Pergerakan Harga Dinar 24 Jam

Dinar dan Dirham

Dinar dan Dirham
Dinar adalah koin yang terbuat dari emas dengan kadar 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak Murni dengan berat 2,975 gram. Khamsah Dirham adalah koin yang terbuat dari Perak murni dengan berat 14,875 gram. Di Indonesia, Dinar dan Dirham diproduksi oleh Logam Mulia, unit bisnis dari PT Aneka Tambang, Tbk, dan oleh Perum PERURI ( Percetakan Uang Republik Indonesia) disertai Sertifikat setiap kepingnya.

26 Oktober 2011

Biduk Besar Berani Melawan Ombak, Tetapi Kayu Kecil Yang Sampai Ke Pantai…

Di puncak krisis 2008, tepatnya tanggal 17 October 2008, harga emas berada pada angka US$ 800-an/Ozt, saya menggambar grafik seperti pada gambar dibawah yang menggambarkan harga emas akan menjualang tinggi pasca krisis saat itu. Kini tiga tahun kemudian, harga emas berada pada kisaran US$ 1,700-an atau lebih dari dua kalinya. Kebetulan kah ? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini…

Pasar dalam bentuk apapun terdiri dari sekumpulan manusia yang berbeda kebutuhan, kemudian dari perbedaan inilah manusia saling memenuhi kebutuhannya. Yang satu ingin menjual dan yang lain ingin membeli. Dari keinginan untuk menjual (supply) yang bertemu keinginan untuk membeli (demand) inilah harga terbentuk.

Tahap-Tahap Krisis

Tahap-Tahap Krisis

Karena perilaku manusia ini bisa dipelajari, semakin banyak jumlah orang yang terlibat semakin predictable – inilah yang disebut law of large number atau hukum bilangan besar. Dari law of large number perilaku para pelaku pasar emas misalnya dapat kita visualisasikan menjadi grafik tersebut diatas. Harga emas sekarang menjadi sangat tinggi dibandingkan harga tahun 2008 , ya karena perilaku manusia pencetak uang (yang merespresentasikan demand), mencetak uang kertas yang berlebihan – yang semuanya predictable dalam krisis saat itu.

Tetapi masalahnya adalah yang terjadi di pasar bukan hanya karena pengaruh satu factor saja; begitu banyak factor lain yang tidak semuanya kita ketahui. Jadi meskipun sesuatu itu predictable sekalipun- hasil pastinya memang tidak ada satu manusia-pun yang bisa membuat prediksi yang akurat. Waktu kemudian yang akan memberitahu kita bahwa prediksi kita akhirnya betul, sedikit betul atau salah sama sekali. Wa Allahu A’lam ; hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui.

Untuk krisis yang sekarang saja misalnya; prediksi kedepannya menjadi lebih rumit dari krisis 2008 yang epicentrum-nya hanya satu yaitu ekonomi Amerika yang saat itu gonjang-ganjing yang pemicu awalnya adalah sub-prime mortgage. Saat ini ada setidaknya dua pemicu besar yaitu krisis hutang di Amerika (Trigger 1) yang sebelum mereda sudah disusul oleh pemicu besar yang lain yaitu ancaman default-nya beberapa negara di Uni Eropa (Trigger 2).

Dampak krisis yang susul menyusul ini pada emas ( dan juga komoditi lainnya) dapat divisualisasikan seperti pada garfik dibawah. Ketika Trigger 1 belum tuntas memasuki periode penurunan harga, Trigger 2 menyusulnya sehingga menggeser waktu penurunannya.

Crisis Impact on Prices

Crisis Impact on Prices

Maka melihat krisis demi krisis tersebut seperti kita melihat ombak yang susul menyusul, sekuat apapun biduk besar bila melawan arus ombak tersebut dia akan tergulung – inilah yang terjadi di ekonomi Amerika dan kini Eropa. Sebaliknya, sebilah kayu kecil dapat menyelamatkan orang yang berpegangan kayu tersebut dan mengikuti kemana arah ombak membawanya. Karena ombak akan berakhir di pantai, maka sebilah kayu tersebut juga akan mengantarkan orang yang memegangnya sampai ke pantai.

Biduk besar yang melawan arus tersebut adalah ekonomi kapitalisme ribawa yang memang sudah dijanjikan kehancurannya oleh Sang Maha Pencipta (QS 2 : 275 – 276). Adapun sebilah kayu kecil untuk berpegangan mengikuti arus ombak ini adalah inisitif-inisiatif kecil untuk kembali pada syariatNya dalam hal uang yang nilai daya belinya stabil sepanjang jaman, dalam hal pasar yang adil dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal sumber-sumber daya yang dikelola.

Bayangkan bila siklus seperti pada grafik pertama diatas terbukti benar kembali dan berulang dalam tiga tahun ini dan dengan komplikasi grafik kedua, maka daya beli uang Anda akan kembali tinggal separuh dari sekarang atau bahkan kurang. Tiga tahun ini adalah waktu yang pendek, yaitu ketika anak Anda yang sekarang kelas 1 SMP, maka ketika dia masuk SMA biayanya akan dua kali dari biaya masuk SMA sekarang. Bila sekarang kelas 1 SMA, biaya masuk perguruan tinggi akan dua kali dari biaya sekarang dst. Maka inilah perlunya Anda memilih, biduk besar yang melawan ombak – atau kayu kecil (untuk saat ini) yang akan mengantar Anda ke pantai…buktinya sudah begitu nyata !.

24 Oktober 2011

Awalnya Adalah Inflasi….

Gerakan Occupy Wall Street di Amerika Serikat beberapa pekan terakhir sepertinya menyampaikan pesan yang serius, bahwa ada yang salah dengan system ekonomi kapitalis yang sekarang mendominasi dunia. Bahkan karena common problem kapitalisme ini pula gerakan serupa mudah menjalar ke negeri lain seperti Jerman misalnya, maka lahirlah di negeri itu gerakan Occupy Berlin. Tetapi sebenarnya bagian mananya dari kapitalisme yang diprotes oleh rakyat dunia ini ?.

Dari sekian banyak cacat bawaan kapitalisme, satu yang umum dan menyengsarakan rakyat adalah inflasi. Ketika pemerintah negara-negara di dunia mencetak uangnya secara berlebihan, maka mayoritas penduduknya akan menderita karena inflasi ini. Mereka telah bekerja sekuat tenaga tetapi penghasilannya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya, inilah yang membuat rakyat di Amerika marah yang kemudian menular ke negara-negara besar lainnya.

Di tahun ini pula, kemarahan serupa terjadi di beberapa negara yang sampai menumbangkan pemerintahannya. Awalnya di Algeria ketika Januari lalu rakyatnya menuntut agar pemerintahnya memberikan (menurunkan harga) gula, demo ini sampai membawa 8 orang meninggal. Demo serupa ditiru di negeri tetangganya Tunisia yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Ben Ali. Menular lagi ke Mesir hingga jatuhnya Hosni Mubarak, terus menular ke Libya hingga jatuhnya Khadafi – meskipun di Libya sebenarnya inflasi bukan menjadi isu, ke Syria dengan begitu banyak korban dan belum berakhir hingga kini. Di Indonesia kita juga pernah mengalami hal yang serupa, inflasi tinggi yang membawa kejatuhan Presiden Pertama dan Kedua negeri ini.

Namun sebenarnya bagi rakyat ada hal yang lebih penting ketimbang jatuhnya suatu rezim, yaitu teratasinya masalah yang mendasar yang menjadi pemicu ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahnya – salah satunya ya inflasi itu tadi.

Di Indonesia misalnya kalau ditanya rakyat kebanyakan apakah pasca 1998 kita hidup lebih baik ?, jawabannya kemungkinan besarnya adalah tidak. Mengapa demikian ?. Grafik dibawah yang mencerminkan nilai tukar atau daya beli Rupiah kita – secara tidak langsung menjelaskan hal ini. Pasca 1998 diperlukan rata-rata sekitar 4 kali lebih banyak Rupiah untuk membeli barang kebutuhan standar internasional yang dinilai dengan Dollar. Apakah penghasilan rakyat naik rata-rata 4 kali atau lebih pasca 1998 tersebut ?, saya rasa tidak.

Inflation to US$ - Compared

Inflation to US$ - Compared

Sebagai pembanding, mengapa demo-demo yang sampai mengguncang pemerintahannya lebih kecil kemungkinannya terjadi di negeri seperti Jepang, China dan Australia ?, ya karena mereka relatif berhasil mengendalikan inflasi di negaranya. Bila rakyat makmur, mereka tidak akan peduli dengan siapa yang duduk di pemerintahannya. Demikian pula sebaliknya, bila rakyat sengsara – maka siapapun pemerintahannya akan dinilai gagal oleh rakyatnya.

Bahwa rata-rata kita tidak menjadi lebih makmur pasca 1998, rakyat Tunisia tidak lebih makmur pasca rezim Ben Ali, rakyat Mesir tidak lebih makmur pasca jatuhnya Hosni Mubarak, dlsb. – adalah karena rakyat itu sendiri tidak berhasil memformulasikan target tuntutannya dengan baik.

Kesalahan itu adanya pada system yang memungkinkan rakyat begitu mudah kehilangan daya beli melalui inflasi, maka siapapun pemimpinnya bila dia tidak merubah system itu – kesengsaraan akan terus berulang.

Maka sebenarnya dunia tidak memerlukan transisi kepemimpinan yang memilukan seperti di Indonesia 1965, 1998; dan di tahun ini ada di Tunisia, Mesir, Libya dan entah mana lagi ; yang dibutuhkan adalah transsisi damai yang bisa merubah dari system ekonomi yang menyengsarakan ke system ekonomi yang memakmurkan. Transisinya bukan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain, tetapi seharusnya dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya. Wa Allahu A’lam.

21 Oktober 2011

Harga Emas : Noise Dari Eropa…

Kemarin sampai pagi ini harga emas kembali menyentuh harga terendahnya di pasar internasional, semalam bahkan sempat diperdagangkan pada kisaran US$ 1,612/Ozt. Meskipun belum mencapai angka terendah yang mungkin bisa tercapai dalam perkiraan saya dua pekan lalu di kisaran US$ 1,300-an/Ozt, angka sekarang sudah sangat rendah karena telah turun sekitar 15 % dari angka tertingginya satu setengah bulan lalu pada US$ 1,895/Ozt (05/09/11). Posisi terendah saat ini kurang lebihnya adalah setengah perjalanan menurun yang mungkin bisa ditempuh harga emas dunia, apabila perjalanan menurunnya ini mengikuti pola krisis 2008.

Pertanyaaannya adalah, apa yang menyebabkan penurunan yang drastis ini ? Bukankah Eropa sedang mengalami krisis sehingga orang membutuhkan safe haven ?

Betul Eropa sedang berada di puncak krisisnya, bahkan bila pertemuan akhir pekan ini di antara pemimpin-pemimpin mereka tidak mencapai solusi penyelamatan yang berarti – maka krisis akan tereskalasi dalam skala yang lebih besar dan lebih luas dampaknya. Dan betul bahwa pasar membutuhkan safe haven ketika krisis semacam ini terjadi, tetapi ketika krisis kali ini di Eropa dan kepercayaan dunia terhadap Euro runtuh – maka untuk sementara safe haven pertama yang ditubruk dahulu oleh pelaku pasar adalah US Dollar.

Mengapa bukan emas ? karena realitanya para pelaku usaha masih membutuhkan Dollar sebagai instrument berbagai transaksi perdagangan dan usahanya. Ketika Euro ditinggalkan dan pasar beralih ke Dollar – maka demand terhadap US Dollar sementara meningkat dan price-nya tentu juga meningkat. Nilai tukar Dollar yang meningkat relative terhadap berbagai mata uang dunia – dan terutamanya tentu Euro – inilah yang membuat harga emas dalam Dollar menurun.

Meskipun harga emas dunia lagi rendah dan bisa turun ke angka yang lebih rendah lagi, saya masih mengkategorikannya sebagai noise dan bukan signal. Mengapa demikian ?

Karena sesungguhnya tidak ada perubahan yang fundamental dari unsur yang paling esensial yang membentuk harga emas itu sendiri. Pelajaran mendasar tentang mekanisme pembentukan harga adalah supply and demand. Mekanisme supply and demand ini juga berlaku bagi emas , Dollar maupun mata uang lainnya.

Untuk emas, sisi supply-nya jelas terbatas karena produksinya di seluruh dunia hanya bisa menambah jumlah emas di permukaan bumi antara 1.5 -2 % per tahun. Sedangkan sisi demand-nya tumbuh jauh lebih cepat karena dari hampir 7 milyar penduduk dunia (tepatnya 6,969,500,000 per kemarin 20/110/11) , diperkirakan lebih dari 36 % di antaranya berada di China dan India yang notabene adalah penggemar emas dalam budayanya dan daya beli mereka terus meningkat. China dan India selain merupakan dua negara dengan penduduk terbesar di dunia, pertumbuhan ekonominya juga terbesar yaitu untuk tahun 2011 ini mencapai 9.1% (China) dan 7.7% (India). Bandingkan ini dengan pertumbuhan ekonomi Amerika tahun ini yang hanya 1.6%, jepang yang minus 1 % dan Indonesia 6.5%.

Disamping kebutuhan yang terkait dengan budaya dua bangsa tersebut diatas, peningkatan sisi demand emas juga di dorong oleh perlaku bank-bank sentral dunia yang kini adalah juga net buyer untuk emas, demikian pula dunia usaha mulai terus melirik emas ini dalam beberapa tahun terakhir.

Untuk US Dollar yang sementara ini digunakan sebagai pembanding harga emas dunia, pertumbuhan demand jangka panjangnya tidak bisa bergerak terlalu jauh dari pertumbuhan ekonomi negara-negara yang membutuhkan Dollar-nya. Memang China yang ekonominya tumbuh sangat pesat tersebut juga membutuhkan Dollar, tetapi tidak sebsar pertumbuhan ekonominya sendiri karena China sedang mengerem ketergantungannya pada Dollar dan malah berusaha menjadikan uangnya sendiri sebagai reserve currency bersaing dengan Dollar.

Sisis supply-nya Dollar bisa dicetak dari awang-awang dengan berbagai nama yang indah seperti quantitative easing yang konon kini telah mencapai tahap ke 3 atau satu tahap lagi menjelang kematiannya pada quantitative easing tahap ke 4.

Jadi kalau kita lihat jangka panjang emas yang pertumbuhan demand-nya lebih besar dari supply-nya, dibeli dengan Dollar yang supply-nya lebih besar dari demand-nya, maka yang dibeli (emas) semakin mahal sedangkan yang untuk membeli (Dollar) semakin murah – walhasil harga emas akan cenderung lebih besar dorongan keatasnya dalam jangka panjang. Ini juga di confirm oleh trend jangka panjang yang saya tulis pekan lalu

Tetapi sekali lagi perlu diingat, bahwa dalam jangka pendek harga emas bisa jadi turun lebih rendah lagi. Oleh karenanya selalu saya ingatkan di situs ini untuk tidak berspekulasi dengan harga emas. Wa Allahu A’lam.

14 Oktober 2011

Gold Long-Term Trend : Kemana Harga Emas Bergerak…?

Hari-hari ini harga emas dunia lagi relatif rendah dibandingkan harga-harga tertingginya bulan lalu. Bagi para pemain baru yang membeli saat euphoria emas dan bahkan mengantri untuk membeli emas ketika harga menyentuh kisaran US$ 1,900/Ozt, harga sekarang yang dibawah US$ 1,700/Ozt atau mengalami penurunan sekitar 11 % - pastilah mengecewakan. Namun bila Anda termasuk pemain baru ini, dan tidak buru-buru membutuhkan dana Rupiah – Anda tidak perlu terlalu kawatir karena secara statistik long-term trend harga emas masih kuat mendorong ke atas.

Salah satu cara melihat trend jangka panjang ini yang dilakukan oleh para profesional di pasar adalah dengan membandingkan rata-rata bergerak sederhana (simple moving average – saya singkat saja SMA) dari periode yang lebih panjang, dengan rata-rata bergerak sederhana untuk periode yang lebih pendek.

Untuk analisa ini misalnya saya gunakan data harga emas Kitco sejak Januari 2000 sampai hari ini Oktober 2011. Kemudian rata-rata bergerak sederhana-nya saya buat untuk periode 20 bulan (SMA-20) dan periode 9 bulan (SMA-09). Untuk melihat trendnya kemana, kaidahnya demikian :

Trend jangka panjang akan naik bila :

1. SMA-09 berada di atas SMA-20

2. Keduanya bergerak keatas

3. Harga emas di pasar masih diperdagangkan diatas SMA-09

Sebaliknya trend jangka panjang akan turun bila :

1. SMA-09 berada dibawah SMA-20

2. Keduanya bergerak kebawah

3. Harga emas di pasar diperdagangkan dibawah SMA-09

Sekarang kita lihat hasil analisa ini pada grafik dibawah :

Gold Long-Term Trend

Gold Long-Term Trend

Anda bisa lihat bahwa sepanjang sebelas tahun terakhir, SMA-09 secara persistent berada diatas SMA-20, dan terbukti memang sepanjang periode ini trend jangka panjang itu begitu jelas menuju keatas. Anda bisa uji juga dengan data komoditi lain, saham dlsb – asal Anda memiliki data harga perdagangannya untuk periode yang cukup panjang.

Jadi meskipun Anda membeli emas/Dinar pada saat harga tertinggi bulan lalu, asal Anda tidak terburu-buru menjualnya – insyaAllah Anda tidak merugi. Wa Allahu A’lam.

10 Oktober 2011

Occupy Wall Streets Memprotes Kapitalisme : Usaha Menjauh Dari Lubang Biawak …

Cerita tentang kapitalisme yang memakan dirinya sendiri pernah saya ilustrasikan dengan kisah di mitologi Yunani kuno – Erisychthon – si tukang kayu serakah. Kini cerita yang sangat mirip itu berulang dengan gerakan yang menyebut dirinya Occupy Wall Street – gerakan pendudukan Wall Street oleh rakyat yang konon merepresentasikan kepentingan 99% rakyat Amerika. Yang menarik bagi pelajaran kita adalah bila system ekonomi kapitalisme yang dibanggakan oleh negeri pengusungnya, ternyata membuat negerinya sendiri bangkrut dan 99 % rakyat tidak merasa diuntungkan – pantaskah ini kita ikuti ?.

Mengapa protes dengan pendudukan Wall Street yang merupakan icon kapitalisme Amerika begitu mudah mendapatkan fukungan rakyat dan bahkan dengan cepat menjalar ke kota lain ?, dugaan saya karena mereka memang mensuarakan isi hati rakyat negeri itu, mensuarakan penderitaan rakyat di bawah rezim kapitalisme.

Awalnya mereka memprotes tax cut yang diberikan oleh pemerintah bagi 1 % penduduk terkaya negeri itu, sementara mayoritas yang 99% rakyat menderita karena krisis ekonomi yang berdampak pada job cut, salary cut dan cut- cut yang lainnya yang berujung pada penurunan layanan umum untuk mayoritas masyarakat.

Lantas apa yang mereka perjuangkan ?. Pertama mereka memperjuangkan dihentikannya dispensasi pajak bagi orang-orang kaya negeri itu – yang bisa menghemat uang negara sampai US$ 5 Milyar - jumlah ini menurut para demonstran tersebut cukup untuk membuat rakyat Amerika mampu bertahan hidup melewati krisis yang kini melanda.

Kedua yang mereka perjuangkan adalah program penciptaan lapangan kerja yang nyata dan berarti, karena selama ini program-program penciptaan lapangan kerja hanya menjadi komoditas politik ketika para tokoh politik tersebut berkampanye meraih dukungan masyarakat.

Ketiga mereka memperjuangkan penurunan biaya hidup yang meliputi biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan biaya –biaya lainnya. Ini karena mereka merasakan betapa beratnya persaingan bekerja untuk memperoleh penghasilan, tetapi setelah mereka peroleh penghasilan tersebut dengan susah payah ternyata uang mereka memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ini ironi sekali sebenarnya karena sampai tahun 2010 lalu, menurut IMF GDP per capita Amerika adalah US$ 46,860 atau mencapai lima kali dari GDP per capita rata-rata penduduk dunia tahun tersebut yang berada pada angka US$ 9,238 per capita.

Mengapa dengan penghasilan yang begitu besar mereka masih menderita juga ?, bandingkan ini dengan GDP per capita Indonesia 2010 yang hanya US$ 2,974 atau kurang dari sepertiga GDP per capita rata-rata penduduk dunia atau kurang dari 1/15 GDP per capita rakyat Amerika. Pelajaran apa yang bisa kita peroleh ?.

Sederhana sebenarnya, bahwa system ekonomi kapitalisme ala Amerika ternyata tidak membuat rakyatnya berkecukupan. Pertama karena angka-angka penghasilan tersebut – hanya sekedar angka di atas uang kertas – yang daya belinya terus menurun, kedua karena tingginya penghasilan rata-rata tidak berarti penghasilan tersebut merata di sejumlah besar rakyatnya. Untuk Amerika, ya yang 1 % penduduknya yang berpenghasilan selangit, yang 99 %-nya tidak jauh berbeda dari negeri lain di dunia.

Lantas ketika suatu system di negerinya sendiri diprotes rakyatnya karena tidak bisa memakmurkan mereka, mengapa system yang sama mereka doktrinkan untuk diikuti di seluruh dunia ? baik melalui pasar modalnya, perbankannya, system moneternya dlsb.dlsb. ?.

Mungkin inilah salah satu tafsir lubang biawak yang kita sudah diingatkan oleh uswatun hasanah kita lebih dari 1,400 tahun lalu : “ Sedikit-demi sedikit kalian akan mengikuti sunnah-sunnah umat terdahulu. Sampai-sampai, andaikata mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian juga ikut mereka memasukinya.” Ada yang bertanya , “ Wahai Rasululah, apakah mereka yang dimaksud adalah Nasrani dan Yahudi ?” Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi ?” HR. Bukhari Muslim.

Hadits tersebut diatas menjadi sangat relevan karena perilaku ekonomi kapitalisme Amerika tersebut diatas memang tidak lepas dari kendali kepentingan Yahudi dalam strateginya menguasai dunia, melalui salah satu caranya yaitu memiskinkan mayoritas umat di dunia dan mengijinkan segelintir orang saja di dunia yang bisa menjadi kaya.

Masihkah kita akan mengikuti mereka memasuki lubang biawak ?, meskipun sangat berat karena semua system yang ada sekarang mengarahkan kita kesana, kita tetap harus terus berusaha menjauh dari pusaran lubang biawak tersebut. InsyaAllah kita bisa.

07 Oktober 2011

Harga Emas : Belajar Dari Krisis Financial Global 2008…

Ketika krisis financial melanda dunia tahun 2008, harga emas di pasar sempat menyentuh angka US$ 1,011/Ozt (17/04/08) kemudian merosot lagi sekitar 30%-nya dalam rentang tujuh bulan kemudian - tinggal US$ 713/Ozt ( 24/10/08). Perlu waktu kurang lebih satu setengah tahun kemudian untuk harga emas mampu melebihi angka tertinggi sebelumnya, yaitu ketika harga emas menyentuh US$ 1016 /Ozt (16/09/09). Apakah pola semacam ini akan bisa berulang untuk harga emas tertinggi bulan lalu yang mencapai US$ 1,895/Ozt (05/09/11) ?.

Ada yang menyebabkan statistik sejarah berulang yaitu perilaku manusianya. Ketika di puncak krisis para pelaku pasar melihat langit seolah akan runtuh, anut grubyug mereka mencari penyelamatan aset-aset mereka pada aset riil yang dipandang aman dari krisis – salah satunya emas. Emas diburu dan dibeli orang pada harga berapa saja, maka saat itulah harga emas menjulang tinggi.

Perilaku para pengelola kebijakan ekonomi dunia juga demikian, mereka akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk bisa memberi angin surga bagi pasar, bahwa krisis dapat ditangani, bahwa ekonomi akan segera pulih. Solusi-solusi jangka pendek-pun mereka tempuh demi untuk menghasilkan efek sentiment positif di pasar, tidak peduli bila solusi ini dalam jangka panjang akan membahayakan ekonomi itu sendiri – seperti diakui atau tidak solusi yang sering disebut Quantitative Easing atau mencetak uang dari awang-awang.

Terlepas dari efek jangka panjangnya yang menyimpan bom waktu inflasi atau bahkan hiper-inflasi, solusi jangka pendek tersebut biasanya efektif untuk meredam gejolak pasar. Untuk sementara pasar menjadi tenang dan kembali bergairah, saham dan produk-produk turunannya kembali diburu orang dan kembali anut grubyug investor dunia-pun rame-rame menjual emasnya – inilah yang membuat harga emas turun drastis untuk beberapa bulan setelah puncak tertingginya – yang identik dengan puncak krisis atau puncak kepanikan pasar.

Seperti penyakit yang hanya diobati gejalanya – tetapi bukan penyebabnya, maka krisis atau kepanikan serupa kemudian berulang dan mendorong harga emas kembali menjulang. Begitulah siklus semacam ini berulang dan relatif predictable karena perilaku kegilaan massa - madness of crowds - yang memang mudah ditebak.

Maka bila statistik perilaku pasar tersebut berulang untuk krisis yang baru lewat, harga emas sekarang yang sudah cukup rendah di pasar global masih sangat mungkin turun lagi. Bila rentang penurunun 2008 yang berulang – yang berada pada kisaran 30% tersebut diatas – bisa saja emas turun kembali ke angka US$ 1,300 –an dalam beberapa bulan ini - yaitu turun sekitar 30% dari angka tertinggi sbelumnya US$ 1,895/Ozt.

Bila ini terjadi, Anda tidak perlu panik – asal Anda tidak segera membutuhkan uang Anda – bertahanlah sampai akhir tahun depan (2012) atau awal tahun sesudahnya (2013) – karena saat itulah investasi emas Anda akan kembali menjualng nilainya. Itulah sebabnya melalui situs ini selalu tidak saya sarankan untuk menggunakan emas ini sebagai instrument spekulasi jangka pendek – Anda bisa rugi karenanya.

Meskipun statistik sejarah sangat mungkin berulang, tetapi ada juga faktor yang memungkinkan perulangan ini tidak identik dengan yang terjadi sebelumnya. Struktur pasar emas telah mengalami banyak perubahan dalam tiga tahun terakhir.

Bila tiga tahun lalu bank-bank sentral dunia plus IMF masih net sellers emas, kini bank-bank sentral menjadi net buyers dan IMF-pun sudah tidak menjual emasnya lagi. Ditambah lagi kesadaran penduduk dunia untuk mengamankan asset telah menyentuh masyarakt tingkat bawah sekalipun, China yang daya belinya terus meningkat di tengah penduduknya yang berjumlah 1. 3 milyar lebih – membuat demand emas di China sangat besar kini. Di Indonesia-pun orang sampai mengantri emas karena seolah-olah terbangun dari tidur dan sadar akan perlunya memproteksi hasil dari jerih payah kerjanya. Kini 70% demand emas datangnya dari negeri-negeri yang sedang berkembang seperti China, India, Indonesia dlsb. yang perilakunya berbeda dengan pemain pasar barat pada umumnya.

Dengan hal yang terakhir ini – yaitu struktur pasar yang berubah, ditambah kita yang ada di Indonesia membeli emas dengan Rupiah kita yang daya belinya juga terus berubah-ubah – maka bisa jadi siklus pasar yang saya uraikan diatas tidak sepenuhnya sama bagi kita. Wa Allahu A’lam.

05 Oktober 2011

Investasi Anut Grubyug…

Ada teman saya yang ahli pertanian dan telah lebih dari seperempat abad terjun langsung di lapangan dengan ilmu dan pengalamannya, dia kini piawai memilih apa-apa yang ditanamnya dan apa yang tidak. Yang dia tanam kini mayoritasnya adalah tanaman jangka panjang yang telah diriset dengan baik pasarnya hingga sepuluh dua puluh tahun kedepan, yang dia tidak tanam adalah tanaman-tanaman musiman yang mudah sekali ditiru orang dan mudah terjadi over supply ketika musim panen tiba.

Di tanaman semusim-pun dia dahulu melakukan riset dengan teliti kebutuhan pasarnya, sehingga dia awalnya menanam jenis-jenis tanaman yang sering berbeda dengan yang ditanam orang lain. Namun kemudian karena melihat hasilnya, banyak petani lain suka ‘ngintip’ apa yang ditanam teman saya ini kemudian mengikutinya. Lama kelamaan yang mengikutinya cukup banyak sehingga ketika panen tiba kembali over supply dan harga jatuh.

Demikianlah rata-rata petani kita, ketika tetangganya sukses bertanam melon maka dia ikut-ikutan menanam melon, bila ada yang sukses bertanam cabe – maka rame-rame nanam cabe yang buntutnya tidak menguntungkan siapapun karena ketika musim panen selalu anjlog harganya.

Tetapi kebiasaan anut grubyug ini sesungguhnya bukan monopoli para petani saja, hampir seluruh perilaku masyarakat mengikuti pola ini – pola kegilaan massal atau dalam bahasa Inggrisnya disebut madness of crowds – tetapi saya sendiri lebih menyukai istilah bahasa jawa yang saya anggap pas yaitu anut grubyug tadi.

Di akhir tahun 80-an ketika awal-awalnya bursa saham Indonesia memasyarakat orang rela antri berjam-jam untuk membeli saham perdana dari nyaris perusahaan apapun yang akan go public. Tidak perduli perusahaan tersebut baik atau tidak, orang tetap menyerbu karena saat itu besar peluangnya harga melonjak ketika saham yang mereka beli mulai diperdagangankan di bursa.

Di awal 90-an ketika apartemen murah mulai diperkenalkan oleh sebuah group usaha di Jakarta, orang rela mengantri sejak sehari sebelumnya untuk membeli apartemen. Bahkan teman-teman saya yang saat itu belum mampu membeli apartemen-pun ikut-ikutan mengantri karena peluang untuk membelinya saja bisa diperjual –belikan.

Dan yang terakhir yang kita saksikan beberapa pekan lalu di Logam Mulia – Antam, orang rela mengantri dari tengah malam untuk mendapatkan kesempatan membeli emas keesokan harinya – padahal harga lagi tinggi-tingginya. Ironinya orang malah tidak mengantri lagi ketika harga lagi rendah seperti hari-hari ini.

Anut grubyug atau ikut-ikutan inilah yang selalu berulang di berbagai sendi kehidupan.

Selama lebih dari tiga tahun memperkenalkan Dinar atau emas, memang ada fenomena aneh yang dapat saya tangkap. Puncak-puncak pembelian masyarakat justru terjadi ketika harga lagi tinggi-tingginya, puncak pembelian berikutnya terjadi ketika harga baru turun dari harga tinggi sebelumnya.

Ketika harga terus beruntun turun untuk beberapa lama, pembelian emas atau Dinar justru ikut turun. Rupanya tidak banyak orang yang menggunakan trend jangka panjang sebagai acuannya untuk mengambil keputusan investasi. Di situs inipun sebenarnya selalu terpampang trend jangka panjang setahun atau bahkan 10 tahun, jadi sebenarnya cukup informasi untuk mengambil keputusan investasi Anda dengan pertimbangan jangka panjang dan bukan karena ikut-ikutan atau anut grubyug. InsyaAllah hasilnya akan lebih baik bila Anda ‘mengerjakan PR’ dahulu dengan banyak membaca, ketimbang sekedar mengikuti kemana arus orang banyak berinvestasi. Wa Allahu A’lam.

04 Oktober 2011

The Golden Constant (bagian 2) : Penguasaan atas Emas, Satu langkah Maju ke Kejayaan Masa Lalu

Oleh : Endy J Kurniawan

Kabar baik bagi kita adalah dari seluruh emas yang telah ditambang di muka bumi yakni sekitar 150.000 – 160.000 ton, 70% – 90% dikuasai swasta, termasuk individu/ perorangan. World Gold Council menyebut angka sekitar 100.000 ton emas dikuasai swasta, pada 2005. Sementara sisanya dikuasai oleh 109 negara sebagai cadangan di bank sentral-nya. Laporan lembaga yang sama pada September 2010 menyebutkan jumlahnya sekitar 27.000 ton.

Sebagaimana tulisan pada bagian pertama lalu, penguasaan mayoritas stok emas dunia oleh non-pemerintahan ini adalah salah satu sebab mengapa kembalinya gold-standard sebagaimana era Bretton Woods diprediksi sulit terwujud. Menurut Martin Wolf, analis ekonomi senior The Financial Times, proses akuisisi emas masyarakat ini akan memakan berbagai macam biaya yang luar biasa dan bisa menimbulkan kekacauan.
Jauh lebih mungkin, jika saatnya tiba, terjadi pertukaran langsung emas-emas simpanan masyarakat untuk transaksi sehari-hari. Jumlah 100.000 ton yang beredar adalah jumlah yang sangat banyak. Seandainya pun tak dalam bentuk koin yang standard, masyarakat cukup menggunakan emas dalam bentuk apapun, disertai timbangan untuk pengukur berat. Praktek ini sebagaimana jaman awal Rasulullah SAW bertransaksi menggunakan emas, alat transaksinya adalah emas dalam berbagai bentuk (koin, lempengan/ tibr) dan telah mencukupi.
Kita tahu, emas adalah bahasa transaksi universal. Kita pernah bahas sebelumnya, salah satu item survival kit pilot tempur Amerika adalah sepotong emas. Kawan saya Ahmad Gozali, ketika sesi workshop investasi emas sering menyampaikan penggalan sebuah film dengan setting di sebuah negara komunis. Prajurit Amerika yang perlu tumpangan tak bisa membayarnya dengan US Dollar karena penduduk setempat tak tertarik mata uang asing itu. Tapi deal terjadi setelah si agen bersedia membayarnya dengan jam tangan terkenal berlapis emas.
Selama 1500 tahun kejayaan Islam menerangi bumi, ekonomi kekhalifahan berada di standar yang sangat tinggi. Bahkan menjelang rapuh dan runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani sekalipun, indeks harga dan kesejahteraan warga negaranya masih lebih baik dari Inggris yang berdiri sejaman.
Kemanapun reformasi moneter ini membawa nanti, kita perlu bersiap diri dari kini. Dari 10 negara yang memiliki cadangan emas terbesar, hanya 3 negara yaitu China, Rusia dan Amerika sendiri yang juga merupakan 10 besar negara penghasil emas. Selebihnya adalah negara-negara barat non-produsen emas, yang dengan disiplin dan kesadaran penuh, mereka tahu tapi diam-diam saja, justru menyimpan harta hakiki itu dalam dekapan negaranya, meskipun dalam keseharian mereka terlihat sibuk mengkampanyekan anti-gold standard.
Kita juga bisa menyimpulkan satu hal yakni kecilnya kesadaran negara-negara penghasil emas utama untuk mempertahankan emas yang ditambang dan diolah di negaranya sendiri, sehingga tak cukup menyimpan untuk pertahanan ekonomi negaranya. Mereka memilih untuk menjadi penambang dan eksportir, tapi tak menjadikan emas sebagai cadangan ekonomi negaranya, kecuali sedikit saja.
Negeri ini seharusnya memberi penghargaan kepada masyarakat yang secara individual berupaya menyimpan emas di rumah tangganya masing-masing, yang jika dijumlahkan akan menghasilkan angka simpanan emas yang sangat besar dan mengindikasikan ketahanan ekonomi riil masyarakat Indonesia. Seandainya warga negara yang hidup di atas ambang kemiskinan (artinya secara ekonomi cukup mampu) yaitu 70% dari total penduduk Indonesia memiliki 1 gram emas, maka jumlah emas minimal yang dimiliki rakyat Indonesia berjumlah 168 ton. Angka ini telah 2 kali lipat lebih dibanding cadangan emas yang dimiliki bank sentral.
Seandainya 1 orang menguasai 1 dinar (emas dengan berat 4.25 gram), maka cadangan emas yang berada di kantung masyarakat Indonesia berjumlah 714 ton. Dijumlahkan dengan cadangan devisa Bank Indonesia yang sekitar 75 ton, maka Indonesia akan berada di posisi ke-8 penyimpan emas mengalahkan Jepang.
Sosialisasi penguasaan emas ke tangan masyarakat ini, bagi saya pribadi, adalah upaya pertahanan sekaligus persiapan menyongsong masa depan. Pertahanan untuk melindungi harta dan asset masyarakat. Persiapan masa depan untuk sebuah reformasi (mungkin juga revolusi, gerakan perubahan radikal) sistem moneter dunia dengan medium emas, juga perak. Seluruh negara dan masyarakat negara lain, secara terbuka maupun diam-diam melakukannya dengan penuh kesadaran. Sebagai negara dengan cadangan emas melimpah, mengapa kita tidak melakukan hal serupa?
Dengan jumlah cadangan emas yang memadai, ekonomi negeri kita punya sandaran hakiki, layak adu tanding dengan dengan negara-negara ekonomi kuat lainnya. Ini jadi modal yang cukup untuk menopang prediksi banyak riset yang menunjukkan Indonesia akan berada dalam posisi 10 besar ekonomi terkuat dunia pada 2020 dan 5 besar pada 2030.
Wallahua’lam

01 Oktober 2011

The Golden Constant (bagian 1) : Bretton Woods (mungkin) tak kembali

Oleh : Endy J Kurniawan

Berapa banyak uang beredar di muka bumi? Laporan McKinsey Global Institute pada 2008 menyebut angka USD 61.000 Trilyun. Karena dirilis tahun 2008, maka itu berarti tak termasuk rentetan stimulus yang kemudian diakhiri dengan USD 600 Milyar yang sebulan lalu dikeluarkan Amerika melalui The Fed.

Berapa nilai emas yang ada di muka bumi? Sekitar USD 1.300 Trilyun. Saya tak mention dengan rupiah karena sulit menuliskan satuannya. Terlalu panjang angka nolnya.

Dua angka tersebut membawa kita ke masa 1944 – 1971 dimana Gold Standard diberlakukan dengan payung Bretton Woods Agreement. Kala itu dimana 35 Dollar yang dicetak/dikeluarkan bank sentral Amerika haruslah dengan backup 1 troy ounce emas, uang yang beredar adalah kurang lebih sama dengan nilai emas yang ada di bank sentral di seluruh dunia.
Yang terjadi sekarang adalah jumlah uang kertas telah dicetak 46 kali lebih banyak dari yang seharusnya (USD 61.000 Trilyun dibagi nilai emas USD 1.300 Trilyun). Inilah makna FIAT MONEY itu, uang kertas dicetak sangat banyak, suka-suka, tanpa mencerminkan jumlah kekayaan atau asset riil berupa emas yang dimiliki negara-negara yang disimpan bank sentral masing-masing.

Akibatnya adalah keuntungan dinikmati si pencetak reserved currency (USD). Stagnansi ekonomi yang mereka alami, sebagaimana terjadi sekarang dimana produksi dan konsumsi dalam negerinya mandeg, yang kemudian membuat mereka mencetak uang baru, hanya (mungkin) menguntungkan di sisi mereka. Mungkin, karena belum tentu stimulus ini berhasil mengangkat ekonomi dalam negerinya. Yang justru pasti adalah seluruh negara berlomba menurunkan nilai mata uangnya demi bisa bersaing untuk pasar ekspornya. Yang pasti lagi adalah membuka kemungkinan hyperinlasi terjadi di negara-negara berkembang yang tak tahu menahu, bahkan mungkin tak terlibat awalnya dengan pertarungan ekonomi tingkat tinggi tersebut. Yang jadi korbannya adalah kesejahteraan masyarakat di negara berkembang, karena hyperinlasi berarti menurunnya daya beli uang simpanan mereka sebanyak 2 digit persen.

Selain itu, biaya 4 sen Dollar (atau 0.04 Dollar) untuk mencetak setiap lembar USD itu pun bermakna perampokan. Stempel berapapun bisa dicantumkan di lembaran uang kertas, lalu dibuat untuk membeli lebih banyak asset di negara-negara miskin atau berkembang. Untuk membeli sebuah perusahaan teknologi di Indonesia dengan nilai Rp 5 Trilyun (USD 561 juta), hanya perlu mencetak uang pecahan USD sebanyak 5,61 juta lembar dengan biaya 4 sen x 5,61 juta = USD 22 juta sen, atau sama dengan USD 220.000. Disini praktek SEIGNORAGE bekerja. Untuk membeli perusahaan senilai Rp 5 Trilyun, produsen USD hanya perlu Rp 1,9 Milyar biaya cetak uang.

Data tentang nilai uang riil (yaitu emas) vs nilai uang (kertas) yang ada sekarang itulah yang membuat banyak ekonom meragukan Bretton Woods jilid II yang diwacanakan Robert Zoellick, bos World Bank, mustahil terlaksana. Karena jumlah uang beredar sudah sedemikian besar melebihi yang seharusnya, implementasi Gold Standard Currency seperti pernah dipraktekkan dulu akan membawa kompleksitas sistem global. Simpanan setiap bank sentral juga tak seimbang. Semenjak Perang Dunia I, Amerika lah yang menyimpan emas paling banyak. Dengan situasi ini, harus ada negara yang rela seluruh harga barangnya naik. Di sisi lain, harus ada sebagian negara yang harus bersedia seluruh harganya diturunkan. Reposisi dan keseimbangan baru itu akan berbiaya sosial sangat besar, melibatkan seluruh negara dan masyarakat di dalamnya.

Salah satu sebab lain Bretton Woods sulit dijalankan adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh bank sentral untuk mengumpulkan emas domestik maupun internasional (sebagai backup pencetakan uang dengan standar emas) akan sangat besar. Dengan sistem ini, maka pemilik emas akan menjual emasnya kepada bank sentral, yang jelas memerlukan lebih banyak backup untuk pencetakan uang baru. Biayanya akan sangat besar, dan karena permintaan meningkat drastis, harga emas akan melonjak sangat tinggi. Ujungnya, pemilik emas bisa menilai harga yang ditetapkan tak setinggi yang seharusnya dan mereka memilih menyimpan saja emas-emas yang telah dimiliki. Wajar, karena sejak semula, emas adalah penakar nilai dan alat tukar yang universal, maka penyimpan emas merasa lebih safe dan untung jika menyimpan emas untuk melindungi asetnya juga untuk membeli barang kebutuhan. Pada titik ini terjadi kekacauan dan orang tak memerlukan lagi uang kertas, dan dunia kembali pada masa dimana emaslah yang menjadi alat transaksi. Inilah masa pada periode dengan rentang 1.500 tahun semenjak Dinar dan Dirham ditetapkan khalifah Umar ibn Khattab hingga runtuhnya kedaulatan Islam pada masa Turki Ustmani.

Uraian diatas dituliskan dengan gamblang oleh Martin Wolf, kontributor The Economist, seorang Profesor di University of Nottingham yang juga Chief Economics Commentator di Financial Times – London.

Pada sebuah tulisannya, ia mengutip juga pernyataan Bennett McCallum dari Carnegie Mellon University yang menyatakan bahwa kesadaran kembali ke alat tukar berupa emas (sebagaimana pada tahun-tahun sebelum 1930-an) diawali dengan tingkat pemahaman agama/ religiusitas yang cukup tinggi. Karena hanya ajaran agama saja yang memberikan penjelasan bahwa “nilai emas tidak pernah berubah, ia tetap dan terjaga selamanya’ (the price of gold should not be varied but should maintained, forever).

Dan kita tahu, Islam adalah agama yang melalui firman dalam Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW, mengajarkan keyakinan ini kepada kita. Sejatinya, hal-hal seperti ini harus terus kita bangun mulai saat ini.

Bersambung…
(Berikutnya : 90% emas di muka bumi ini ternyata dikuasai swasta, bukan oleh bank sentral. Ini kabar baik, lalu bagaimana sikap kita?)

*) Judul tulisan diambil dari buku dengan judul sama : “The Golden Constant: The English and American Experience 1560 – 2007, Roy W Jastram, Edward Elgar Publishing)

Disclaimer

Meskipun seluruh tulisan dan analisa di blog ini adalah produk dari kajian yang hati-hati dan dari sumber-sumber yang umumnya dipercaya di dunia bisnis, pasar modal dan pasar uang; kami tidak bertanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang ditimbulkan oleh penggunaan analisa dan tulisan di blog ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menjadi tanggung jawab pembaca sendiri untuk melakukan kajian yang diperlukan dari sumber blog ini maupun sumber-sumber lainnya, sebelum mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan investasi emas, Dinar maupun investasi lainnya.