebih tinggi dari
PML (Possible Maximum Loss)-nya gempa bumi dasyat yang diperkirakan di
kisaran 15% - 30 % tingkat kerusakan !
Gedung-gedung
tersebut memang akhirnya masih exist tegak berdiri, tetapi pemilik
gedung atau pemilik usahanya bahkan telah begitu banyak yang pindah ke
tangan-tangan asing yang uangnya tidak ter-devaluasi seperti yang kita
alami tahun 1997/1998.
Para
pemilik gedung atau bangunan bisa membeli produk asuransi untuk
memproteksi resiko gempa bumi. Tetapi apakah mereka bisa memproteksi
terhadap resiko yang lebih dasyat dari gempa bumi tersebut ?
Ternyata
mayoritas kita tidak aware masalah resiko yang sangat besar berupa
potensi hilangnya daya beli kita sewaktu-waktu ini. Padahal bila
mengambil frequency resiko kita yang berulang di kisaran angka 25 tahun
tersebut, kini kita sudah berjalan mendekati 20 tahun sejak 1997 - artinya resiko besar itu bisa saja mengancam kita dalam kisaran lima tahun lagi !
So
what ? what we can do ? beli asuransi ? – tidak ada yang mampu
menyediakan proteksi untuk currency risk ini. Tetapi Alhamdulillah kita
diberi solusi olehNya langsung.
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras gandum
dengan beras gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, jumlah
(takaran atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau mempertukarkannya sesukamu, sejauh dilakukan dari tangan ke tangan (tunai)” (HR. Muslim)
Jadi kita tidak perlu membeli asuransi untuk menghadapi currency risk yang lebih dasyat dari gempa bumi, ayat dan hadits tersebut di atas adalah solusinya. Solusi itu ada di Dinar emas, Dirham perak, bahan pangan kita, bibit-bibit tanaman kita dan segala kebutuhan kita lainnya yang memang membawa nilai intrinsic-nya masing-masing – true value yang tidak akan terpengaruh oleh nilai currency.
Jadi kita tidak perlu membeli asuransi untuk menghadapi currency risk yang lebih dasyat dari gempa bumi, ayat dan hadits tersebut di atas adalah solusinya. Solusi itu ada di Dinar emas, Dirham perak, bahan pangan kita, bibit-bibit tanaman kita dan segala kebutuhan kita lainnya yang memang membawa nilai intrinsic-nya masing-masing – true value yang tidak akan terpengaruh oleh nilai currency.
Dan
ini juga terbukti di jaman ini, ketika terjadi krisis financial hebat
di Argentina tahun 2001 masyarakatnya mengembangkan kearifan lokal
dengan menanam apa saja di halaman rumahnya. Hasilnya kemudian bisa
di-barter dengan kebutuhan lain dengan masyarakat lainnya. Ketika tahun
2014 krisis yang sama berulang di negeri tersebut, masyarakat sudah
pengalaman dalam mensikapinya.
Apakah
kita siap bila krisis yang sama tahun 1997/1998 berulang di kita ?
Dengan membaca tulisan inipun dan kemudian menindak lanjutinya dengan
langkah konkrit di sini dan saat ini juga, maka insyaAllah kita juga
siap !